Wasit oh wasit
A
A
A
Sindonews.com - "Disini ingin saya beritahukan bahwa wasit yang memimpin pertandingan Persipura vs Persiba Balikpapan resmi di PECAT!! #benahiwasit".
Kalimat di atas adalah reaksi petinggi PSSI La Nyalla Mattaliti di akun twitternya dalam menyikapi kesalahan wasit Ahmad Suparman. Wasit tersebut dianggap berdosa karena memberikan penalti untuk Persipura Jayapura di menit akhir saat menjamu Persiba Balikpapan di Jayapura, Kamis (20/2) serta insiden lain di laga itu.
Saya tidak terkejut dengan blunder yang dilakukan si wasit dalam pertandingan seperti itu. Yang membuat saya kaget adalah reaksi yang demikian cepat dan terkesan sangat emosional. Ocehan La Nyalla hanya beberapa jam setelah pertandingan usai. Artinya belum ada investigasi secara mendalam dari PSSI terkait kepemimpinan wasit di Jayapura.
Pekan ini memang wasit menjadi lakon di Indonesia Super League (ISL). Empat wasit mendapat sanksi karena dianggap melakukan kesalahan di luar batas toleransi saat memimpin. Dengan demikian rata-rata setiap pekannya selalu ada keputusan kontroversial dari sang pengadil.
Penanganan wasit memang harus tegas. Sudah terlalu lama sepak bola Indonesia diwarnai buruknya keputusan wasit dan hakim garis. Hampir di setiap pertandingan ada momen 'offside di seberang lautan kelihatan, pelanggaran di pelupuk mata tidak tampak'.
Tapi, apakah semua keputusan itu adalah wujud wasit berat sebelah? Atau karena kesalahan manusiawi? Atau mungkin tekanan lain? Di sinilah persoalan yang harus dipahami. Di sini ada tiga pihak yang berpengaruh, yakni wasit sendiri, penonton, serta pemain/official.
Dengan gaji Rp5 juta per pertandingan, kita buang dulu anggapan wasit korup atau disuap. Tuduhan itu terlalu keji diberikan jika tanpa ada bukti nyata. Sekarang kita bicara situasi logis yang dihadapi wasit di lapangan. Terutama tekanan dari penonton, pemain dan official tuan rumah.
Kalau anda pernah nonton sepak bola Indonesia langsung di stadion, mungkin akrab dengan kosa kata yang verbal. Itu sudah umum di Indonesia kala salah satu pihak merasa dirugikan kepemimpinan wasit.
Di dalam lapangan, pemain mendorong, mengerubuti, mengumpat, bahkan menyerang wasit secara langsung. Apa yang tampak dari situasi itu? Tekanan. Ya, wasit berada dalam lingkungan yang tidak bagus sehingga kesulitan untuk berpikir sehat dan objektif. Itu jika bicara aspek tekanan.
Faktor lain adalah kualitas wasit. Seorang pengadil tidak hanya berbekal pengetahuan aturan sepak bola. Tapi juga konsentrasi, stamina, serta pengambilan keputusan. Contohnya dalam situasi lapangan licin, hakim garis tidak akan bisa melihat offside jika konsentrasinya terpecah karena takut terpeleset.
Dari situ ada berbagai sebab yang bisa membuat wasit salah dalam pengambilan keputusan. Itu kesalahan manusiawi. Semua wasit pernah melakukan kesalahan, hanya saja di Indonesia memang kadang kelewat konyol. Banyak keputusan yang sulit diterima otak waras.
Tapi, apakah kemudian rendahnya kualitas wasit cukup diatasi dengan emosional dan sanksi tegas?
Menurut saya tidak bisa begitu. PSSI adalah pihak paling penting dari kasus ini. Setiap keputusan
terkait kesalahan wasit harus benar-benar melalui investigasi mendalam.
Tidak bisa tergesa-gesa alias reaksioner. Mungkin PSSI berupaya menyelamatkan wibawa dengan berniat memberikan sanksi dengan cepat dan tegas. Namun kalau kebablasan, itu bisa menjadi blunder. Bakal menambah tekanan untuk wasit yang memimpin liga.
Jika sedikit-sedikit memberikan sanksi dan terlampau berlebihan, wasit semakin takut dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Terlalu mengumbar kebobrokan wasit secara otomatis juga menguak cara mendidik wasit yang dilakukan PSSI. Nggak salah dong kalau ada yang kemudian bertanya, "Siapa sih yang mendidik wasit payah gitu?". PSSI juga yang kena.
Efek lebih mengerikan, suporter dan publik bakal lebih sensitif terhadap wasit. Mereka bakal langsung memvonis seorang wasit bobrok atau memihak salah satu pihak jika ada kesalahan pengambilan keputusan di lapangan, tanpa menimbang kesalahan di lapangan itu bersifat manusiawi atau disengaja.
PSSI hendaknya juga bersikap adil. Jangan hanya memberikan sanksi kepada wasit yang keputusannya buruk. Tapi juga memberikan hukuman kepada mereka yang bersikap berlebihan kepada wasit. Suporter yang keterlaluan dalam melakukan pelecehan verbal, serta pemain/official yang bak jagoan saat melakukan protes.
Menurut saya PSSI tak perlu sedemikian reaksioner. La Nyalla tak perlu emosional. Membentuk wasit berkualitas tak seperti menanam jagung, tiga bulan langsung panen. Wasit berkualitas juga membutuhkan intelejensi dan tempaan dari otoritas yang bertanggungjawab.
Uraian saya tadi memang terbaca seolah saya membela posisi wasit. Tidak, sama sekali bukan bermaksud begitu. Saya tahu wasit menjadi problem klasik di sepak bola Indonesia. Tapi kultur sepakbola juga harus diperhatikan jika memimpikan kualitas wasit yang lebih baik.
Saya setuju dengan ucapan anggota Komite Wasit Jimmy Napitupulu bahwa wasit Indonesia mentalnya lemah. Ini pekerjaan rumah lagi. Yakni menciptakan wasit yang berani dan tahan banting. Sangat menyedihkan melihat wasit mundur atau terbirit-birit saat diprotes dan dikejar-kejar pemain.
Wasit sudah kelihatan tidak bernyali di lapangan dan itu menjadi sasaran empuk para pemain. Yang terlihat adalah sebuah pemandangan konyol, bahwa pihak yang harusnya paling berkuasa akhirnya menjadi bulan-bulanan. Wasit menjadi bola kedua yang ditendang kesana-kemari.
Saya malah sempat berpikir radikal, mungkin lebih baik wasit diambil dari kalangan militer. Paling tidak mereka tidak takut menghadapi keroyokan beberapa pemain sekaligus. Toh, wasit Inggris Howard Webb juga dulunya polisi berpangkat sersan. (*)
Kalimat di atas adalah reaksi petinggi PSSI La Nyalla Mattaliti di akun twitternya dalam menyikapi kesalahan wasit Ahmad Suparman. Wasit tersebut dianggap berdosa karena memberikan penalti untuk Persipura Jayapura di menit akhir saat menjamu Persiba Balikpapan di Jayapura, Kamis (20/2) serta insiden lain di laga itu.
Saya tidak terkejut dengan blunder yang dilakukan si wasit dalam pertandingan seperti itu. Yang membuat saya kaget adalah reaksi yang demikian cepat dan terkesan sangat emosional. Ocehan La Nyalla hanya beberapa jam setelah pertandingan usai. Artinya belum ada investigasi secara mendalam dari PSSI terkait kepemimpinan wasit di Jayapura.
Pekan ini memang wasit menjadi lakon di Indonesia Super League (ISL). Empat wasit mendapat sanksi karena dianggap melakukan kesalahan di luar batas toleransi saat memimpin. Dengan demikian rata-rata setiap pekannya selalu ada keputusan kontroversial dari sang pengadil.
Penanganan wasit memang harus tegas. Sudah terlalu lama sepak bola Indonesia diwarnai buruknya keputusan wasit dan hakim garis. Hampir di setiap pertandingan ada momen 'offside di seberang lautan kelihatan, pelanggaran di pelupuk mata tidak tampak'.
Tapi, apakah semua keputusan itu adalah wujud wasit berat sebelah? Atau karena kesalahan manusiawi? Atau mungkin tekanan lain? Di sinilah persoalan yang harus dipahami. Di sini ada tiga pihak yang berpengaruh, yakni wasit sendiri, penonton, serta pemain/official.
Dengan gaji Rp5 juta per pertandingan, kita buang dulu anggapan wasit korup atau disuap. Tuduhan itu terlalu keji diberikan jika tanpa ada bukti nyata. Sekarang kita bicara situasi logis yang dihadapi wasit di lapangan. Terutama tekanan dari penonton, pemain dan official tuan rumah.
Kalau anda pernah nonton sepak bola Indonesia langsung di stadion, mungkin akrab dengan kosa kata yang verbal. Itu sudah umum di Indonesia kala salah satu pihak merasa dirugikan kepemimpinan wasit.
Di dalam lapangan, pemain mendorong, mengerubuti, mengumpat, bahkan menyerang wasit secara langsung. Apa yang tampak dari situasi itu? Tekanan. Ya, wasit berada dalam lingkungan yang tidak bagus sehingga kesulitan untuk berpikir sehat dan objektif. Itu jika bicara aspek tekanan.
Faktor lain adalah kualitas wasit. Seorang pengadil tidak hanya berbekal pengetahuan aturan sepak bola. Tapi juga konsentrasi, stamina, serta pengambilan keputusan. Contohnya dalam situasi lapangan licin, hakim garis tidak akan bisa melihat offside jika konsentrasinya terpecah karena takut terpeleset.
Dari situ ada berbagai sebab yang bisa membuat wasit salah dalam pengambilan keputusan. Itu kesalahan manusiawi. Semua wasit pernah melakukan kesalahan, hanya saja di Indonesia memang kadang kelewat konyol. Banyak keputusan yang sulit diterima otak waras.
Tapi, apakah kemudian rendahnya kualitas wasit cukup diatasi dengan emosional dan sanksi tegas?
Menurut saya tidak bisa begitu. PSSI adalah pihak paling penting dari kasus ini. Setiap keputusan
terkait kesalahan wasit harus benar-benar melalui investigasi mendalam.
Tidak bisa tergesa-gesa alias reaksioner. Mungkin PSSI berupaya menyelamatkan wibawa dengan berniat memberikan sanksi dengan cepat dan tegas. Namun kalau kebablasan, itu bisa menjadi blunder. Bakal menambah tekanan untuk wasit yang memimpin liga.
Jika sedikit-sedikit memberikan sanksi dan terlampau berlebihan, wasit semakin takut dan ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Terlalu mengumbar kebobrokan wasit secara otomatis juga menguak cara mendidik wasit yang dilakukan PSSI. Nggak salah dong kalau ada yang kemudian bertanya, "Siapa sih yang mendidik wasit payah gitu?". PSSI juga yang kena.
Efek lebih mengerikan, suporter dan publik bakal lebih sensitif terhadap wasit. Mereka bakal langsung memvonis seorang wasit bobrok atau memihak salah satu pihak jika ada kesalahan pengambilan keputusan di lapangan, tanpa menimbang kesalahan di lapangan itu bersifat manusiawi atau disengaja.
PSSI hendaknya juga bersikap adil. Jangan hanya memberikan sanksi kepada wasit yang keputusannya buruk. Tapi juga memberikan hukuman kepada mereka yang bersikap berlebihan kepada wasit. Suporter yang keterlaluan dalam melakukan pelecehan verbal, serta pemain/official yang bak jagoan saat melakukan protes.
Menurut saya PSSI tak perlu sedemikian reaksioner. La Nyalla tak perlu emosional. Membentuk wasit berkualitas tak seperti menanam jagung, tiga bulan langsung panen. Wasit berkualitas juga membutuhkan intelejensi dan tempaan dari otoritas yang bertanggungjawab.
Uraian saya tadi memang terbaca seolah saya membela posisi wasit. Tidak, sama sekali bukan bermaksud begitu. Saya tahu wasit menjadi problem klasik di sepak bola Indonesia. Tapi kultur sepakbola juga harus diperhatikan jika memimpikan kualitas wasit yang lebih baik.
Saya setuju dengan ucapan anggota Komite Wasit Jimmy Napitupulu bahwa wasit Indonesia mentalnya lemah. Ini pekerjaan rumah lagi. Yakni menciptakan wasit yang berani dan tahan banting. Sangat menyedihkan melihat wasit mundur atau terbirit-birit saat diprotes dan dikejar-kejar pemain.
Wasit sudah kelihatan tidak bernyali di lapangan dan itu menjadi sasaran empuk para pemain. Yang terlihat adalah sebuah pemandangan konyol, bahwa pihak yang harusnya paling berkuasa akhirnya menjadi bulan-bulanan. Wasit menjadi bola kedua yang ditendang kesana-kemari.
Saya malah sempat berpikir radikal, mungkin lebih baik wasit diambil dari kalangan militer. Paling tidak mereka tidak takut menghadapi keroyokan beberapa pemain sekaligus. Toh, wasit Inggris Howard Webb juga dulunya polisi berpangkat sersan. (*)
(aww)