Tuan Rumah Hapus Stigma, AS Tebus Luka Kekalahan 2011
A
A
A
Gaung Piala Dunia Wanita 2015 nyaris tak terdengar. Penangkapan pejabat tinggi FIFA dan mundurnya Sepp Blatter sebagai presiden otoritas tertinggi sepak bola dunia tersebut membuat ajang ini minim peliputan media.
Padahal, event terbesar sepak bola wanita yang digelar di Kanada sudah memasuki H-1, tepatnya pada 6 Juni sampai 5 Juli 2015. Sebenarnya, ada atau tidak ada skandal FIFA, sepak bola wanita memang tak akan pernah segemerlap dan seheboh laki-laki. Lapangan hijau sepertinya memang tidak ditakdirkan menjadi milik kaum perempuan.
Dengan semua itu, sulit membayangkan sepak bola wanita bisa berkembang. Lihat bagaimana eventini kurang menarik minat media dan penonton. Sumber daya pemain juga tidak melimpah. Selain karena alasan prospek karier, masih ada kesan bahwa sepak bola adalah milik para kaum maskulin. Sepak bola identik dengan benturan, tekel, dan semua atribut “kekerasan” lainnya.
“Saat sekolah, ketika anak laki-laki diizinkan keluar untuk bermain sepak bola, wanita wajib tinggal di gym,” kata Rhian Wilkinson, pemain belakang timnas Kanada dengan 163 caps,seperti dituturkan kepada the globe and mail.
Dalam semua stigma tersebut, Kanada akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Wanita ketujuh sejak eventtersebut digelar pertama kali pada 1991 di China. Tantangan makin terasa berat karena di negara berpenduduk 23,16 juta jiwa pada 2013 tersebut masyarakatnya lebih menyukai hoki.
Tapi, kondisi tersebut justru menjadi tantangan tersendiri buat Wilkinson dkk untuk memopulerkan sepak bola. Dianggap sebagai olahraga kelas dua dan dihuni pemain buangan dari cabang hoki, Wilkinson optimistis sepak bola wanita di Kanada bisa lebih berkembang dibandingkan timnas pria.
Sejauh ini, timnas wanita Kanada memang lebih menjanjikan. Mereka menempati peringkat 8 FIFA. Pasukan yang sekarang ditangani John Herdman itu lima kali berturut-turut berpartisipasi di Piala Dunia dan hanya sekali absen saat digelar pertama kali di China. Prestasi terbaiknya menempati peringkat 4 di Piala Dunia 2003.
Deretan prestasi tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan timnas sepak bola pria Kanada. Julian de Guzman dkk hanya menempati peringkat 115 FIFA dan hanya sekali lolos ke Piala Dunia 1986. Itu pun langkah mereka terhenti di fase grup. Cerita Kanada tak berbeda jauh dengan Amerika Serikat (AS). Bedanya, sepak bola wanita AS jauh lebih baik dibandingkan Kanada.
Sama-sama bukan olahraga nomor satu di AS, ditambah prestasi timnas sepak bola pria yang “belum bersinar”, Christie Rampone sudah menghadirkan kebanggaan. Bersama Jerman, AS menjadi kolektor gelar terbanyak dengan dua trofi. Kecantikan para pemain mereka juga menghadirkan magnet tersendiri di lapangan dan menjadi buruan kamera media.
Pada tahun ini, AS mengusung misi menjadi terbaik. Pasukan Jillian Ellis ingin mengakhiri ketidakberuntungan di final Piala Dunia 2011 saat dikalahkan Jepang lewat adu penalti.
“Bagi saya, tahun 2011 hanya sebuah kekecewaan. Sekarang, semua pemain di tim ini percaya Piala Dunia tahun ini akan menjadi milik kami, setidaknya jika melihat persiapan yang dilakukan,” kata gelandang AS Tobin Heath.
Ma’ruf
Padahal, event terbesar sepak bola wanita yang digelar di Kanada sudah memasuki H-1, tepatnya pada 6 Juni sampai 5 Juli 2015. Sebenarnya, ada atau tidak ada skandal FIFA, sepak bola wanita memang tak akan pernah segemerlap dan seheboh laki-laki. Lapangan hijau sepertinya memang tidak ditakdirkan menjadi milik kaum perempuan.
Dengan semua itu, sulit membayangkan sepak bola wanita bisa berkembang. Lihat bagaimana eventini kurang menarik minat media dan penonton. Sumber daya pemain juga tidak melimpah. Selain karena alasan prospek karier, masih ada kesan bahwa sepak bola adalah milik para kaum maskulin. Sepak bola identik dengan benturan, tekel, dan semua atribut “kekerasan” lainnya.
“Saat sekolah, ketika anak laki-laki diizinkan keluar untuk bermain sepak bola, wanita wajib tinggal di gym,” kata Rhian Wilkinson, pemain belakang timnas Kanada dengan 163 caps,seperti dituturkan kepada the globe and mail.
Dalam semua stigma tersebut, Kanada akan menjadi tuan rumah Piala Dunia Wanita ketujuh sejak eventtersebut digelar pertama kali pada 1991 di China. Tantangan makin terasa berat karena di negara berpenduduk 23,16 juta jiwa pada 2013 tersebut masyarakatnya lebih menyukai hoki.
Tapi, kondisi tersebut justru menjadi tantangan tersendiri buat Wilkinson dkk untuk memopulerkan sepak bola. Dianggap sebagai olahraga kelas dua dan dihuni pemain buangan dari cabang hoki, Wilkinson optimistis sepak bola wanita di Kanada bisa lebih berkembang dibandingkan timnas pria.
Sejauh ini, timnas wanita Kanada memang lebih menjanjikan. Mereka menempati peringkat 8 FIFA. Pasukan yang sekarang ditangani John Herdman itu lima kali berturut-turut berpartisipasi di Piala Dunia dan hanya sekali absen saat digelar pertama kali di China. Prestasi terbaiknya menempati peringkat 4 di Piala Dunia 2003.
Deretan prestasi tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan timnas sepak bola pria Kanada. Julian de Guzman dkk hanya menempati peringkat 115 FIFA dan hanya sekali lolos ke Piala Dunia 1986. Itu pun langkah mereka terhenti di fase grup. Cerita Kanada tak berbeda jauh dengan Amerika Serikat (AS). Bedanya, sepak bola wanita AS jauh lebih baik dibandingkan Kanada.
Sama-sama bukan olahraga nomor satu di AS, ditambah prestasi timnas sepak bola pria yang “belum bersinar”, Christie Rampone sudah menghadirkan kebanggaan. Bersama Jerman, AS menjadi kolektor gelar terbanyak dengan dua trofi. Kecantikan para pemain mereka juga menghadirkan magnet tersendiri di lapangan dan menjadi buruan kamera media.
Pada tahun ini, AS mengusung misi menjadi terbaik. Pasukan Jillian Ellis ingin mengakhiri ketidakberuntungan di final Piala Dunia 2011 saat dikalahkan Jepang lewat adu penalti.
“Bagi saya, tahun 2011 hanya sebuah kekecewaan. Sekarang, semua pemain di tim ini percaya Piala Dunia tahun ini akan menjadi milik kami, setidaknya jika melihat persiapan yang dilakukan,” kata gelandang AS Tobin Heath.
Ma’ruf
(ftr)