Bukan sponsor, tapi investor

Minggu, 07 Oktober 2012 - 00:29 WIB
Bukan sponsor, tapi...
Bukan sponsor, tapi investor
A A A
Sindonews.com - Konsep sepakbola modern yang business oriented dari penjualan tiket, sponsor, sekaligus penjualan merchandise, ternyata gagal dilakukan di musim pertama. Hampir semua klub tidak mampu menjalankan ketiganya dengan baik karena keterbatasan yang dipunyai masing-masing klub.

Penjualan merchandise menjadi aspek yang paling sulit digarap karena membutuhkan pengelolaan yang rumit. Banyaknya merchandise klub yang beredar bebas di pasaran membuat pihak klub kesulitan memasarkan produk asli. Ini sudah membudaya di Indonesia.

Bisa dikatakan untuk era sekarang ini penjualan merchandise bukan sektor yang bisa diharapkan sebagai pemasukan. Aspek yang masuk akal dijalankan klub adalah penjualan tiket dan sponsor, walau itu tetap tergantung nama besar klub, supporter, sekaligus prestasi.

Pemasukan tiket terbesar di antara klub-klub Jawa Timur musim lalu masih dipegang tiga klub, yakni Persebaya Surabaya (rata-rata 20.000 penonton per pertandingan), Arema FC versi Indonesia Super League (rata-rata 18.000 penonton), serta Persela Lamongan (12.000 penonton). Di bawah mereka ada Persibo Bojonegoro, Arema IPL, Persema Malang, serta terendah Deltras Sidoarjo.

Bisa dibayangkan jika Persebaya Surabaya dan Arema ISL yang menempati peringkat tertinggi rataan penonton saja masih sulit menghidupi klub, tentu di bawahnya jauh lebih parah. Ini terjadi pada Persema, Arema IPL, serta Deltras Sidoarjo yang terdegradasi. Nyaris penjualan tiket tak ada artinya bagi mereka.

Penjualan tiket ternyata berbanding lurus dengan sponsor. Secara otomatis, klub yang lebih berpeluang mendapatkan sponsor adalah mereka yang mempunyai rataan penonton tinggi. Namun bagi klub sekarang, pemasukan dari sponsor juga belum menjadi jaminan bisa menutup keuangan.

Persela Lamongan misalnya, tetap mengalami krisis finansial walau mendapatkan dana sponsor PT Minarak Lapindo Jaya musim lalu sekira Rp5 miliar. Begitu pula Arema ISL yang terseok-seok di penghujung musim walau termasuk sebagai klub yang paling banyak sponsor walaupun tidak ada yang kakap, kecuali Ijen Nirwana Regency.

"Kami musim lalu memang kurang maksimal karena sempat ada perpecahan Arema. Tapi pemasukan dari sponsor memang tidak bisa dijadikan pilar utama, harus didukung pemasukan dari aspek lain. Itu pun kadang tidak cukup untuk mendanai klub selama semusim," ucap Direktur Utama Arema ISL Ruddy Widodo.

Setelah lepas dari PT Bentoel Prima pada 2009 silam, praktis Singo Edan selalu mengawali musim dalam kondisi defisit. Itu berlaku hingga sekarang, kecuali jika nantinya benar-benar ada merger antara Arema ISL dengan Pelita Jaya yang disebut-sebut bakal menjamin finansial ke depannya.

Kontras jika dibanding Persema Malang yang sama sekali tidak mempunyai daya tarik bagi sponsor. Tak mengherankan jika Laskar Ken Arok limbung di musim pertama tanpa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kondisi sama menimpa Persik Kediri, Persibo Bojonegoro dan Deltras Sidoarjo.

Paling tidak krisis keuangan yang menimpa hampir semua klub musim lalu membuktikan tiga aspek, yakni sponsor, pemasukan tiket dan merchandise, tidak berjalan dengan baik atau malah tak tergarap sama sekali. Padahal ketiga aspek itulah yang seharusnya diseriusi karena klub tidak lagi bisa menagih dana dari pemerintah.

"Kalau pemasukan tiket sudah lumayan. Tapi untuk merchandise dan sponsor jujur saja kami masih kurang. Mungkin masih perlu waktu untuk belajar dan mengatur strategi agar semua aspek bisa mendatangkan pemasukan," kata Media Officer Persibo Bojonegoro Imam Nur Cahyo.

Lantas, apa jalan pintas bagi klub sekarang ini? Investor. Ya, ini yang paling dirindukan klub-klub di Indonesia. Klub tak sekadar butuh sponsor, tapi investor. Hanya dengan keterlibatan investor yang komit terhadap pengelolaan klub-lah yang bisa mengubah nasib. Arema IPL bisa menjadi contoh ketika ditangani Ancora dan bisa menjalankan klub di tiga kompetisi musim lalu tanpa ada persoalan gaji.

Ini juga yang menjadikan alasan Arema ISL terbuka terhadap kerjasama dengan Pelita Jaya yang mengarah ke merger. Sejauh investor bisa profesional, nasib klub bisa berubah. Asal tidak seperti Konsorsium PT Mitra Bola Indonesia (MBI) yang mangkir dalam pembayaran dana ke klub hingga gaji pemain terlambat berbulan-bulan.

Jika hanya mengandalkan sponsor yang tak seberapa, tampaknya masih sulit melihat klub-klub Indonesia mapan dalam beberapa musim ke depan. Apalagi dalam dunia bisnis Indonesia, sepakbola belum dipandang sebagai pasar yang potensial dan sebatas dianggap konsumsi strata masyarakat bawah.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0653 seconds (0.1#10.140)