Tak Ada uang, berhutang, bahkan mengemis
A
A
A
Sindonews.com - Arogansi dan haus kekuasaan yang ditunjukkan petinggi sepakbola Indonesia, mulai menunjukkan hasilnya. Bukan hasil positif, namun justru sangat negatif. Akhir kompetisi 2011-2012 membuktikan bagaimana kacaunya situasi persepakbolaan nasional.
Dualisme kompetisi, Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL) masih harus ditambah dualisme PSSI. Kisruh di tatanan atas organisasi sepakbola membuat situasi di bawah semakin memburuk. Klub yang terlilit finansial mulai pasrah dengan keadaan.
Paling tersiksa dengan kondisi ini tentu saja pemain. Tidak digaji selama berbulan-bulan membuat pemain frustrasi. Hanya mengandalkan pendapatan dari menggocek si kulit bundar, wajar jika mereka kesulitan menghidupi diri sendiri dan keluarga. Apalagi pemain asing yang butuh pulang kampung.
Dari Persipro Bondowoso United, tiga pemain asing bahkan harus meminta-minta di jalanan untuk menjaga agar perut tidak lapar. Sylla Mbamba (Mali) Camara Abdoulaye Sekau (Guinea) dan Salomon Begondo (Kamerun). Ketiganya baru mendapatkan 15% dari total nilai kontrak di awal musim Divisi Utama lalu.
Sedangkan 85% lainnya sama sekali belum terbayar dan tidak ada kepastian kapan akan terbayar. Kondisi perut lapar, sewa rumah kost, serta keinginan pulang ke kampung halaman, membuat mereka menanggalkan gengsi. Mereka rela membawa kardus untuk mengemis di jalanan Kota Probolinggi.
“Tolong Koin Untuk Pemain Asing Persipro”, begitu salah satu tulisan yang menghiasi kardus bekas air mineral. Camara mengatakan dirinya dan dua rekan sesama pemain asing sudah tidak mempunyai tabungan untuk mengepulkan asal dapur. Bahkan untuk pulang ke kampung jelang bulan Ramadhan masih jauh dari harapan.
“Kami sudah berupaya menemui DPRD dan Walikota, tapi tidak ada hasilnya. Sekarang kami meminta-minta untuk biaya makan dan bayar kost. Sedangkan kami sudah berjuang selama semusim untuk Persipro,” cetus Camara. Persipro Bondowoso United sendiri gagal promosi ke kompetisi tertinggi musim depan.
Staf pelatih Persipro Bondowoso United pun juga mengalami nasib serupa dan tidak bisa berbuat banyak kecuali prihatin. “Sebagai staf pelatih, saya sedih dengan kondisi pemain. Seharusnya mereka tidak mengalami situasi seperti ini karena telah memberikan kemampuannya untuk klub,” ucap salah satu staf pelatih Persipro I Putu Gede.
Walau mengaku pernah mengalami masa-masa buruk secara finansial semasa menjadi pemain, Putu menyesali situasi ini terus berlangsung. Padahal harusnya situasi seperti yang pernah dia rasakan dulu sudah berlalu. “Harusnya sepakbola lebih modern dan tidak ada situasi seperti ini,” ucapnya.
Jangankan Camara dkk yang bermain di kasta kedua, pemain di level tertinggi pun hingga kini masih banyak menanggung hutang. Permain Persema Malang contohnya, harus terus mencari cara agar kondisi perut bisa terjaga setelah klub tak membayar gaji selama hampir empat bulan.
“Saya menyadari kalau ada pemain asing yang sampai meminta-minta. Kondisinya memang begitu. Kami saja harus meminjam, menjual barang berharga, atau meminta bantuan keluarga untuk tetap hidup. Tidak banyak pemain sepakbola yang mempunyai pekerjaan sampingan selain bermain bola,” ungkap Firman Basuki, gelandang Persema Malang.
Firman sendiri mengakui situasi semakin berat dan membuat pemain seperti dirinya frustrasi. Walau musim sudah berakhir bagi Laskar Ken Arok dan tidak ada pertandingan lagi, belum terbayarnya gaji tetap mendatangkan kesulitan tersendiri. Untunglah banyak rekan atau keluarga yang memahami kondisinya.
“Tapi kan kami tidak bisa seterusnya berharap kebaikan orang dan terus meminjam,” tukasnya. Sementara ini pemain Persema menempuh jalan yang lebih elegan, yakni berniat mengajukan pengaduan ke FIFA agar mendapat perhatian. Walau pun hasilnya belum tentu memuaskan.(kukuh setyawan)
Dualisme kompetisi, Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL) masih harus ditambah dualisme PSSI. Kisruh di tatanan atas organisasi sepakbola membuat situasi di bawah semakin memburuk. Klub yang terlilit finansial mulai pasrah dengan keadaan.
Paling tersiksa dengan kondisi ini tentu saja pemain. Tidak digaji selama berbulan-bulan membuat pemain frustrasi. Hanya mengandalkan pendapatan dari menggocek si kulit bundar, wajar jika mereka kesulitan menghidupi diri sendiri dan keluarga. Apalagi pemain asing yang butuh pulang kampung.
Dari Persipro Bondowoso United, tiga pemain asing bahkan harus meminta-minta di jalanan untuk menjaga agar perut tidak lapar. Sylla Mbamba (Mali) Camara Abdoulaye Sekau (Guinea) dan Salomon Begondo (Kamerun). Ketiganya baru mendapatkan 15% dari total nilai kontrak di awal musim Divisi Utama lalu.
Sedangkan 85% lainnya sama sekali belum terbayar dan tidak ada kepastian kapan akan terbayar. Kondisi perut lapar, sewa rumah kost, serta keinginan pulang ke kampung halaman, membuat mereka menanggalkan gengsi. Mereka rela membawa kardus untuk mengemis di jalanan Kota Probolinggi.
“Tolong Koin Untuk Pemain Asing Persipro”, begitu salah satu tulisan yang menghiasi kardus bekas air mineral. Camara mengatakan dirinya dan dua rekan sesama pemain asing sudah tidak mempunyai tabungan untuk mengepulkan asal dapur. Bahkan untuk pulang ke kampung jelang bulan Ramadhan masih jauh dari harapan.
“Kami sudah berupaya menemui DPRD dan Walikota, tapi tidak ada hasilnya. Sekarang kami meminta-minta untuk biaya makan dan bayar kost. Sedangkan kami sudah berjuang selama semusim untuk Persipro,” cetus Camara. Persipro Bondowoso United sendiri gagal promosi ke kompetisi tertinggi musim depan.
Staf pelatih Persipro Bondowoso United pun juga mengalami nasib serupa dan tidak bisa berbuat banyak kecuali prihatin. “Sebagai staf pelatih, saya sedih dengan kondisi pemain. Seharusnya mereka tidak mengalami situasi seperti ini karena telah memberikan kemampuannya untuk klub,” ucap salah satu staf pelatih Persipro I Putu Gede.
Walau mengaku pernah mengalami masa-masa buruk secara finansial semasa menjadi pemain, Putu menyesali situasi ini terus berlangsung. Padahal harusnya situasi seperti yang pernah dia rasakan dulu sudah berlalu. “Harusnya sepakbola lebih modern dan tidak ada situasi seperti ini,” ucapnya.
Jangankan Camara dkk yang bermain di kasta kedua, pemain di level tertinggi pun hingga kini masih banyak menanggung hutang. Permain Persema Malang contohnya, harus terus mencari cara agar kondisi perut bisa terjaga setelah klub tak membayar gaji selama hampir empat bulan.
“Saya menyadari kalau ada pemain asing yang sampai meminta-minta. Kondisinya memang begitu. Kami saja harus meminjam, menjual barang berharga, atau meminta bantuan keluarga untuk tetap hidup. Tidak banyak pemain sepakbola yang mempunyai pekerjaan sampingan selain bermain bola,” ungkap Firman Basuki, gelandang Persema Malang.
Firman sendiri mengakui situasi semakin berat dan membuat pemain seperti dirinya frustrasi. Walau musim sudah berakhir bagi Laskar Ken Arok dan tidak ada pertandingan lagi, belum terbayarnya gaji tetap mendatangkan kesulitan tersendiri. Untunglah banyak rekan atau keluarga yang memahami kondisinya.
“Tapi kan kami tidak bisa seterusnya berharap kebaikan orang dan terus meminjam,” tukasnya. Sementara ini pemain Persema menempuh jalan yang lebih elegan, yakni berniat mengajukan pengaduan ke FIFA agar mendapat perhatian. Walau pun hasilnya belum tentu memuaskan.(kukuh setyawan)
(wbs)