Tuah Pakai Baju Socrates
A
A
A
RIO DE JANEIRO - Fungsi busana tidak lagi sekadar melindungi tubuh. Pakaian kini juga menjadi salah satu cara manusia untuk menunjukkan identitasnya dalam posisinya sebagai makhluk sosial. Beruntunglah saya memutuskan membeli kaus bernuansa Brazil sebelum meliput Piala Dunia 2014.
Baju dengan ilustrasi wajah salah satu ikon terkenal Selecao, Socrates, tersebut membuat saya merasa lebih diterima masyarakat Negeri Samba. Setiap memakai t-shirt itu, beberapa orang tidak sungkan menyapa. Saya hanya mengangguk sembari tersenyum atau mengacungkan ibu jari karena tidak mengerti arti ucapannya.
Seorang sukarelawan di Estadio Maracana sampai mengajak bersalaman ala Brazil setelah menanyakan negara asal saya. Resepsi paling besar barangkali saya terima kala mengunjungi Sao Paulo. Maklum, di sanalah basis Corinthians, klub yang membesarkan nama Socrates.
Ada yang memuji kaus tersebut dan menanyakan di mana saya membelinya. Saya turut mendapat sambutan kala menyambangi markas tim nasional Brazil di Granja Comary, Teresopolis. Penduduk Brazil memang pasti mengenal Socrates.
Gelandang elegan itu memperkuat Selecao pada dua edisi Piala Dunia (1982, 1986) dan disebut sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Brazil. Sayang, Socrates tidak pernah mencicipi prestasi di level internasional. Padahal, kombinasinya bersama Zico, Falcao, dan Eder begitu dikagumi karena mengusung jogo bonito.
Socrates tidak hanya aktif di sepak bola. Dia juga mencermati politik dan ekonomi Brazil. Tidak mengherankan, sosok yang meninggal dunia pada Desember 2011 ini pernah menyatakan idolanya pada masa kecil adalah Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon.
Perlakuan berbeda saya terima ketika mengenakan baju lain, salah satunya berwarna biru dengan gambar bendera Jepang. Otomatis saya dikira datang dari sana. Apalagi wajah Asia saya. "Asal Jepang? Bukan? China? Ow, Indonesia," begitu komentar seorang ibu saat menyapa saya.
Baju dengan ilustrasi wajah salah satu ikon terkenal Selecao, Socrates, tersebut membuat saya merasa lebih diterima masyarakat Negeri Samba. Setiap memakai t-shirt itu, beberapa orang tidak sungkan menyapa. Saya hanya mengangguk sembari tersenyum atau mengacungkan ibu jari karena tidak mengerti arti ucapannya.
Seorang sukarelawan di Estadio Maracana sampai mengajak bersalaman ala Brazil setelah menanyakan negara asal saya. Resepsi paling besar barangkali saya terima kala mengunjungi Sao Paulo. Maklum, di sanalah basis Corinthians, klub yang membesarkan nama Socrates.
Ada yang memuji kaus tersebut dan menanyakan di mana saya membelinya. Saya turut mendapat sambutan kala menyambangi markas tim nasional Brazil di Granja Comary, Teresopolis. Penduduk Brazil memang pasti mengenal Socrates.
Gelandang elegan itu memperkuat Selecao pada dua edisi Piala Dunia (1982, 1986) dan disebut sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Brazil. Sayang, Socrates tidak pernah mencicipi prestasi di level internasional. Padahal, kombinasinya bersama Zico, Falcao, dan Eder begitu dikagumi karena mengusung jogo bonito.
Socrates tidak hanya aktif di sepak bola. Dia juga mencermati politik dan ekonomi Brazil. Tidak mengherankan, sosok yang meninggal dunia pada Desember 2011 ini pernah menyatakan idolanya pada masa kecil adalah Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon.
Perlakuan berbeda saya terima ketika mengenakan baju lain, salah satunya berwarna biru dengan gambar bendera Jepang. Otomatis saya dikira datang dari sana. Apalagi wajah Asia saya. "Asal Jepang? Bukan? China? Ow, Indonesia," begitu komentar seorang ibu saat menyapa saya.
(aww)