Wajah Bopeng di Tengah Gemerlap Piala Dunia

Senin, 30 Juni 2014 - 11:46 WIB
Wajah Bopeng di Tengah...
Wajah Bopeng di Tengah Gemerlap Piala Dunia
A A A
SAO PAULO - Pemuda itu hanya berdiri di dekat pintu metro dan melihat penumpang turun naik. Setelah kereta bergerak dan memastikan keadaan aman, dia baru bergerak. Yang ditawarkannya adalah permen.

Sistem yang digunakannya sama seperti penjaja di Tanah Air. Dia menaruh manisan di setiap kursi yang tersedia. Sang pemuda baru menagih uang jika para pengguna alat transportasi mengambilnya. Namun, karena gerbong metro Sao Paulo terpisahkan satu antara lainnya, area operasinya jadi terbatas.

Gaya berpakaiannya tidak berbeda dari orang kebanyakan. Sebuah strategi yang diterapkan demi mengelabui petugas keamanan. Sebab dilarang berjualan di Metro. Tapi, dengan mengenakan busana normal dan membeli satu karcis senilai tiga Real (sekitar Rp15.000), dia dapat beroperasi seharian.

Pemandangan ini merupakan gambaran betapa penduduk Sao Paulo sama seperti kota-kota lainnya di seluruh penjuru dunia. Disparitas ekonomi tidak terhindarkan. Di Pantai Copacabana, Rio de Janeiro, KORAN SINDO melihat seorang pemulung mengambil puntung rokok yang masih panjang untuk kemudian dihisapnya. Gemerlap penyelenggaraan Piala Dunia 2014 tidak mampu menutup hal itu.

Mereka harus melakukan berbagai cara agar bertahan hidup. Baik lewat cara benar atau melawan norma sosial. Termasuk aparat keamanan. Tidak heran jika tingkat kejahatan Brasil terbilang tinggi. "Banyak polisi korupsi mengingat mereka juga tinggal di favela (kawasan kumuh). Ada konflik dalam diri mereka saat bekerja," kata Romo Nicolau Baker, yang sudah tinggal di Brasil sejak 1958 dan sempat aktif di komite independen gerakan keamanan masyarakat.

Jangankan memiliki kediaman di favela, banyak penduduk yang tidak memiliki atap berteduh. Mereka akhirnya tidur di pelataran jalan bermodalkan selimut. Ada pula yang mendirikan tenda di taman depan Teater Municipal. Keberadaan mereka sangat kontras dengan hingar bingar Fan Festival Sao Paulo di Vale do Anhangabau, yang berjarak selemparan batu dari 'pemukiman' ini.

'Kemewahan' Piala Dunia dan kemiskinan hanya terpisahkan tembok pembatas. Pengunjung Fan Festival mudah mengeluarkan 10 Real (sekitar Rp50.000) demi mengganjal perut. Sedangkan barangkali uang bernilai sama bisa membantu kaum tidak mampu untuk melewati hari. Piala Dunia yang rencananya digunakan sebagai momentum perbaikan ekonomi Brazil pun hampir pasti tidak mereka rasakan. Hanya segelintir saja yang dapat menikmatinya.

Tidak heran jika banyak anggota masyarakat memilih jalan pintas supaya kehidupan mereka menjadi lebih baik. KORAN SINDO menyaksikan antrean pembelian tiket lotere mengular pada berbagai kesempatan.
(aww)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6214 seconds (0.1#10.140)