Pontensi gesekan besar, pertanda buruk ISL 2014
A
A
A
Sindonews.com -- Untuk kedua kalinya Jawa Timur gagal menggelar pertandingan final turnamen pra musim secara normal. Masih belum hilang dari ingatan final East Java Tournament yang dibuang ke markas Akademi Angkatan Laut (AAL) Bumimoro, kini menular ke Inter Island Cup (IIC).
Pertandingan final antara Arema Cronous kontra Persib Bandung yang sejatinya di helat 25 Januari di Gelora Delta Sidoarjo, mendapat lampur merah dari aparat keamanan. Terpaksa PT Liga Indonesia memutuskan final ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Gagalnya dua final turnamen di Jawa Timur tersebut menjadi sinyalemen negatif bagi Indonesia Super League (ISL). Sekilas itu menjadi gambaran bahwa potensi pembatalan pertandingan karena faktor keamanan yang melibatkan supporter sangat mudah terjadi.
Walau PT Liga Indonesia sudah membelah kompetisi menjadi dua wilayah, gesekan antar supporter belum sepenuhnya hilang. Sebab perseteruan antar supporter kini tak lagi tergantung siapa yang bertanding di lapangan.
Klub-klub yang memiliki rivalitas supporter dan berada satu wilayah seperti Arema Cronous-Persik Kediri, Persela Lamongan-Persebaya, harus bersiap pertandingan mereka bakal bermasalah. Belum lagi dikaitkan dengan ramainya agenda politik di 2014.
Sudah menjadi tradisi bahwa pihak kepolisian tidak mau repot ketika ada agenda politik di wilayahnya. Agenda politik ibarat dewa. Berbagai macam keramaian, termasuk pertandingan sepakbola, semua harus tiarap ketika ada acara politik.
"Idealnya situasi seperti ini dibicarakan jauh hari, terutama soal antisipasi faktor keamanan. Saya lihat tidak ada upaya apa pun, baik dari PSSI maupun kepolisian, untuk berdiskusi khusus membahas potensi terganggunya pertandingan di ISL. Padahal Jawa Timur harusnya mendapat perlakuan istimewa karena paling banyak klubnya dan ada yang tidak rukun," ujar Suyitno, pengamat bola Jawa Timur.
Tanpa ada upaya antisipasi sejak dini, dia yakin fenomena di final East Java Tournament dan Inter Island Cup bakal kembali terjadi di kemudian hari. Pada akhirnya pertandingan yang seharusnya menjadi hiburan dan adu kualitas tim, berubah cacat.
Dia menunjuk final East Java Tournament yang akhirnya memunculkan sentimen pada panitia penyelenggara. Panitia dituding tidak konsisten karena mengubah-ubah venue final antara Persebaya versus Arema Cronous. Ujungnya lebih parah, laga digelar AAL dan tanpa penonton.
"Khusus Inter Island Cup, menurut saya PT Liga Indonesia terburu-buru menunjuk Gelora Delta Sidoarjo sebagai venue final. Mereka seakan menutup mata dari pengalaman bahwa Aremania kurang aman ketika berada di daerah sekitar Surabaya," tambah dia.
Solusi terbaik, menurut pandangan Suyitno, adalah memindahkan venue di tempat lain dan tak perlu dipaksakan di Sidoarjo. Stadion di Jawa Tengah, disebut sebagai tempat paling ideal jika bicara tempat netral karena jaraknya sama-sama jauh dari Bandung maupun Malang.
Pemindahan venue menjadi pilihan lebih baik dibanding pertandingan tanpa penonton. "Semua sudah tahu bagaimana tidak menariknya sebuah pertandingan final tanpa penonton (East Java Tournament 2013). Sangat keterlaluan kalau dipaksakan seperti itu lagi," tandasnya.
Kekhawatiran aparat keamanan terhadap ancaman kekacauan di Sidoarjo sangat beralasan. Apalagi lawannya adalah Persib Bandung dengan supporter Bobotoh. Setiap kali datang ke Jawa Timur, supporter Persebaya alias Bonek selalu membonceng mereka.
Pengalaman Persib saat bermain di Gelora Delta beberapa musim lalu, sebagian yang hadir adalah Bonek. Padahal Persebaya sama sekali gak terlibat di pertandingan. Aspek ini rupanya yang menjadi kekhawatiran terjadinya gangguan keamanan.
Melihat peta kerusuhan supporter di Sidoarjo, sebenarnya bukan Gelora Delta yang menjadi lokasi 'pertikaian'. Para supporter biasanya panas di jalanan sekitar stadion, sekaligus jembatan layang tol berjarak 500 meter dari Gelora Delta yang menjadi akses supporter ke Malang. Di sana aksi pelemparan kerap terjadi.
Kasat Intel Polres Sidoarjo Kompol Sayuti mengakui bahwa alasan utama tidak keluarnya izin pertandingan adalah faktor keamanan dari supporter, bukan faktor lain. "Potensi terjadi gesekan supporter terlampau besar," tegasnya.
Pertandingan final antara Arema Cronous kontra Persib Bandung yang sejatinya di helat 25 Januari di Gelora Delta Sidoarjo, mendapat lampur merah dari aparat keamanan. Terpaksa PT Liga Indonesia memutuskan final ditunda hingga waktu yang belum ditentukan.
Gagalnya dua final turnamen di Jawa Timur tersebut menjadi sinyalemen negatif bagi Indonesia Super League (ISL). Sekilas itu menjadi gambaran bahwa potensi pembatalan pertandingan karena faktor keamanan yang melibatkan supporter sangat mudah terjadi.
Walau PT Liga Indonesia sudah membelah kompetisi menjadi dua wilayah, gesekan antar supporter belum sepenuhnya hilang. Sebab perseteruan antar supporter kini tak lagi tergantung siapa yang bertanding di lapangan.
Klub-klub yang memiliki rivalitas supporter dan berada satu wilayah seperti Arema Cronous-Persik Kediri, Persela Lamongan-Persebaya, harus bersiap pertandingan mereka bakal bermasalah. Belum lagi dikaitkan dengan ramainya agenda politik di 2014.
Sudah menjadi tradisi bahwa pihak kepolisian tidak mau repot ketika ada agenda politik di wilayahnya. Agenda politik ibarat dewa. Berbagai macam keramaian, termasuk pertandingan sepakbola, semua harus tiarap ketika ada acara politik.
"Idealnya situasi seperti ini dibicarakan jauh hari, terutama soal antisipasi faktor keamanan. Saya lihat tidak ada upaya apa pun, baik dari PSSI maupun kepolisian, untuk berdiskusi khusus membahas potensi terganggunya pertandingan di ISL. Padahal Jawa Timur harusnya mendapat perlakuan istimewa karena paling banyak klubnya dan ada yang tidak rukun," ujar Suyitno, pengamat bola Jawa Timur.
Tanpa ada upaya antisipasi sejak dini, dia yakin fenomena di final East Java Tournament dan Inter Island Cup bakal kembali terjadi di kemudian hari. Pada akhirnya pertandingan yang seharusnya menjadi hiburan dan adu kualitas tim, berubah cacat.
Dia menunjuk final East Java Tournament yang akhirnya memunculkan sentimen pada panitia penyelenggara. Panitia dituding tidak konsisten karena mengubah-ubah venue final antara Persebaya versus Arema Cronous. Ujungnya lebih parah, laga digelar AAL dan tanpa penonton.
"Khusus Inter Island Cup, menurut saya PT Liga Indonesia terburu-buru menunjuk Gelora Delta Sidoarjo sebagai venue final. Mereka seakan menutup mata dari pengalaman bahwa Aremania kurang aman ketika berada di daerah sekitar Surabaya," tambah dia.
Solusi terbaik, menurut pandangan Suyitno, adalah memindahkan venue di tempat lain dan tak perlu dipaksakan di Sidoarjo. Stadion di Jawa Tengah, disebut sebagai tempat paling ideal jika bicara tempat netral karena jaraknya sama-sama jauh dari Bandung maupun Malang.
Pemindahan venue menjadi pilihan lebih baik dibanding pertandingan tanpa penonton. "Semua sudah tahu bagaimana tidak menariknya sebuah pertandingan final tanpa penonton (East Java Tournament 2013). Sangat keterlaluan kalau dipaksakan seperti itu lagi," tandasnya.
Kekhawatiran aparat keamanan terhadap ancaman kekacauan di Sidoarjo sangat beralasan. Apalagi lawannya adalah Persib Bandung dengan supporter Bobotoh. Setiap kali datang ke Jawa Timur, supporter Persebaya alias Bonek selalu membonceng mereka.
Pengalaman Persib saat bermain di Gelora Delta beberapa musim lalu, sebagian yang hadir adalah Bonek. Padahal Persebaya sama sekali gak terlibat di pertandingan. Aspek ini rupanya yang menjadi kekhawatiran terjadinya gangguan keamanan.
Melihat peta kerusuhan supporter di Sidoarjo, sebenarnya bukan Gelora Delta yang menjadi lokasi 'pertikaian'. Para supporter biasanya panas di jalanan sekitar stadion, sekaligus jembatan layang tol berjarak 500 meter dari Gelora Delta yang menjadi akses supporter ke Malang. Di sana aksi pelemparan kerap terjadi.
Kasat Intel Polres Sidoarjo Kompol Sayuti mengakui bahwa alasan utama tidak keluarnya izin pertandingan adalah faktor keamanan dari supporter, bukan faktor lain. "Potensi terjadi gesekan supporter terlampau besar," tegasnya.
(wbs)