Prancis vs Kroasia, Bagai David Tantang Goliath
A
A
A
JARANG menyaksikan final Piala Dunia mempertemukan dua tim dengan gap begitu besar dalam banyak sisi. Ekonomi, jumlah penduduk, dan tentu saja tradisi sepak bola dari kedua negara.
Prancis melawan Kroasia layaknya Goliath versus David. Prancis adalah Goliath, sedangkan Kroasia tak lebih dari seorang David. Les Blues merupakan tim yang stabil di pentas sepak bola dunia. Dalam 20 tahun terakhir mereka sudah melangkah di tiga final.
Memiliki jumlah penduduk 67 juta, gross domestic product (GDP) USD2.583 miliar (terbesar ketujuh), memiliki pendapatan per kapita USD39,869 (nomor 22 di dunia), dan telah mengirim 204 pemain ke Piala Dunia sejak 2002, lebih besar dari negara mana pun. Tahun ini tim nasionalnya bernilai lebih dari USD1,2 miliar. Kroasia adalah kebalikannya.
Mereka bukan kekuatan mapan di sepak bola karena menembus final adalah hal langka, terutama sejak mereka merdeka. Ini kali pertama tim berjuluk Vatreni lolos ke final sejak 1998. Prestasi terbaik mereka adalah peringkat tiga setelah dikalahkan Prancis di semifinal.
Dengan populasi lebih dari 4 juta, itu adalah negara terkecil kedua yang melangkah ke final Piala Dunia, hanya memiliki GDP USD61.056 miliar atau (81 dunia), pendapatan per kapita penduduknya USD14,788 (57 dunia), serta pemain di timnya hanya bernilai USD339 juta atau termurah dibandingkan semifinalis lainnya.
“Ini adalah pertandingan bersejarah bukan hanya untuk 13 atau 14 pemain dan skuad, tetapi juga semua orang Kroasia. Akan ada 4,5 juta pemain di lapangan. Ini tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, sukacita, kebersamaan, persatuan, kebanggaan, itu luar biasa... Jika ada stadion yang besar untuk 4,5 juta orang, itu akan penuh,” kata gelandang Kroasia Ivan Rakitic.
Kondisi Rakitic memang belum bisa dipastikan apakah bisa tampil atau tidak di final. Namun, ada atau tak ada Rakitic, Kroasia tetaplah tim berbahaya. “Kuncinya adalah mentalitas kami,” kata Dejan Lovren tentang bagaimana mental pemain yang sebagian besar hidup di era perang sipil ini.
Karakter itu telah ditampilkan dengan sangat baik di Rusia. Sepanjang turnamen, mereka belum tersentuh kekalahan dan selalu menolak kalah. Dua kali mereka berhasil melewati penalti, ada Denmark dan Rusia. Itu berarti Kroasia telah bermain 360 menit di sistem gugur, setara dengan satu kali lebih banyak laga dijalani Prancis yang juga memiliki hari istirahat tambahan antara semifinal dan final.
Kedua tim saling mengenal satu sama lain karena banyak dari anggota mereka bermain di La Liga. Antoine Griezmann adalah rekan bek Kroa sia Sime Vrsaljko di Atletico Madrid, Rakitic (Kroasia) bersama Samuel Umtiti (Prancis) di Barcelona, dan Modric telah me menangkan empat final Liga Champions bersama Raphael Varane di Real Madrid.
“Kesalahan kami di final Piala Eropa 2016 adalah terlalu percaya diri,” kata Paul Pogba tentang kenangannya dua tahun lalu. Tahun ini dia tak mau terlena. Dia tak mau terlalu senang atas pencapaiannya karena belum mendapatkan apa-apa.
Pemain Manchester United itu tak mau kehilangan apa yang sudah diimpikan sejak kecil. “Saya tahu dari mana saya berasal dan apa yang saya lalui untuk sampai ke titik ini. Saya telah bermimpi tentang Piala Dunia sejak saya kecil,” katanya.
Prancis melawan Kroasia layaknya Goliath versus David. Prancis adalah Goliath, sedangkan Kroasia tak lebih dari seorang David. Les Blues merupakan tim yang stabil di pentas sepak bola dunia. Dalam 20 tahun terakhir mereka sudah melangkah di tiga final.
Memiliki jumlah penduduk 67 juta, gross domestic product (GDP) USD2.583 miliar (terbesar ketujuh), memiliki pendapatan per kapita USD39,869 (nomor 22 di dunia), dan telah mengirim 204 pemain ke Piala Dunia sejak 2002, lebih besar dari negara mana pun. Tahun ini tim nasionalnya bernilai lebih dari USD1,2 miliar. Kroasia adalah kebalikannya.
Mereka bukan kekuatan mapan di sepak bola karena menembus final adalah hal langka, terutama sejak mereka merdeka. Ini kali pertama tim berjuluk Vatreni lolos ke final sejak 1998. Prestasi terbaik mereka adalah peringkat tiga setelah dikalahkan Prancis di semifinal.
Dengan populasi lebih dari 4 juta, itu adalah negara terkecil kedua yang melangkah ke final Piala Dunia, hanya memiliki GDP USD61.056 miliar atau (81 dunia), pendapatan per kapita penduduknya USD14,788 (57 dunia), serta pemain di timnya hanya bernilai USD339 juta atau termurah dibandingkan semifinalis lainnya.
“Ini adalah pertandingan bersejarah bukan hanya untuk 13 atau 14 pemain dan skuad, tetapi juga semua orang Kroasia. Akan ada 4,5 juta pemain di lapangan. Ini tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, sukacita, kebersamaan, persatuan, kebanggaan, itu luar biasa... Jika ada stadion yang besar untuk 4,5 juta orang, itu akan penuh,” kata gelandang Kroasia Ivan Rakitic.
Kondisi Rakitic memang belum bisa dipastikan apakah bisa tampil atau tidak di final. Namun, ada atau tak ada Rakitic, Kroasia tetaplah tim berbahaya. “Kuncinya adalah mentalitas kami,” kata Dejan Lovren tentang bagaimana mental pemain yang sebagian besar hidup di era perang sipil ini.
Karakter itu telah ditampilkan dengan sangat baik di Rusia. Sepanjang turnamen, mereka belum tersentuh kekalahan dan selalu menolak kalah. Dua kali mereka berhasil melewati penalti, ada Denmark dan Rusia. Itu berarti Kroasia telah bermain 360 menit di sistem gugur, setara dengan satu kali lebih banyak laga dijalani Prancis yang juga memiliki hari istirahat tambahan antara semifinal dan final.
Kedua tim saling mengenal satu sama lain karena banyak dari anggota mereka bermain di La Liga. Antoine Griezmann adalah rekan bek Kroa sia Sime Vrsaljko di Atletico Madrid, Rakitic (Kroasia) bersama Samuel Umtiti (Prancis) di Barcelona, dan Modric telah me menangkan empat final Liga Champions bersama Raphael Varane di Real Madrid.
“Kesalahan kami di final Piala Eropa 2016 adalah terlalu percaya diri,” kata Paul Pogba tentang kenangannya dua tahun lalu. Tahun ini dia tak mau terlena. Dia tak mau terlalu senang atas pencapaiannya karena belum mendapatkan apa-apa.
Pemain Manchester United itu tak mau kehilangan apa yang sudah diimpikan sejak kecil. “Saya tahu dari mana saya berasal dan apa yang saya lalui untuk sampai ke titik ini. Saya telah bermimpi tentang Piala Dunia sejak saya kecil,” katanya.
(don)