Konflik suporter Solo-sleman bisa didamaikan
A
A
A
Sindonews.com - Aksi brutal antarsuporter Persis Solo dan PSS Sleman yang terjadi di Stadion Manahan Solo, Rabu (4/9) membuat khawatir sejumlah pihak. Namun, di balik itu kerusuhan itu, perseteruan antarsuporter masih berpeluang bisa didamaikan.
Menurut pengamat bola Rahardian, di atas kertas mendamaikan suporter Persis Solo dengan PSS Sleman lebih mudah dilakukan dibanding mendamaikan suporter Solo dengan Yogyakarta (PSIM). "Perseteruan Solo dan Sleman belum mengakar," kata dia, Kamis (5/9/2013).
Perseteruan kedua suporter tim (Persis dan PSS) baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ini berbeda dengan konflik antara Solo dengan Yogyakarta yan sudah mengakar sejak masih dalam kompetisi perserikatan. "Karena pada dasarnya antara Sleman dan Solo sebelumnya adalah kongsi, mereka berteman," imbunya.
Pasoepati dan Slemania awalnya kelompok yang bersaudara. Saat kedua tim bertanding, kedua tim saling membawakan oleh-oleh khas daerahnya masing-masing. Misalnya saat PSS bertandang ke Manahan membawa Salak Pondoh sedangkan saat Persis bertandang ke Maguwoharjo membawa hasil kerajinan khas Solo.
Rahardian berpendapat, di Indonesia ada termnologi dua kelompok besar. Dua kelompok itu diwakili Aremania (Malang), Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo) Slemania (Sleman) dan lainnya. Sedangkan kelompok besar lainnya terdiri Viking (Bandung) Bonek (Surabaya) Brajamusti (Yogyakarta) dan lainnya.
Artinya, Sleman dan Solo sebenarnya berada dalam satu kongsi. Secara geografis, kedua kelompok ini memiliki 'musuh' yang sama, Brajamusti (PSIM). Bahkan, di kalangan Brajamusti sempat muncul slogan, "Biru Tanpa Merah dan Hijau". Maksud dari slogan ini, biru adalah PSIM, merah adalah Persis Solo dan hijau adalah PSS Sleman.
Menariknya, kata Rahardian, belum lama ini setelah Biru dan Hijau berdamai, justru Merah dan Hijau pecah kongsi. "Mengapa pecah kongsi, karena di Sleman memiliki dua kelompok suporter," ungkapnya.
Ya, suporter Sleman memiliki dua kelompok yakni Slemania dan Brigata Curva Sud (BCS). Menurut dia, yang membuat pecah kongsi dengan Pasoepati bukan Slemania, tapi BCS. "Tapi yang disayangkan dari Pasoepati adalah memukul rata bahwa Sleman (Slemania dan BCS) menjadi musuh," jelasnya.
Menurut dia, masih ada harapan untuk mendamaikan suporter kedua tim. Selain peran aktif dari insitusi sepak bola dan mediasi dari sejumlah pihak, kunci utama sebenamya terletak pada Slemania. "Sekali lagi, permusuhan mereka belum mengakar. Tapi kalau dibiarkan, itu yang berbahaya," ungkapnya.
Menurut pengamat bola Rahardian, di atas kertas mendamaikan suporter Persis Solo dengan PSS Sleman lebih mudah dilakukan dibanding mendamaikan suporter Solo dengan Yogyakarta (PSIM). "Perseteruan Solo dan Sleman belum mengakar," kata dia, Kamis (5/9/2013).
Perseteruan kedua suporter tim (Persis dan PSS) baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ini berbeda dengan konflik antara Solo dengan Yogyakarta yan sudah mengakar sejak masih dalam kompetisi perserikatan. "Karena pada dasarnya antara Sleman dan Solo sebelumnya adalah kongsi, mereka berteman," imbunya.
Pasoepati dan Slemania awalnya kelompok yang bersaudara. Saat kedua tim bertanding, kedua tim saling membawakan oleh-oleh khas daerahnya masing-masing. Misalnya saat PSS bertandang ke Manahan membawa Salak Pondoh sedangkan saat Persis bertandang ke Maguwoharjo membawa hasil kerajinan khas Solo.
Rahardian berpendapat, di Indonesia ada termnologi dua kelompok besar. Dua kelompok itu diwakili Aremania (Malang), Jakmania (Jakarta), Pasoepati (Solo) Slemania (Sleman) dan lainnya. Sedangkan kelompok besar lainnya terdiri Viking (Bandung) Bonek (Surabaya) Brajamusti (Yogyakarta) dan lainnya.
Artinya, Sleman dan Solo sebenarnya berada dalam satu kongsi. Secara geografis, kedua kelompok ini memiliki 'musuh' yang sama, Brajamusti (PSIM). Bahkan, di kalangan Brajamusti sempat muncul slogan, "Biru Tanpa Merah dan Hijau". Maksud dari slogan ini, biru adalah PSIM, merah adalah Persis Solo dan hijau adalah PSS Sleman.
Menariknya, kata Rahardian, belum lama ini setelah Biru dan Hijau berdamai, justru Merah dan Hijau pecah kongsi. "Mengapa pecah kongsi, karena di Sleman memiliki dua kelompok suporter," ungkapnya.
Ya, suporter Sleman memiliki dua kelompok yakni Slemania dan Brigata Curva Sud (BCS). Menurut dia, yang membuat pecah kongsi dengan Pasoepati bukan Slemania, tapi BCS. "Tapi yang disayangkan dari Pasoepati adalah memukul rata bahwa Sleman (Slemania dan BCS) menjadi musuh," jelasnya.
Menurut dia, masih ada harapan untuk mendamaikan suporter kedua tim. Selain peran aktif dari insitusi sepak bola dan mediasi dari sejumlah pihak, kunci utama sebenamya terletak pada Slemania. "Sekali lagi, permusuhan mereka belum mengakar. Tapi kalau dibiarkan, itu yang berbahaya," ungkapnya.
(wbs)