Bob Marley Tuhan Sepak Bola
A
A
A
JAMAIKA - Banyak orang yang terkejut mendengar Bob Marley pernah mendapat julukan sebagai Tuhan Sepak bola. Selain itu Marley telah dikenal sebagai seorang pemain sepak bola fanatik dan fans. Raja musik Reggae ini menyebut sepak bola sebagai olahraga libertarian. Atas kecenderungan tersebut pula, maka tak perlu diherankan jika ia kemudian menggilai kultur sepak bola Brasil
Semasa hidup, Marley mengaku sebagai suporter Santos. Dalam banyak kesempatan wawancara, ia juga kerap menyebut dua nama beken, Pele dan Osvaldo Ardilles, sebagai idolanya sepanjang masa di lapangan hijau.
"Sepak bola adalah seluruh keterampilan untuk dirinya sendiri. Seluruh dunia. Seluruh alam semesta. Saya menyukainya karena Anda harus terampil untuk memainkannya! Kebebasan! Sepak bola adalah kebebasan. " tutur Bob Marley pada 1979 seperti yang dikutip bossaballsports.
Kala ia melakukan tur musik ke Rio de Janeiro pada tahun 1980, Marley pun menyempatkan diri merumput bersama beberapa pemain dari Nantes, tim nasional Brasil,dan Haiti, dalam pertandingan yang digelar oleh salah seorang musisi legendaris Brasil, Chico Buarque. Sebelum laga dimulai, Paolo Cesar, salah seorang anggota skuat Brasil 1970, sempat memberikan jersey Santos bernomor punggung 10 milik Pele yang dikeramatkan.
Melalui masa silamnya tersebut, cukup dapat dimaklumi jika antusiasme Marley terhadap sepak bola lekat dengan pemahaman yang eksistensialistik. Sepak bola dan Marley seolah menjalin dualisme etre-en-soi-pour-soi (salah satu konsep ‘ada’ menurut pemikiran Sartrean) dalam hidupnya: ia hadir begitu saja, tanpa dasar, tanpa campur tangan pihak lain. Akan tetapi, di satu sisi ia juga menganggap sepak bola sebagai sesuatu yang terberi dari luar dirinya. Sikap semacam ini dianggap Sartre sebagai sesuatu yang sia-sia.
Bahkan Majalah FourFourTwo edisi Maret 2008 pernah menulis mengenai kedekatan Marley dengan salah satu legenda sepak bola profesional Jamaika pada era 1960an-1970-an, Allan “Skilly” Cole. Cole sendiri sempat menjadi “road manager” Bob Marley.
Kedekatan keduanya tak hanya dikarenakan sama-sama gemar bermain sepak bola. Lebih jauh, Cole bahkan sampai berpindah kepercayaan demi Marley. Dari yang semula Katolik, lalu berubah menjadi Rastafarian. Ironisnya, pergeseran iman tersebut ternyata berimbas negatif terhadap karir sepak bolanya: ia dipecat dari Nautico, salah satu klub di Brasil tempat ia bermain pada tahun 1972.
Rastafari adalah semacam “way of life” atau gerakan spiritual yang muncul pada tahun 1930 di Jamaika. Para penganutnya menyembah Haile Selassie I, Kaisar Ethiopia (memerintah 1930-1974), yang dianggap sebagai reinkarnasi Yesus, tetapi berkulit hitam, Tak ayal pada masa itu Bob Marley pun dinobatkan sebagai Tuhan Sepak Bola.
Semasa hidup, Marley mengaku sebagai suporter Santos. Dalam banyak kesempatan wawancara, ia juga kerap menyebut dua nama beken, Pele dan Osvaldo Ardilles, sebagai idolanya sepanjang masa di lapangan hijau.
"Sepak bola adalah seluruh keterampilan untuk dirinya sendiri. Seluruh dunia. Seluruh alam semesta. Saya menyukainya karena Anda harus terampil untuk memainkannya! Kebebasan! Sepak bola adalah kebebasan. " tutur Bob Marley pada 1979 seperti yang dikutip bossaballsports.
Kala ia melakukan tur musik ke Rio de Janeiro pada tahun 1980, Marley pun menyempatkan diri merumput bersama beberapa pemain dari Nantes, tim nasional Brasil,dan Haiti, dalam pertandingan yang digelar oleh salah seorang musisi legendaris Brasil, Chico Buarque. Sebelum laga dimulai, Paolo Cesar, salah seorang anggota skuat Brasil 1970, sempat memberikan jersey Santos bernomor punggung 10 milik Pele yang dikeramatkan.
Melalui masa silamnya tersebut, cukup dapat dimaklumi jika antusiasme Marley terhadap sepak bola lekat dengan pemahaman yang eksistensialistik. Sepak bola dan Marley seolah menjalin dualisme etre-en-soi-pour-soi (salah satu konsep ‘ada’ menurut pemikiran Sartrean) dalam hidupnya: ia hadir begitu saja, tanpa dasar, tanpa campur tangan pihak lain. Akan tetapi, di satu sisi ia juga menganggap sepak bola sebagai sesuatu yang terberi dari luar dirinya. Sikap semacam ini dianggap Sartre sebagai sesuatu yang sia-sia.
Bahkan Majalah FourFourTwo edisi Maret 2008 pernah menulis mengenai kedekatan Marley dengan salah satu legenda sepak bola profesional Jamaika pada era 1960an-1970-an, Allan “Skilly” Cole. Cole sendiri sempat menjadi “road manager” Bob Marley.
Kedekatan keduanya tak hanya dikarenakan sama-sama gemar bermain sepak bola. Lebih jauh, Cole bahkan sampai berpindah kepercayaan demi Marley. Dari yang semula Katolik, lalu berubah menjadi Rastafarian. Ironisnya, pergeseran iman tersebut ternyata berimbas negatif terhadap karir sepak bolanya: ia dipecat dari Nautico, salah satu klub di Brasil tempat ia bermain pada tahun 1972.
Rastafari adalah semacam “way of life” atau gerakan spiritual yang muncul pada tahun 1930 di Jamaika. Para penganutnya menyembah Haile Selassie I, Kaisar Ethiopia (memerintah 1930-1974), yang dianggap sebagai reinkarnasi Yesus, tetapi berkulit hitam, Tak ayal pada masa itu Bob Marley pun dinobatkan sebagai Tuhan Sepak Bola.
(wbs)