Kisah Muhammad Ali: Sepeda Dicuri, Parasut, dan Medali Emas Olimpiade
loading...
A
A
A
Muhammad Ali merupakan tokoh olahraga yang paling berpengaruh di dunia. Ada banyak kenangan yang melekat pada petinju legendaris asal Amerika Serikat ini. Salah satunya kisah Ali kecil yang kehilangan sepeda kesayangannya.
Ketika Muhammad Ali berusia 12 tahun, yang waktu itu dikenal sebagai Cassius Clay, dia pergi ke sebuah pekan raya di Columbia Gym di kota kelahirannya Louisville pada 1955. Dia sengaja menggowes sepeda kesayangannya dengan penuh suka cita.
Ali memarkirkan sepeda Schwinn merah putih di sebuah tempat. Namun sepulangnya dari pekan raya, sepeda kesayangannya itu raib. Ali, yang masih bocah menjadi sangat marah, dan berjanji akan memukul pencuri itu jika ia berhasil menangkapnya.
Kemarahannya menarik perhatian seorang polisi setempat, Joe Martin, yang mengundangnya untuk melampiaskan amarahnya dengan mengikuti kelas tinju di sasananya. Dari pertemuan tak sengaja itulah lahir seorang legenda tinju. Dalam waktu enam minggu, Ali telah memenangkan pertarungan pertamanya.
Enam tahun kemudian, Ali akhirnya berhasil berdiri gagah di podium pertama usai menyabet medali emas pertamanya di Olimpiade Roma 1960. Perjalanan ke panggung dunia tidaklah mudah. Ali, yang mewakili AS sebagai petinju yang masih berusia 18 tahun relatif tidak dikenal.
Penerbangan yang bergejolak ke California untuk uji coba Olimpiade membuat Ali enggan terbang. Baru setelah dorongan lembut dari mentornya, Joe Martin, dia akhirnya setuju terbang menggunakan pesawat.
Konon, petinju remaja itu bersikeras untuk membawa parasut selama perjalanan untuk berjaga-jaga. Seperti layaknya seorang pria yang dijuluki 'Si Bibir Louisville',Ali segera mulai menunjukkan kehadirannya di sekitar perkampungan Olimpiade, menjadi tokoh yang sangat populer. Namun, selain mendapatkan teman di luar ring, Ali juga mulai meninggalkan kesan di dalam ring.
Dalam pertarungan pertamanya di Olimpiade Roma melawan petinju Belgia Yvon Becaus, wasit harus menghentikan pertandingan di ronde kedua, karena khawatir akan terjadi KO yang brutal. Lawannya di perempat final adalah Gennady Shatkov dari Rusia, seorang pria yang telah memenangkan medali emas Olimpiade di divisi kelas menengah empat tahun sebelumnya.
Meskipun memiliki silsilah yang mengesankan, Shatkov bukanlah tandingan petinju Amerika, yang menang telak 5-0 dalam perolehan poin. Skor itu diulangi dalam pertarungan berikutnya melawan petinju bintang Australia Tony Madigan.
Meskipun Ali harus berjuang keras beberapa kali, ia berhasil mencapai final Olimpiade kelas berat ringan. Berdiri di sudut yang berlawanan dengan Ali di stadion Palazzo dello Sport Roma pada 5 September 1960, adalah Zbigniew Pietrzykowski dari Polandia yang gagah berani.
Pietrzykowski lebih kuat dan jauh lebih berpengalaman daripada saingannya, dan Ali awalnya berjuang untuk beradaptasi dengan gaya kidal saingannya. Petinju Polandia berusia 25 tahun itu menang di dua ronde pertama, tetapi di ronde terakhir, Ali tampil gemilang.
Dengan stamina yang unggul dan kombinasi cepatnya, petinju Amerika itu membuat lawannya babak belur tetapi masih tegak menjelang bel akhir berbunyi. Para juri kembali sepakat. Medali emas Olimpiade menjadi milik Muhammad Ali.
Kegembiraan Muhammad Ali tak terbendung setelah kemenangannya, ia menuturkan kepada wartawan tentang apa artinya menjadi juara Olimpiade: "Saya tidak melepas medali itu selama 48 jam. Saya bahkan memakainya saat tidur. Saya tidak tidur nyenyak karena saya harus tidur telentang agar medali itu tidak melukai saya. Namun, saya tidak peduli, saya adalah juara Olimpiade."
Ketika Muhammad Ali berusia 12 tahun, yang waktu itu dikenal sebagai Cassius Clay, dia pergi ke sebuah pekan raya di Columbia Gym di kota kelahirannya Louisville pada 1955. Dia sengaja menggowes sepeda kesayangannya dengan penuh suka cita.
Ali memarkirkan sepeda Schwinn merah putih di sebuah tempat. Namun sepulangnya dari pekan raya, sepeda kesayangannya itu raib. Ali, yang masih bocah menjadi sangat marah, dan berjanji akan memukul pencuri itu jika ia berhasil menangkapnya.
Kemarahannya menarik perhatian seorang polisi setempat, Joe Martin, yang mengundangnya untuk melampiaskan amarahnya dengan mengikuti kelas tinju di sasananya. Dari pertemuan tak sengaja itulah lahir seorang legenda tinju. Dalam waktu enam minggu, Ali telah memenangkan pertarungan pertamanya.
Enam tahun kemudian, Ali akhirnya berhasil berdiri gagah di podium pertama usai menyabet medali emas pertamanya di Olimpiade Roma 1960. Perjalanan ke panggung dunia tidaklah mudah. Ali, yang mewakili AS sebagai petinju yang masih berusia 18 tahun relatif tidak dikenal.
Penerbangan yang bergejolak ke California untuk uji coba Olimpiade membuat Ali enggan terbang. Baru setelah dorongan lembut dari mentornya, Joe Martin, dia akhirnya setuju terbang menggunakan pesawat.
Konon, petinju remaja itu bersikeras untuk membawa parasut selama perjalanan untuk berjaga-jaga. Seperti layaknya seorang pria yang dijuluki 'Si Bibir Louisville',Ali segera mulai menunjukkan kehadirannya di sekitar perkampungan Olimpiade, menjadi tokoh yang sangat populer. Namun, selain mendapatkan teman di luar ring, Ali juga mulai meninggalkan kesan di dalam ring.
Dalam pertarungan pertamanya di Olimpiade Roma melawan petinju Belgia Yvon Becaus, wasit harus menghentikan pertandingan di ronde kedua, karena khawatir akan terjadi KO yang brutal. Lawannya di perempat final adalah Gennady Shatkov dari Rusia, seorang pria yang telah memenangkan medali emas Olimpiade di divisi kelas menengah empat tahun sebelumnya.
Meskipun memiliki silsilah yang mengesankan, Shatkov bukanlah tandingan petinju Amerika, yang menang telak 5-0 dalam perolehan poin. Skor itu diulangi dalam pertarungan berikutnya melawan petinju bintang Australia Tony Madigan.
Meskipun Ali harus berjuang keras beberapa kali, ia berhasil mencapai final Olimpiade kelas berat ringan. Berdiri di sudut yang berlawanan dengan Ali di stadion Palazzo dello Sport Roma pada 5 September 1960, adalah Zbigniew Pietrzykowski dari Polandia yang gagah berani.
Pietrzykowski lebih kuat dan jauh lebih berpengalaman daripada saingannya, dan Ali awalnya berjuang untuk beradaptasi dengan gaya kidal saingannya. Petinju Polandia berusia 25 tahun itu menang di dua ronde pertama, tetapi di ronde terakhir, Ali tampil gemilang.
Dengan stamina yang unggul dan kombinasi cepatnya, petinju Amerika itu membuat lawannya babak belur tetapi masih tegak menjelang bel akhir berbunyi. Para juri kembali sepakat. Medali emas Olimpiade menjadi milik Muhammad Ali.
Kegembiraan Muhammad Ali tak terbendung setelah kemenangannya, ia menuturkan kepada wartawan tentang apa artinya menjadi juara Olimpiade: "Saya tidak melepas medali itu selama 48 jam. Saya bahkan memakainya saat tidur. Saya tidak tidur nyenyak karena saya harus tidur telentang agar medali itu tidak melukai saya. Namun, saya tidak peduli, saya adalah juara Olimpiade."
(yov)