Kisah Sukarelawati Indonesia di Piala Dunia 2014
A
A
A
PORTO ALEGRE - Vidyah Payapo tidak mau menyaksikan final Piala Dunia 2014 di Brazil. Dia memilih menyaksikan pertandingan paling ditunggu itu di tanah kelahiran. Alasannya sederhana. Satu-satunya sukarelawan asal Indonesia tersebut cemas Selecao tersingkir cepat atau bahkan kalah di final. Menurutnya, keadaan tersebut akan membuat Negeri Samba kacau balau dan tidak enak untuk ditinggali.
"Apalagi jika Brazil takluk dari Argentina di partai puncak. Masyarakat Brasil bakal marah. Karena itu saya memutuskan pulang tanggal 9 Juli," kata Vidyah.
Kekhawatiran Vidyah berlawanan dengan prediksi salah satu jurnalis lokal yang saya temui. Reporter Revista Veja (nama korannya) Sergio Rodrigues Pereira menyatakan Brazil akan tetap damai walau Neymar dkk gagal merebut gelar keenam sepanjang sejarah.
Terlepas perbedaan ini, Vidyah tetap mensyukuri pengalamannya ambil bagian di pesta sepak bola termegah sejagad. Bertugas di Porto Alegre, dia memiliki sejumlah momen tidak terlupakan. Yang paling berkesan terjadi pada pertandingan pertamanya, melibatkan Prancis dan Honduras di Grup E, 15 Juni silam.
Garasi Estadio Beira-Rio ternyata tidak cukup menampung bus pemain. Sarana transportasi itu tidak bisa masuk dan berhenti di luar. Alhasil pemain harus berjalan cukup jauh sebelum bertanding. "(Karim) Benzema sampai tersenyum dan geleng-geleng kepala," tuturnya.
Bertugas sebagai sukarelawan memudahkan Vidyah menyaksikan dari dekat pertandingan berkelas dan pemain-pemain bintang. Total ada lima laga yang ditontonnya langsung, terakhir duel Jerman-Aljazair di perdelapan final pada 30 Juni.
Namun, akses eksklusif ini ternyata tetap tidak membuat geraknya sepenuhnya bebas. Vidyah dilarang berfoto bersama pemain. Jika melanggar, akreditasinya bakal dicabut dan dia langsung dipulangkan. Vidyah enggan ambil risiko. Sebab, dia mengantongi kesempatan langka ini setelah menyisihkan ratusan ribu pelamar. "Bangga mewakili Indonesia, apalagi satu-satunya. Terlebih saya menunggu cukup lama menunggu konfirmasi FIFA," terangnya
"Apalagi jika Brazil takluk dari Argentina di partai puncak. Masyarakat Brasil bakal marah. Karena itu saya memutuskan pulang tanggal 9 Juli," kata Vidyah.
Kekhawatiran Vidyah berlawanan dengan prediksi salah satu jurnalis lokal yang saya temui. Reporter Revista Veja (nama korannya) Sergio Rodrigues Pereira menyatakan Brazil akan tetap damai walau Neymar dkk gagal merebut gelar keenam sepanjang sejarah.
Terlepas perbedaan ini, Vidyah tetap mensyukuri pengalamannya ambil bagian di pesta sepak bola termegah sejagad. Bertugas di Porto Alegre, dia memiliki sejumlah momen tidak terlupakan. Yang paling berkesan terjadi pada pertandingan pertamanya, melibatkan Prancis dan Honduras di Grup E, 15 Juni silam.
Garasi Estadio Beira-Rio ternyata tidak cukup menampung bus pemain. Sarana transportasi itu tidak bisa masuk dan berhenti di luar. Alhasil pemain harus berjalan cukup jauh sebelum bertanding. "(Karim) Benzema sampai tersenyum dan geleng-geleng kepala," tuturnya.
Bertugas sebagai sukarelawan memudahkan Vidyah menyaksikan dari dekat pertandingan berkelas dan pemain-pemain bintang. Total ada lima laga yang ditontonnya langsung, terakhir duel Jerman-Aljazair di perdelapan final pada 30 Juni.
Namun, akses eksklusif ini ternyata tetap tidak membuat geraknya sepenuhnya bebas. Vidyah dilarang berfoto bersama pemain. Jika melanggar, akreditasinya bakal dicabut dan dia langsung dipulangkan. Vidyah enggan ambil risiko. Sebab, dia mengantongi kesempatan langka ini setelah menyisihkan ratusan ribu pelamar. "Bangga mewakili Indonesia, apalagi satu-satunya. Terlebih saya menunggu cukup lama menunggu konfirmasi FIFA," terangnya
(aww)