Antara Alfred Riedl dan Del Bosque
A
A
A
Ketika tim nasional Indonesia dilibas Filipina dengan empat gol tanpa balas, sebenarnya ini bukanlah berita sensasional atau berita yang mengagetkan bagi kita semua.
Jika kekalahan itu dilihat dari sudut pandang sejarah pertemuan antarkedua negara, jelas hasil yang diterima tim yang diarsiteki pelatih asal Austria Alfred Riedl tersebut sangat bertolak belakang. Karena dalam 20 pertemuan sebelum timnas kalah di My Dinh National Stadium, Hanoi, Selasa (25/11), Indonesia memiliki catatan bagus dengan 18 kemenangan dan hanya dua kali imbang.
Bahkan, empat kali menang melawan Filipina di ajang Piala AFF sebelumnya. Kita seharusnya selalu belajar melupakan statistik rekor pertemuan. Fokus menghadapi pertandingan dengan berusaha realistis menyikapi calon lawan. Sikap optimistis itu perlu, namun tak lalu ‘’kebablasan’’ dengan rasa percaya diri berlebihan, tetapi tak melihat bahwa lawan yang dihadapi mengalami kemajuan sangat pesat dalam dua tahun terakhir.
Sementara timnas kita boleh dibilang berjalan di tempat, stagnan, tak ada progres kemajuan berarti. Memang, Riedl coba mencari solusi dengan merekrut pemain U-19 ke dalam tim asuhannya. Namun, untuk menyatukan pemain muda dengan sebagian besar muka lama sangatlah sulit.
Lagi pula pemain tidak dalam kondisi terbaik dari segi kebugaran, setelah menyelesaikan kompetisi di dalam negeri, di tengah dia sedang menyeleksi pemain ke Piala AFF. Maka, seharusnya Riedl secara realistis memberi pernyataan bahwa target menjadi juara Piala AFF 2014 bagaikan sebuah mission impossible.
Sudah bisa dipastikan bahwa Riedl tak berani mengungkapkan bahwa tim asuhannya akan melakoni misi yang mustahil dengan kondisi persiapan seperti yang dialami. Satu hal yang dianggap ‘’konyol’’ bahwa Riedl masih saja menargetkan timnas Indonesia bisa ke final dan juara, sebagaimana dalam isi kontraknya dengan PSSI.
Padahal, dia tahu sangat berat. Pertanyaannya, apakah selain dirinya yang memantau Filipina, dia juga mengutus beberapa pengamat/pelatih untuk mencatat kelebihan dan kelemahan Filipina serta Laos, untuk kemudian dibahas bersama? Ini penting, jika Riedl memang serius mengamati calon lawannya.
Sebelum terjun di Piala Dunia 2014, Jerman menyiapkan 20 orang pengamat sepak bola yang dibentuk dalam sebuah tim khusus guna mempelajari kelebihan dan kekurangan Portugal, Ghana, dan AS yang berada satu grup dengan mereka. Jika lolos, mereka sudah menyiapkan tim untuk mengamati Rusia, Belgia, Aljazair, atau Korea Selatan jika jumpa di babak perdelapan final. Semua diamati secara detail.
Tim itu juga mengamati Prancis yang bakal dihadapi mereka jika terus melaju ke perempat final, termasuk Brasil yang akan mereka hadapi di semifinal. Dan, hasilnya, Jerman bisa mendapatkan trofi keempatnya dengan memukul Argentina di final. Tuan Riedl pun tak serta merta harus mencari alasan setelah kekalahan dari Filipina bahwa tim asuhannya ‘’kelelahan’’.
Menganggap Filipina lebih bugar dan tim asuhannya tidak bugar, bukanlah cara yang tepat dalam bertutur. Ini alasan yang dicaricari. Padahal, dari awal sewaktu berlatih di Indonesia, Riedl sadar dengan keadaan seperti itu. Vicente del Bosque tidak mengungkapkan alasan pemainnya tidak bugar dan persiapan tak maksimal tatkala kurang dari tiga pekan pemain Real Madrid dan Atletico Madrid bergabung ke dalam timnas Spanyol menghadapi Piala Dunia 2014, kemudian tersisih secara menyakitkan di penyisihan grup.
Spanyol kalah 1-5 dari Belanda dan 0-2 dari Cile. Tak ada alasan faktor kelelahan pemainnya yang tampil di kompetisi La Liga sampai berduel di final sesama klub Spanyol di Liga Champions antara Madrid dan Atletico. Sangat profesional saat Del Bosque menyatakan: lawan memang lebih baik dan saya bertanggung jawab atas kekalahan Spanyol, Sikap seperti yang diperlihatkan Del Bosque itu yang harus dilakukan Riedl ketika Indonesia kalah, tanpa harus mencari-cari alasan.
Bertanggung jawab penuh dan mengakui lawan jauh lebih siap dan jauh lebih baik. ‘’Saya siap mundur dan mohon maaf kepada pencinta sepak bola di Indonesia.’’ Perkataan seperti itu akan lebih jantan dan lebih menyejukkan. Saat Filipina mempermalukan kita dengan kemenangan 4-0, Riedl, termasuk PSSI, tak perlu terkejut. Karena memang lawan berada satu level di atas kita saat ini.
Adalah sebuah pukulan dan malu besar jika untuk sekarang ini peringkat kita di Asia Tenggara saja berada di luar lima besar. Sebuah hal yang sangat ironis. Kalau tahun 1960–1970, 1980, bahkan sampai 1990, kita masih dipandang sebagai kekuatan di Asia Tenggara dan sangat disegani.
Namun, berbalik 150 derajat saat ini, dengan prestasi sepak bola kita yang melempem bahkan berada di belakang Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Jika Ramang, Sucipto Soentoro, Iswadi Idris, Andi Lala, Abdul Kadir sampai Ronny Patti masih hidup, mungkin mereka akan menangis menyaksikan keterpurukan sepak bola kita yang kini berada di luar lima besar Asia Tenggara. Kita tunggu apa yang akan dilakukan pengurus PSSI guna menyikapi hasil di Piala AFF.
Pengamat Sepak Bola
RONNY PANGEMANAN
Jika kekalahan itu dilihat dari sudut pandang sejarah pertemuan antarkedua negara, jelas hasil yang diterima tim yang diarsiteki pelatih asal Austria Alfred Riedl tersebut sangat bertolak belakang. Karena dalam 20 pertemuan sebelum timnas kalah di My Dinh National Stadium, Hanoi, Selasa (25/11), Indonesia memiliki catatan bagus dengan 18 kemenangan dan hanya dua kali imbang.
Bahkan, empat kali menang melawan Filipina di ajang Piala AFF sebelumnya. Kita seharusnya selalu belajar melupakan statistik rekor pertemuan. Fokus menghadapi pertandingan dengan berusaha realistis menyikapi calon lawan. Sikap optimistis itu perlu, namun tak lalu ‘’kebablasan’’ dengan rasa percaya diri berlebihan, tetapi tak melihat bahwa lawan yang dihadapi mengalami kemajuan sangat pesat dalam dua tahun terakhir.
Sementara timnas kita boleh dibilang berjalan di tempat, stagnan, tak ada progres kemajuan berarti. Memang, Riedl coba mencari solusi dengan merekrut pemain U-19 ke dalam tim asuhannya. Namun, untuk menyatukan pemain muda dengan sebagian besar muka lama sangatlah sulit.
Lagi pula pemain tidak dalam kondisi terbaik dari segi kebugaran, setelah menyelesaikan kompetisi di dalam negeri, di tengah dia sedang menyeleksi pemain ke Piala AFF. Maka, seharusnya Riedl secara realistis memberi pernyataan bahwa target menjadi juara Piala AFF 2014 bagaikan sebuah mission impossible.
Sudah bisa dipastikan bahwa Riedl tak berani mengungkapkan bahwa tim asuhannya akan melakoni misi yang mustahil dengan kondisi persiapan seperti yang dialami. Satu hal yang dianggap ‘’konyol’’ bahwa Riedl masih saja menargetkan timnas Indonesia bisa ke final dan juara, sebagaimana dalam isi kontraknya dengan PSSI.
Padahal, dia tahu sangat berat. Pertanyaannya, apakah selain dirinya yang memantau Filipina, dia juga mengutus beberapa pengamat/pelatih untuk mencatat kelebihan dan kelemahan Filipina serta Laos, untuk kemudian dibahas bersama? Ini penting, jika Riedl memang serius mengamati calon lawannya.
Sebelum terjun di Piala Dunia 2014, Jerman menyiapkan 20 orang pengamat sepak bola yang dibentuk dalam sebuah tim khusus guna mempelajari kelebihan dan kekurangan Portugal, Ghana, dan AS yang berada satu grup dengan mereka. Jika lolos, mereka sudah menyiapkan tim untuk mengamati Rusia, Belgia, Aljazair, atau Korea Selatan jika jumpa di babak perdelapan final. Semua diamati secara detail.
Tim itu juga mengamati Prancis yang bakal dihadapi mereka jika terus melaju ke perempat final, termasuk Brasil yang akan mereka hadapi di semifinal. Dan, hasilnya, Jerman bisa mendapatkan trofi keempatnya dengan memukul Argentina di final. Tuan Riedl pun tak serta merta harus mencari alasan setelah kekalahan dari Filipina bahwa tim asuhannya ‘’kelelahan’’.
Menganggap Filipina lebih bugar dan tim asuhannya tidak bugar, bukanlah cara yang tepat dalam bertutur. Ini alasan yang dicaricari. Padahal, dari awal sewaktu berlatih di Indonesia, Riedl sadar dengan keadaan seperti itu. Vicente del Bosque tidak mengungkapkan alasan pemainnya tidak bugar dan persiapan tak maksimal tatkala kurang dari tiga pekan pemain Real Madrid dan Atletico Madrid bergabung ke dalam timnas Spanyol menghadapi Piala Dunia 2014, kemudian tersisih secara menyakitkan di penyisihan grup.
Spanyol kalah 1-5 dari Belanda dan 0-2 dari Cile. Tak ada alasan faktor kelelahan pemainnya yang tampil di kompetisi La Liga sampai berduel di final sesama klub Spanyol di Liga Champions antara Madrid dan Atletico. Sangat profesional saat Del Bosque menyatakan: lawan memang lebih baik dan saya bertanggung jawab atas kekalahan Spanyol, Sikap seperti yang diperlihatkan Del Bosque itu yang harus dilakukan Riedl ketika Indonesia kalah, tanpa harus mencari-cari alasan.
Bertanggung jawab penuh dan mengakui lawan jauh lebih siap dan jauh lebih baik. ‘’Saya siap mundur dan mohon maaf kepada pencinta sepak bola di Indonesia.’’ Perkataan seperti itu akan lebih jantan dan lebih menyejukkan. Saat Filipina mempermalukan kita dengan kemenangan 4-0, Riedl, termasuk PSSI, tak perlu terkejut. Karena memang lawan berada satu level di atas kita saat ini.
Adalah sebuah pukulan dan malu besar jika untuk sekarang ini peringkat kita di Asia Tenggara saja berada di luar lima besar. Sebuah hal yang sangat ironis. Kalau tahun 1960–1970, 1980, bahkan sampai 1990, kita masih dipandang sebagai kekuatan di Asia Tenggara dan sangat disegani.
Namun, berbalik 150 derajat saat ini, dengan prestasi sepak bola kita yang melempem bahkan berada di belakang Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Jika Ramang, Sucipto Soentoro, Iswadi Idris, Andi Lala, Abdul Kadir sampai Ronny Patti masih hidup, mungkin mereka akan menangis menyaksikan keterpurukan sepak bola kita yang kini berada di luar lima besar Asia Tenggara. Kita tunggu apa yang akan dilakukan pengurus PSSI guna menyikapi hasil di Piala AFF.
Pengamat Sepak Bola
RONNY PANGEMANAN
(bbg)