Kesempatan 'menebus dosa'
A
A
A
Sindonews.com —Saga Arema Fc versi Indonesia Super League (ISL) dan Pelita Jaya berakhir sudah. Rencana merger yang sempat menghebohkan itu akhirnya pupus seiring langkah Pelita Cronous mengakuisisi 100% saham Arema ISL dan melepas Pelita Jaya ke Bandung Raya.
Sebuah skenario yang jitu. Bakrie sangat tahu Arema membutuhkan investor dan sekaligus menyadari Pelita Jaya sama sekali tidak berprospek bagus. Namun ada cerita menarik di balik saga kedua klub tersebut. Bagi saya yang paling menarik adalah sosok Iwan Budianto.
Pria yang pernah menjadi manajer Arema Malang di awal 2000-an tersebut kini duduk sebagai CEO Arema ISL. Setelah sebelumnya menjadi CEO Pelita Cronous yang membawahi Pelita Jaya, Iwan mendapat kepercayaan menjadi CEO Arema ISL setelah diakuisisi Bakrie Grup.
Keberadaan Iwan di Arema ISL menjadi pembukti bahwa tidak ada musuh abadi di dunia sepakbola. Di sini benang merahnya. Bercerita soal perjalanan Iwan, saya harus kembali lagi ke era 2002-2003 silam. Peristiwa yang telah berlalu satu dasawarsa namun saya yakin masih diingat benar oleh Aremania.
Tahukah apa predikat yang disematkan Aremania kepada Iwan Budianto kala itu? “Pengkhianat”. Ya, Iwan Budianto menjadi musuh besar bagi Aremania setelah meninggalkan Stadion Gajayana dan menuju Stadion Brawijaya, Kediri, untuk menangani Persik Kediri. Tak sekadar geser ke Kediri, Iwan juga membawa hampir seluruh skuad Arema.
Bedol desa itu merupakan peristiwa paling menyakitkan, apalagi Singo Edan sedang krisis keuangan. Kebencian Aremania kepada Iwan Dudianto semakin menjadi karena musim berikutnya Persik Kedisi juara Divisi Utama (sebelum ada ISL), sedangkan Arema degradasi ke Divisi I.
Sejak itulah sejarah permusuhan Arema-Persik diawali dan hingga kini kedua supporter klub tidak pernah akur. Sebenarnya bukan perpindahan Iwan Budianto yang memicu kebencian Aremania waktu itu. Namun keputusannya membawa rombongan pemain Arema ke Kediri.
Saat Iwan duduk di posisi manajer tim Arema mendampingi Lucky Adrianda Zaenal, prestasinya juga tidak mentereng. Hanya saja Iwan yang kondang sebagai menantu Walikota Kediri saat itu dipandang sebagai sosok yang pintar 'mencari duit' untuk menopang keuangan Arema yang reot.
Namun seiring pergantian waktu, kebencian Aremania terhadap Iwan Budianto sedikit demi sedikit mulai luntur. Selain Iwan sudah tidak berada di Persik, pria yang pernah kesandung isu suap pada 2011 lalu ini juga tidak lagi bersentuhan dengan Arema. Aremania juga sudah mulai lupa pada sosok Iwan Budianto.
Jelang musim 2011-2012 lalu, Iwan mulai muncul kembali di Malang dan berencana menjadi investor Arema. Tapi rencana akhirnya gagal karena adanya sengketa di tubuh Singo Edan. Satu musim berselang, akhirnya dia benar-benar berhasil kembali ke Malang dengan membawa bendera Bakrie Grup.
Mulai menggagas kerjasama Arema-Pelita, rencana merger, hingga akhirnya mengakuisisi Arema ISL. Posisi CEO Arema ISL ibaratnya menjadi pencuci nama bagi Iwan Budianto yang pernah menjadi public enemy bagi Aremania sepuluh tahun silam. Dia seakan mendapat kesempatan 'menebus dosa' kepada Arema.
Aremania pun tampaknya sudah tidak antipati terhadap sosok yang pernah duduk di kepengurusan PSSI ini. Sudah tidak ada lagi kebencian atau omongan miring soal Iwan Budianto yang dulu dicap pengkhianat. Apa karena Iwan kali ini datang membawa uang? Entahlah. Menurut saya supporter mulai sadar tak ada gunanya menanam dendam di sepakbola.
Lagipula, bagi klub sepakbola, uang jelas lebih jauh penting dibanding sebuah kebencian. Jika hanya ngotot dengan kebencian, maka Arema ISL mungkin tidak akan mendapatkan investor kakap seperti sekarang. Arema tetap menjadi tim dengan rekening melompong.
Harus diakui Iwan Budianto menjadi sosok vital di balik akuisisi Arema ISL oleh Pelita Cronous. Dialah otak yang merancang skenario di Stadion Kanjuruhan selama ini, walau harus didahului dengan polemik soal rencana merger Arema-Pelita. Well, 'From Zero to Hero
Sebuah skenario yang jitu. Bakrie sangat tahu Arema membutuhkan investor dan sekaligus menyadari Pelita Jaya sama sekali tidak berprospek bagus. Namun ada cerita menarik di balik saga kedua klub tersebut. Bagi saya yang paling menarik adalah sosok Iwan Budianto.
Pria yang pernah menjadi manajer Arema Malang di awal 2000-an tersebut kini duduk sebagai CEO Arema ISL. Setelah sebelumnya menjadi CEO Pelita Cronous yang membawahi Pelita Jaya, Iwan mendapat kepercayaan menjadi CEO Arema ISL setelah diakuisisi Bakrie Grup.
Keberadaan Iwan di Arema ISL menjadi pembukti bahwa tidak ada musuh abadi di dunia sepakbola. Di sini benang merahnya. Bercerita soal perjalanan Iwan, saya harus kembali lagi ke era 2002-2003 silam. Peristiwa yang telah berlalu satu dasawarsa namun saya yakin masih diingat benar oleh Aremania.
Tahukah apa predikat yang disematkan Aremania kepada Iwan Budianto kala itu? “Pengkhianat”. Ya, Iwan Budianto menjadi musuh besar bagi Aremania setelah meninggalkan Stadion Gajayana dan menuju Stadion Brawijaya, Kediri, untuk menangani Persik Kediri. Tak sekadar geser ke Kediri, Iwan juga membawa hampir seluruh skuad Arema.
Bedol desa itu merupakan peristiwa paling menyakitkan, apalagi Singo Edan sedang krisis keuangan. Kebencian Aremania kepada Iwan Dudianto semakin menjadi karena musim berikutnya Persik Kedisi juara Divisi Utama (sebelum ada ISL), sedangkan Arema degradasi ke Divisi I.
Sejak itulah sejarah permusuhan Arema-Persik diawali dan hingga kini kedua supporter klub tidak pernah akur. Sebenarnya bukan perpindahan Iwan Budianto yang memicu kebencian Aremania waktu itu. Namun keputusannya membawa rombongan pemain Arema ke Kediri.
Saat Iwan duduk di posisi manajer tim Arema mendampingi Lucky Adrianda Zaenal, prestasinya juga tidak mentereng. Hanya saja Iwan yang kondang sebagai menantu Walikota Kediri saat itu dipandang sebagai sosok yang pintar 'mencari duit' untuk menopang keuangan Arema yang reot.
Namun seiring pergantian waktu, kebencian Aremania terhadap Iwan Budianto sedikit demi sedikit mulai luntur. Selain Iwan sudah tidak berada di Persik, pria yang pernah kesandung isu suap pada 2011 lalu ini juga tidak lagi bersentuhan dengan Arema. Aremania juga sudah mulai lupa pada sosok Iwan Budianto.
Jelang musim 2011-2012 lalu, Iwan mulai muncul kembali di Malang dan berencana menjadi investor Arema. Tapi rencana akhirnya gagal karena adanya sengketa di tubuh Singo Edan. Satu musim berselang, akhirnya dia benar-benar berhasil kembali ke Malang dengan membawa bendera Bakrie Grup.
Mulai menggagas kerjasama Arema-Pelita, rencana merger, hingga akhirnya mengakuisisi Arema ISL. Posisi CEO Arema ISL ibaratnya menjadi pencuci nama bagi Iwan Budianto yang pernah menjadi public enemy bagi Aremania sepuluh tahun silam. Dia seakan mendapat kesempatan 'menebus dosa' kepada Arema.
Aremania pun tampaknya sudah tidak antipati terhadap sosok yang pernah duduk di kepengurusan PSSI ini. Sudah tidak ada lagi kebencian atau omongan miring soal Iwan Budianto yang dulu dicap pengkhianat. Apa karena Iwan kali ini datang membawa uang? Entahlah. Menurut saya supporter mulai sadar tak ada gunanya menanam dendam di sepakbola.
Lagipula, bagi klub sepakbola, uang jelas lebih jauh penting dibanding sebuah kebencian. Jika hanya ngotot dengan kebencian, maka Arema ISL mungkin tidak akan mendapatkan investor kakap seperti sekarang. Arema tetap menjadi tim dengan rekening melompong.
Harus diakui Iwan Budianto menjadi sosok vital di balik akuisisi Arema ISL oleh Pelita Cronous. Dialah otak yang merancang skenario di Stadion Kanjuruhan selama ini, walau harus didahului dengan polemik soal rencana merger Arema-Pelita. Well, 'From Zero to Hero
(wbs)