Mandiri tak segampang teori
A
A
A
Sindonews.com —Semusim sudah klub-klub profesional tidak lagi mengandalkan pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seperti perkiraan sebelumnya, klub-klub yang dulunya ditanggung pemerintah daerah setempat mengalami kesulitan finansial hebat.
Pengelolaan yang lebih independen tanpa campur tangan pemerintah, belum menemukan solusi terbaik untuk sekadar mencukupi kebutuhan. Di Jawa Timur, semua klub yang dulunya mengasup dana APBD mengalami kesulitan membayar operasional klub maupun gaji pemain.
Klub-klub besar saat ini harus mati-matian mempertahankan eksistensi adalah Persela Lamongan, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Deltras Sidoarjo, hingga Persik Kediri yang bertanding di Divisi Utama. Persema, Persibo dan Persik yang sahamnya diambilalih Konsorsium PT Mitra Bola Indonesia masih tetap merana.
Deltras yang semula sudah seret pendanaan dari pemerintah Sidoarjo, harus rela terperosok ke Divisi Utama musim depan. Begitu pula dengan Persik Kediri yang sudah terjebak di Divisi Utama tanpa mampu promosi karena tidak ada dana mencukupi untuk modal kompetisi.
Persema, Persibo, serta Persela Lamongan, juga tidak kalah pailit dan kesulitan membayar gaji pemain beberapa bulan musim lalu. Menjadi tim mandiri dengan mengandalkan pemasukan tikat (receipt gate) serta sponsor terbukti bukan teori yang mudah dijalani.
Manajemen Persela mengakui musim pertama tanpa APBD sangat sulit. “Musim kemarin luar biasa berat setelah tidak ada dana dari APBD. Tidak pernah Persela mengalami kesulitan seperti ini. Dana dari sponsor dan pemasukan tiket tidak bisa menutup kebutuhan selama semusim,” ucap Yuhronur Efendi, Asisten Manajer Persela.
Yuhronur yang bermusim-musim bercokol di manajemen Persela, mengakui defisit anggaran lumrah dalam menjalankan klub sepakbola. Namun defisit hingga kesulitan membayar gaji pemain baru dirasakan musim 2011-2012. Belum tuntas memikirkan tunggakan musim lalu, Laskar Joko Tingkir sudah harus sibuk mencari sponsor musim depan.
Sebelum APBD terlarang untuk klub profesional, Persela menerima sekitar Rp12-15 miliar setiap musimnya. Ditambah pemasukan tiket dan sponsor, jumlah itu sudah memadai untuk semusim kompetisi. Musim lalu, Persela hanya bermodal dana kurang dari Rp5 miliar hasil kerjasama sponsorship dengan PT Minarak Lapindo.
Dari situ terlihat jelas penurunan finansial yang signifikan sebelum dan sesudah suplai APBD dihentikan. “Ini ujian yang berat bagi klub yang dulunya mengandalkan APBD seperti Persela. Jangankan mendapat profit, untuk menutup kebutuhan juga sangat sulit. Saya berharap ini hanya untuk musim-musim pertama saja dan ada perbaikan di musim berikutnya. Anggap saja latihan,” kata Yuhronur.
Persema Malang juga harus mengakhiri masa-masa gemerlap bersama Pemkot Malang. Kala masih dikelola Pemkot Malang, paling tidak Persema mendapatkan guyuran dana Rp17 miliar per musim. Setelah Pemkot Malang menyerahkan saham sekaligus pengelolaan klub ke konsorsium, Persema miskin mendadak. Laskar Ken Arok hanya menerima uang recehan dari konsorsium.
Konsorsium tidak lancar dalam mentransfer dana ke klub, sehingga gaji pemain dan operasional tim sempat tidak terbayar. Kondisi yang sama dialami Persibo Bojonegoro, Persik Kediri, serta semua klub-klub yang berafiliasi ke PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).
“Kondisinya memang tak bisa disamakan. Kalau disuruh memilih, jelas kami masih ingin ada dana dari pemerintah daerah (APBD). Namun kan situasi sekarang berubah, karena klub profesional diharuskan bisa menghidupi dirinya sendiri. Saya akui kondisi ini memang sangat sulit,” ungkap Asmuri, Manajer Persema Malang.
Mencari dana sendiri dengan menarik sponsor, sekali lagi bukan proyek sederhana. Lihat saja Persik Kediri yang menderita komplikasi. Sudah tidak mendapat APBD, klub berjuluk Macan Putih juga tak menarik bagi sponsor. PT Gudang Garam yang dulu mendukung penuh Persik, sekarang telah mengalihkan pandangan. Seakan jatuh tertimpa tangga, minat Persikmania ke stadion juga jauh berkurang
Pengelolaan yang lebih independen tanpa campur tangan pemerintah, belum menemukan solusi terbaik untuk sekadar mencukupi kebutuhan. Di Jawa Timur, semua klub yang dulunya mengasup dana APBD mengalami kesulitan membayar operasional klub maupun gaji pemain.
Klub-klub besar saat ini harus mati-matian mempertahankan eksistensi adalah Persela Lamongan, Persema Malang, Persibo Bojonegoro, Deltras Sidoarjo, hingga Persik Kediri yang bertanding di Divisi Utama. Persema, Persibo dan Persik yang sahamnya diambilalih Konsorsium PT Mitra Bola Indonesia masih tetap merana.
Deltras yang semula sudah seret pendanaan dari pemerintah Sidoarjo, harus rela terperosok ke Divisi Utama musim depan. Begitu pula dengan Persik Kediri yang sudah terjebak di Divisi Utama tanpa mampu promosi karena tidak ada dana mencukupi untuk modal kompetisi.
Persema, Persibo, serta Persela Lamongan, juga tidak kalah pailit dan kesulitan membayar gaji pemain beberapa bulan musim lalu. Menjadi tim mandiri dengan mengandalkan pemasukan tikat (receipt gate) serta sponsor terbukti bukan teori yang mudah dijalani.
Manajemen Persela mengakui musim pertama tanpa APBD sangat sulit. “Musim kemarin luar biasa berat setelah tidak ada dana dari APBD. Tidak pernah Persela mengalami kesulitan seperti ini. Dana dari sponsor dan pemasukan tiket tidak bisa menutup kebutuhan selama semusim,” ucap Yuhronur Efendi, Asisten Manajer Persela.
Yuhronur yang bermusim-musim bercokol di manajemen Persela, mengakui defisit anggaran lumrah dalam menjalankan klub sepakbola. Namun defisit hingga kesulitan membayar gaji pemain baru dirasakan musim 2011-2012. Belum tuntas memikirkan tunggakan musim lalu, Laskar Joko Tingkir sudah harus sibuk mencari sponsor musim depan.
Sebelum APBD terlarang untuk klub profesional, Persela menerima sekitar Rp12-15 miliar setiap musimnya. Ditambah pemasukan tiket dan sponsor, jumlah itu sudah memadai untuk semusim kompetisi. Musim lalu, Persela hanya bermodal dana kurang dari Rp5 miliar hasil kerjasama sponsorship dengan PT Minarak Lapindo.
Dari situ terlihat jelas penurunan finansial yang signifikan sebelum dan sesudah suplai APBD dihentikan. “Ini ujian yang berat bagi klub yang dulunya mengandalkan APBD seperti Persela. Jangankan mendapat profit, untuk menutup kebutuhan juga sangat sulit. Saya berharap ini hanya untuk musim-musim pertama saja dan ada perbaikan di musim berikutnya. Anggap saja latihan,” kata Yuhronur.
Persema Malang juga harus mengakhiri masa-masa gemerlap bersama Pemkot Malang. Kala masih dikelola Pemkot Malang, paling tidak Persema mendapatkan guyuran dana Rp17 miliar per musim. Setelah Pemkot Malang menyerahkan saham sekaligus pengelolaan klub ke konsorsium, Persema miskin mendadak. Laskar Ken Arok hanya menerima uang recehan dari konsorsium.
Konsorsium tidak lancar dalam mentransfer dana ke klub, sehingga gaji pemain dan operasional tim sempat tidak terbayar. Kondisi yang sama dialami Persibo Bojonegoro, Persik Kediri, serta semua klub-klub yang berafiliasi ke PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).
“Kondisinya memang tak bisa disamakan. Kalau disuruh memilih, jelas kami masih ingin ada dana dari pemerintah daerah (APBD). Namun kan situasi sekarang berubah, karena klub profesional diharuskan bisa menghidupi dirinya sendiri. Saya akui kondisi ini memang sangat sulit,” ungkap Asmuri, Manajer Persema Malang.
Mencari dana sendiri dengan menarik sponsor, sekali lagi bukan proyek sederhana. Lihat saja Persik Kediri yang menderita komplikasi. Sudah tidak mendapat APBD, klub berjuluk Macan Putih juga tak menarik bagi sponsor. PT Gudang Garam yang dulu mendukung penuh Persik, sekarang telah mengalihkan pandangan. Seakan jatuh tertimpa tangga, minat Persikmania ke stadion juga jauh berkurang
(wbs)