Sambut Olimpiade 2020, Jepang Siapkan Masjid Berjalan
A
A
A
JAKARTA - Menyambut musim kompetisi Olimpiade dan Paralimpik Tokyo 2020, Jepang mengumumkan proyek spektakulernya berupa masjid berjalan (mobile mosque). Proyek ini di bawah pengawasan Kepala Panitia Pelaksana Masjid Berjalan & CEO Yasu Project Co, Ltd Yasuharu Inoue, tersebut akan menjadi fasilitas tambahan yang bisa dinikmati baik oleh atlet maupun suporter beragama muslim dari berbagai negara.
Yasuharu dalam keterangannya persnya yang diterima SINDOnews, Sabtu (25/8/2018), mengatakan, ide dibuatnya masjid berjalan tercetus dari keinginan Jepang untuk menyuguhkan keramahtamahan bagi siapa saja. "Ya, kata ramahtamah mengusik saya lalu saya berpikir bagaimana jika dibangun tempat ibadah untuk tamu-tamu yang datang pada ajang olimpiade dan paralimpik," kata Yasuharu.
Yasuharu mengaku berkawan dengan banyak muslim dari berbagai negara baik Indonesia maupun negara-negara di kawasan Timur Tengah. Karena itu, meski beragama Budha, Yasuharu memahami kebutuhan ibadah salat bagi orang muslim.
Di sejumlah negara, menemukan masjid untuk menjalankan ibadah solat tentu tidak semudah negara-negara Islam dan Timur Tengah. Acapkali masjid atau fasilitas ibadah lokasinya jauh dan tempatnya tidak memadai. "Kenapa tidak didekatkan saja sarana ibadahnya kepada pengguna? Nah itu mengapa lalu saya membuat proyek masjid berjalan," ujar Yasuharu.
Masjid berupa truk dengan teknologi canggih ini menjadi proyek masjid berjalan pertama di dunia. Kapasitas masjid yang bisa menampung 50 jamaah tersebut akan memudahkan atlet olimpiade dan paralimpik untuk menjalankan salat termasuk shalat Jumat.
Teknologi canggih yang diadopsi masjid berjalan ini memanfaatkan truk bagian bak sebagai peralatan utama. Kedua sisi lantai bak bisa diperluas menjadi 48 meter. Sehingga masjid seberat 25 ton tersebut bisa menampung 50 jamaah.
Masjid berjalan akan dilengkapi dengan fasilitas pendingin udara, ruangan tertutup dan tempat wudhu menjadikan masjid berjalan ini sangat nyaman untuk beribadah. Masjid juga memiliki sistem penyemprot ruangan yang memanfaatkan kristal mineral, sejenis air kesehatan yang diolah dengan teknologi canggih dan membuat jamaah menjadi lebih sehat dan bugar.
"Peserta olimpiade dan paralimpik yang muslim, bisa memanfaatkan masjid ini untuk salat," lanjut Yasuhara.
Yasuharu mengatakan, sejatinya, menciptakan masjid berjalan adalah bagian dari keramahtamahan Jepang terhadap para tamunya dari negara lain khususnya muslim. Orang Jepang ingin memberikan kemudahan dalam berbagai hal termasuk kebutuhan untuk ibadah.
Yasuharu berharap masjid berjalan yang diciptakan bisa digunakan juga oleh negara-negara lainnya. Terutama negara dengan jumlah masjid yang masih terbatas atau negara yang tengah menggelar even-even internasional.
Masjid berjalan berupa truk besar seberat 25 ton ini dibandrol dengan harga sekitar 100 juta yen atau setara dengan Rp14 miliar.
Sayangnya proyek masjid berjalan ini belum bisa dibawa ke Indonesia pada musim Asian Games 2018 dengan alasan waktu yang sangat mepet. Namun pada olimpiade di Tokyo tahun 2020, pihak Yasu Project akan menyediakan 10 unit masjid berjalan yang ditempatkan di sejumlah titik.
"Saya berharap masjid berjalanini tidak hanya dipakai dalam olimpiade di Tokyo, tetapi juga masyarakat lain di berbagai negara termasuk Indonesia," pungkas Yasuharu.
Yasuharu dalam keterangannya persnya yang diterima SINDOnews, Sabtu (25/8/2018), mengatakan, ide dibuatnya masjid berjalan tercetus dari keinginan Jepang untuk menyuguhkan keramahtamahan bagi siapa saja. "Ya, kata ramahtamah mengusik saya lalu saya berpikir bagaimana jika dibangun tempat ibadah untuk tamu-tamu yang datang pada ajang olimpiade dan paralimpik," kata Yasuharu.
Yasuharu mengaku berkawan dengan banyak muslim dari berbagai negara baik Indonesia maupun negara-negara di kawasan Timur Tengah. Karena itu, meski beragama Budha, Yasuharu memahami kebutuhan ibadah salat bagi orang muslim.
Di sejumlah negara, menemukan masjid untuk menjalankan ibadah solat tentu tidak semudah negara-negara Islam dan Timur Tengah. Acapkali masjid atau fasilitas ibadah lokasinya jauh dan tempatnya tidak memadai. "Kenapa tidak didekatkan saja sarana ibadahnya kepada pengguna? Nah itu mengapa lalu saya membuat proyek masjid berjalan," ujar Yasuharu.
Masjid berupa truk dengan teknologi canggih ini menjadi proyek masjid berjalan pertama di dunia. Kapasitas masjid yang bisa menampung 50 jamaah tersebut akan memudahkan atlet olimpiade dan paralimpik untuk menjalankan salat termasuk shalat Jumat.
Teknologi canggih yang diadopsi masjid berjalan ini memanfaatkan truk bagian bak sebagai peralatan utama. Kedua sisi lantai bak bisa diperluas menjadi 48 meter. Sehingga masjid seberat 25 ton tersebut bisa menampung 50 jamaah.
Masjid berjalan akan dilengkapi dengan fasilitas pendingin udara, ruangan tertutup dan tempat wudhu menjadikan masjid berjalan ini sangat nyaman untuk beribadah. Masjid juga memiliki sistem penyemprot ruangan yang memanfaatkan kristal mineral, sejenis air kesehatan yang diolah dengan teknologi canggih dan membuat jamaah menjadi lebih sehat dan bugar.
"Peserta olimpiade dan paralimpik yang muslim, bisa memanfaatkan masjid ini untuk salat," lanjut Yasuhara.
Yasuharu mengatakan, sejatinya, menciptakan masjid berjalan adalah bagian dari keramahtamahan Jepang terhadap para tamunya dari negara lain khususnya muslim. Orang Jepang ingin memberikan kemudahan dalam berbagai hal termasuk kebutuhan untuk ibadah.
Yasuharu berharap masjid berjalan yang diciptakan bisa digunakan juga oleh negara-negara lainnya. Terutama negara dengan jumlah masjid yang masih terbatas atau negara yang tengah menggelar even-even internasional.
Masjid berjalan berupa truk besar seberat 25 ton ini dibandrol dengan harga sekitar 100 juta yen atau setara dengan Rp14 miliar.
Sayangnya proyek masjid berjalan ini belum bisa dibawa ke Indonesia pada musim Asian Games 2018 dengan alasan waktu yang sangat mepet. Namun pada olimpiade di Tokyo tahun 2020, pihak Yasu Project akan menyediakan 10 unit masjid berjalan yang ditempatkan di sejumlah titik.
"Saya berharap masjid berjalanini tidak hanya dipakai dalam olimpiade di Tokyo, tetapi juga masyarakat lain di berbagai negara termasuk Indonesia," pungkas Yasuharu.
(bbk)