Dicerai dana APBD, klub unifikasi krisis
A
A
A
Sindonews.com - Krisis finansial kembali dialami beberapa klub kontestan liga unifikasi 2014. Bahkan sebelum pertarungan dimulai, dua klub Jawa Timur yakni Persik Kediri dan Persegres Gresik United sudah menawarkan klub kepada investor karena tidak ada sponsor yang memadai. Fenomena semacam ini ternyata masih menjadi tradisi, terutama klub-klub yang dulunya dikelola pemerintah daerah dan mendapat pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Hampir semua klub kolaps di musim pertamanya tanpa campur tangan pemerintah. Beberapa aspek yang menjadi syarat hidupnya klub profesional masih terlampau sulit dikelola. Pemasukan tiket tidak seberapa, pencarian dana via penjualan merchandise juga belum berjalan untuk menambal kebutuhan miliaran rupiah dalam semusim.
Akibatnya sepakbola hanya sekadar proyek merugi. Untung belum, tekor sudah pasti. Persela Lamongan menjadi contoh bagaimana sebuah klub harus berdarah-darah setelah diceraikan dana APBD. Setelah tanpa dana pemerintah, klub berjuluk Laskar Joko Tingkir mengalami krisis panjang dan bahkan sempat menunggak gaji pemain hingga tujuh bulan di ISL edisi 2011-2012.
Walau akhirnya bisa bernafas di musim setelahnya, harus diakui sebuah klub bakal kesulitan tanpa sponsor atau investor memadai. "Banyak aspek yang menentukan berhasil tidaknya sebuah tim dalam mencari dana secara mandiri. Misalnya potensi di daerah tersebut," ujar Asisten Manajer Persela, Yuhronur Efendi, Jumat (1/11/2013).
Dia juga mengatakan masih sangat jauh untuk bicara keuntungan dalam sepakbola Indonesia. Sejauh ini yang memberikan pemasukan paling besar setelah sponsor hanyalah penjualan tiket. "Selain penjualan tiket tampaknya masih terlalu sulit dilakukan. Untuk bicara keuntungan jelas belum bisa," tambahnya.
Dari situ bisa disimpulkan bila penggalian dana tak sepenuhnya tergantung kerja keras manajemen karena kemampuan sebuah daerah juga ikut menentukan. Itu yang kini dirasakan Persik Kediri ketika menghadapi sulitnya mencari sponsor di wilayah Kota Tahu. Sedangkan potensi yang paling menonjol di kota tersebut hanyalah produsen rokok PT Gudang Garam. Ketika Gudang Garam menyetop dana untuk Persik, maka tertutup pula kesempatan memperoleh dana besar.
"Kami sudah melakukan pendekatan dengan sejumlah perusahaan. Tapi tidak semuanya bersedia menjadi sponsor karena tergantung kekuatan finansial perusahaan tersebut. Dari upaya yang dilakukan manajemen, hasilnya jauh dari kebutuhan klub dalam semusim," papar Barnadi, Sekretaris Persik Kediri.
Memanfaatkan potensi lokal juga tidak segampang yang dibayangkan. Kontinuitas pengusaha atau perusahaan dalam membantu tim tidak bisa diandalkan. Jika musim sebelumnya mereka mengucurkan dananya untuk klub, belum tentu bisa kembali terulang tahun berikutnya.
Kasus seperti ini terjadi di Persegres Gresik United. Persegres yang menghabiskan dana Rp30 miliar di musim 2012-2013, sebagian dari nominal itu berasal dari bantuan sejumlah perusahaan. Tapi bantuan tersebut tidak berlanjut karena pengusaha-pengusaha harus berpikir ulang untuk mengucurkan dana ke klub.
Salah satu sumber di internal Persegres mengungkap, cara mendekati pengusaha tersebut coba kembali diandalkan musim ini. Namun ternyata skenario itu sudah kedaluwarsa karena para pengusaha enggan memberikan dananya untuk Persegres dengan alasan tidak ada uang.
"Langkah itu (sumbangan pengusaha) tidak berhasil dan membuat Persegres tak punya sumber dana pasti. Saya pribadi paham para pengusaha enggan memberi bantuan dana karena tidak ada imbal balik untuk mereka. Kalau pun menjadi sponsor, pengaruhnya tak signifikan terhadap kenaikan omzet perusahaan," ucap sumber di Persegres tersebut.
Strategi 'menodong' pengusaha adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan klub untuk bisa tetap eksis di kompetisi. Sebab hampir semua hal di sepakbola Indonesia hanya bersifat sementara, termasuk jika menemukan investor kakap sekalipun. Investor bisa datang dan pergi sesuka hati.
Hampir semua klub kolaps di musim pertamanya tanpa campur tangan pemerintah. Beberapa aspek yang menjadi syarat hidupnya klub profesional masih terlampau sulit dikelola. Pemasukan tiket tidak seberapa, pencarian dana via penjualan merchandise juga belum berjalan untuk menambal kebutuhan miliaran rupiah dalam semusim.
Akibatnya sepakbola hanya sekadar proyek merugi. Untung belum, tekor sudah pasti. Persela Lamongan menjadi contoh bagaimana sebuah klub harus berdarah-darah setelah diceraikan dana APBD. Setelah tanpa dana pemerintah, klub berjuluk Laskar Joko Tingkir mengalami krisis panjang dan bahkan sempat menunggak gaji pemain hingga tujuh bulan di ISL edisi 2011-2012.
Walau akhirnya bisa bernafas di musim setelahnya, harus diakui sebuah klub bakal kesulitan tanpa sponsor atau investor memadai. "Banyak aspek yang menentukan berhasil tidaknya sebuah tim dalam mencari dana secara mandiri. Misalnya potensi di daerah tersebut," ujar Asisten Manajer Persela, Yuhronur Efendi, Jumat (1/11/2013).
Dia juga mengatakan masih sangat jauh untuk bicara keuntungan dalam sepakbola Indonesia. Sejauh ini yang memberikan pemasukan paling besar setelah sponsor hanyalah penjualan tiket. "Selain penjualan tiket tampaknya masih terlalu sulit dilakukan. Untuk bicara keuntungan jelas belum bisa," tambahnya.
Dari situ bisa disimpulkan bila penggalian dana tak sepenuhnya tergantung kerja keras manajemen karena kemampuan sebuah daerah juga ikut menentukan. Itu yang kini dirasakan Persik Kediri ketika menghadapi sulitnya mencari sponsor di wilayah Kota Tahu. Sedangkan potensi yang paling menonjol di kota tersebut hanyalah produsen rokok PT Gudang Garam. Ketika Gudang Garam menyetop dana untuk Persik, maka tertutup pula kesempatan memperoleh dana besar.
"Kami sudah melakukan pendekatan dengan sejumlah perusahaan. Tapi tidak semuanya bersedia menjadi sponsor karena tergantung kekuatan finansial perusahaan tersebut. Dari upaya yang dilakukan manajemen, hasilnya jauh dari kebutuhan klub dalam semusim," papar Barnadi, Sekretaris Persik Kediri.
Memanfaatkan potensi lokal juga tidak segampang yang dibayangkan. Kontinuitas pengusaha atau perusahaan dalam membantu tim tidak bisa diandalkan. Jika musim sebelumnya mereka mengucurkan dananya untuk klub, belum tentu bisa kembali terulang tahun berikutnya.
Kasus seperti ini terjadi di Persegres Gresik United. Persegres yang menghabiskan dana Rp30 miliar di musim 2012-2013, sebagian dari nominal itu berasal dari bantuan sejumlah perusahaan. Tapi bantuan tersebut tidak berlanjut karena pengusaha-pengusaha harus berpikir ulang untuk mengucurkan dana ke klub.
Salah satu sumber di internal Persegres mengungkap, cara mendekati pengusaha tersebut coba kembali diandalkan musim ini. Namun ternyata skenario itu sudah kedaluwarsa karena para pengusaha enggan memberikan dananya untuk Persegres dengan alasan tidak ada uang.
"Langkah itu (sumbangan pengusaha) tidak berhasil dan membuat Persegres tak punya sumber dana pasti. Saya pribadi paham para pengusaha enggan memberi bantuan dana karena tidak ada imbal balik untuk mereka. Kalau pun menjadi sponsor, pengaruhnya tak signifikan terhadap kenaikan omzet perusahaan," ucap sumber di Persegres tersebut.
Strategi 'menodong' pengusaha adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan klub untuk bisa tetap eksis di kompetisi. Sebab hampir semua hal di sepakbola Indonesia hanya bersifat sementara, termasuk jika menemukan investor kakap sekalipun. Investor bisa datang dan pergi sesuka hati.
(akr)