Pemain tak punya power
A
A
A
Sindonews.com - Sepakbola Indonesia menghadapi problem serius dalam semusim terakhir. Tak hanya terkait dualisme PSSI, dualisme liga, serta operasional kompetisi yang sangat buruk, lebih penting adalah persoalan pengelolaan klub secara sehat. Belakangan ini menjadi langka di tanah air.
Jarang sekali ditemui klub yang benar-benar sehat dalam pengelolaan sepanjang musim. Terlihat sehat di awal, ternyata terseok-seok do akhir kompetisi. Kondisi di Jawa Timur menjadi miniatur bagaimana buruknya pengelolaan klub dari sisi finansial yang berimplikasi pada kenyamanan pelaku-pelaku dunia sepakbola.
Nyaris tidak ada klub yang sehat di provinsi yang katanya menjadi barometer sepakbola nasional ini. Dari tujuh klub yang bertanding di level atas musim lalu, baik Indonesian Premier League (IPL) maupun Indonesia Super League (ISL), semuanya mengalami masalah keuangan.
Pihak yang paling menjadi korban adalah pemain. Hingga kompetisi selesai dan jelang kompetisi baru, gaji belum sepenuhnya dilunasi. Persela Lamongan, Persibo Bojonegoro, Deltras Sidoarjo, Persema Malang, Arema ISL, semuanya mengalami kesulitan menggaji pemain.
Hanya Persebaya Surabaya dan Arema IPL yang gajinya lumayan lancar walau bukan tanpa kendala keuangan. Arema IPL menyiasati efisiensi klub dengan merumahkan karyawan tanpa kompensasi. Itu belum termasuk puluhan klub Divisi Utama yang tanpa penyokong dana berarti.
“Pemain adalah pihak yang menjadi korban. Mereka dituntut profesional dalam tim, tapi nyatanya manajemen sendiri tidak profesional dalam memenuhi hak mereka. Sialnya klub-klub tidak benar-benar mempunyai jalan dalam mengubah keadaan dan itu berlangsung terus menerus,” ucap Suyitno, pengamat sepakbola asal Malang.
Kondisi musim ini menjadi paling parah dibanding musim-musim sebelumnya. Bukan hanya klub di IPL, namun klub ISL juga mengalami nasib sama. Menurutnya itu merupakan imbas ketergantungan klub kepada 'pemilik' kompetisi yang menjadikan klub anggotanya.
“Persema dan Persibo dan klub IPL lain tergantung pada Konsorsium LPI, dalam hal ini Arifin Panigoro. Klub ISL seperti Persela, Deltras dan Arema ISL masih bergantung pada Bakrie. Masalahnya, pemilik modal itu tidak begitu saja mencairkan dana melimpah untuk klub,” tambahnya.
Menurut Suyitno ini merupakan situasi yang tidak sehat karena tidak selamanya Bakrie dan Arifin Panigoro mempunyai uang nganggur untuk diberikan ke klub. “Pada akhirnya situasinya sama persis seperti saat APBD dulu. Bedanya kali ini tergantung pada Panigoro dan Bakrie. Klub tak pernah bisa kreatif mencari dana sendiri,” lanjutnya.
Perekrutan pemain atau pelatih menurutnya adalah sebuah strategi semu karena nyatanya gaji pemain musim sebelumnya belum juga dilunasi. Pemain dinilainya tidak mempunyai power untuk melawan situasi itu dan membiarkan dirinya menjadi korban ketidakprofesionalan sepakbola nasional.
“Seharusnya ada sebuah langkah konkrit dari pemain. Saya melihat dulu pernah ada gerakan dari asosisasi pemain profesional, tapi kemudian tidak terdengar lagi. Padahal ini berkaitan langsung dengan nasib mereka. Kalau bukan pemain yang berinisiatif, sulit untuk mengubah situasi itu,” tandasnya.
Ucapan itu cukup logis. Klub-klub seperti Persibo Bojonegoro, Persema Malang, Persela Lamongan, Deltras Sidoarjo, megap-megap setelah tidak menerima asupan dari APBD pemerintah setempat. Mereka hanya menunggu uluran dana dari Bakrie dan Konsorsium LPI karena sumber dana dari pihak lain sangat minim.
Namun ada perbedaan gaya antara klub ISL dan IPL dalam menerima bantuan dana dari 'induk'nya. Klub IPL lebih cenderung menerima dana secara langsung dari Konsorsium LPI, sedangkan klub ISL masih diembel-embeli dengan sponsorship, seperti yang terjadi di Arema ISL dan Persela Lamongan.
Arema ISL dua musim menjadi Ijen Nirwana, perusahaan milik Bakrie, sebagai sponsor utama dan mungkin akan berlanjut musim depan. Persela Lamongan musim lalu mendapat bantuan dari Bakrie dari PT Minarak Lapindo yang notabene anak perusahaan Bakrie Grup.
Jarang sekali ditemui klub yang benar-benar sehat dalam pengelolaan sepanjang musim. Terlihat sehat di awal, ternyata terseok-seok do akhir kompetisi. Kondisi di Jawa Timur menjadi miniatur bagaimana buruknya pengelolaan klub dari sisi finansial yang berimplikasi pada kenyamanan pelaku-pelaku dunia sepakbola.
Nyaris tidak ada klub yang sehat di provinsi yang katanya menjadi barometer sepakbola nasional ini. Dari tujuh klub yang bertanding di level atas musim lalu, baik Indonesian Premier League (IPL) maupun Indonesia Super League (ISL), semuanya mengalami masalah keuangan.
Pihak yang paling menjadi korban adalah pemain. Hingga kompetisi selesai dan jelang kompetisi baru, gaji belum sepenuhnya dilunasi. Persela Lamongan, Persibo Bojonegoro, Deltras Sidoarjo, Persema Malang, Arema ISL, semuanya mengalami kesulitan menggaji pemain.
Hanya Persebaya Surabaya dan Arema IPL yang gajinya lumayan lancar walau bukan tanpa kendala keuangan. Arema IPL menyiasati efisiensi klub dengan merumahkan karyawan tanpa kompensasi. Itu belum termasuk puluhan klub Divisi Utama yang tanpa penyokong dana berarti.
“Pemain adalah pihak yang menjadi korban. Mereka dituntut profesional dalam tim, tapi nyatanya manajemen sendiri tidak profesional dalam memenuhi hak mereka. Sialnya klub-klub tidak benar-benar mempunyai jalan dalam mengubah keadaan dan itu berlangsung terus menerus,” ucap Suyitno, pengamat sepakbola asal Malang.
Kondisi musim ini menjadi paling parah dibanding musim-musim sebelumnya. Bukan hanya klub di IPL, namun klub ISL juga mengalami nasib sama. Menurutnya itu merupakan imbas ketergantungan klub kepada 'pemilik' kompetisi yang menjadikan klub anggotanya.
“Persema dan Persibo dan klub IPL lain tergantung pada Konsorsium LPI, dalam hal ini Arifin Panigoro. Klub ISL seperti Persela, Deltras dan Arema ISL masih bergantung pada Bakrie. Masalahnya, pemilik modal itu tidak begitu saja mencairkan dana melimpah untuk klub,” tambahnya.
Menurut Suyitno ini merupakan situasi yang tidak sehat karena tidak selamanya Bakrie dan Arifin Panigoro mempunyai uang nganggur untuk diberikan ke klub. “Pada akhirnya situasinya sama persis seperti saat APBD dulu. Bedanya kali ini tergantung pada Panigoro dan Bakrie. Klub tak pernah bisa kreatif mencari dana sendiri,” lanjutnya.
Perekrutan pemain atau pelatih menurutnya adalah sebuah strategi semu karena nyatanya gaji pemain musim sebelumnya belum juga dilunasi. Pemain dinilainya tidak mempunyai power untuk melawan situasi itu dan membiarkan dirinya menjadi korban ketidakprofesionalan sepakbola nasional.
“Seharusnya ada sebuah langkah konkrit dari pemain. Saya melihat dulu pernah ada gerakan dari asosisasi pemain profesional, tapi kemudian tidak terdengar lagi. Padahal ini berkaitan langsung dengan nasib mereka. Kalau bukan pemain yang berinisiatif, sulit untuk mengubah situasi itu,” tandasnya.
Ucapan itu cukup logis. Klub-klub seperti Persibo Bojonegoro, Persema Malang, Persela Lamongan, Deltras Sidoarjo, megap-megap setelah tidak menerima asupan dari APBD pemerintah setempat. Mereka hanya menunggu uluran dana dari Bakrie dan Konsorsium LPI karena sumber dana dari pihak lain sangat minim.
Namun ada perbedaan gaya antara klub ISL dan IPL dalam menerima bantuan dana dari 'induk'nya. Klub IPL lebih cenderung menerima dana secara langsung dari Konsorsium LPI, sedangkan klub ISL masih diembel-embeli dengan sponsorship, seperti yang terjadi di Arema ISL dan Persela Lamongan.
Arema ISL dua musim menjadi Ijen Nirwana, perusahaan milik Bakrie, sebagai sponsor utama dan mungkin akan berlanjut musim depan. Persela Lamongan musim lalu mendapat bantuan dari Bakrie dari PT Minarak Lapindo yang notabene anak perusahaan Bakrie Grup.
(wbs)