Son Heung-Min, Anti Ronaldo dari Asia
A
A
A
PESEPAKBOLA asal Korea Selatan, Son Heung-min, tengah menjadi favorit fans klub Liga Inggris, Tottenham Hotspurs. Son Heung-min kerap disebut-sebut sebagai Sonaldo atau Ronaldo dari Asia, julukan yang selalu dia tolak. Apa sebabnya?
“Nice one Sonny, Nice one Son. Letís have another one . Nice one Sonny, Nice one Son. Letís have another one.” Berkali-kali lagu itu dikumandangkan penggemar klub sepak bola Liga Inggris, Tottenham Hotspurs, setiap kali salah satu anak kesayangan klub mereka, Son Heung-min, berhasil mencetak gol.
Seperti semua orang, Son Heung-min sudah pasti merasa senang begitu banyak Yids, sebutan akrab penggemar Tottenham Hotspurs, berteriak histeris menyebutnyebut namanya. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu nama yang selalu dia ingat hingga kini, Son Woongjung, yang tidak lain adalah ayahnya. “Ini selalu menjadi mimpinya buat bermain di Eropa,” ujar Sonny, panggilan akrab Son Heung-min. Seperti Sonny, Son Woong-jung adalah pemain bola terkenal di Korea Selatan.
Dia pernah satu bendera dengan legenda sepak bola Korea Selatan, Cha Bum-kun. Di usia yang sangat muda, Son Woong-jung begitu penting membuat tim sepak bola K-League, Ilhwa Chunma. Son Woong-jung bahkan bercita-cita tidak hanya berkiprah di Korea Selatan, tapi juga di Eropa.
Hanya, semuanya berantakan ketika dia mengalami cedera yang tidak kunjung sembuh. Tidak ingin didera frustrasi, Son Woong-jung mengalihkan perhatiannya dengan menjadi pelatih sepak bola. Setidaknya jika dia gagal bermain bola, dia tidak akan gagal mencetak pesepak bola kelas dunia. Di saat itulah dia melihat anaknya yang paling bungsu Son Heung-min begitu antusias bermain bola.
Di keluarganya, Son Woong-jung memang tidak memaksa kedua anaknya, Son Heung-yun dan Son Heung-min bermain bola. “Saya tidak meminta mereka bermain bola. Namun, suatu saat saya bertanya pada Heungmin. Apa kamu mau serius bermain bola? Begitu mendengar jawabannya saya tahu perjalanan ini akan jadi perjalanan panjang buat dia. Ada banyak yang akan dikorbankan,” ujar Son Woong-jung.
Son Woong-jung memang terkejut mendengar jawaban Heung-min kecil. Pesepak bola yang lahir pada 8 Juli 1992 itu sepertinya tahu dia harus bekerja keras untuk menjadi pesepak bola yang berkualitas. Dia harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya. Sepanjang waktunya, dia harus berlatih dengan ayahnya. Setiap hari selama empat jam dia harus berlatih juggling untuk menemukan kepekaan antara tubuhnya dan bola.
Son Woongjung memang tergolong konservatif dalam melatih kedua anaknya bermain bola. Dia melatih anaknya dengan berbagai tahapan, misalnya mengendalikan bola dengan kaki kiri. Setelah itu, mengendalikan bola dengan kaki kanan. Jika belum berhasil, mereka berdua tidak boleh beranjak ke tahapan lainnya. “Saya juga memberikan hukuman fisik buat Heung-min jika gagal. Memang ini agak berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa. Tapi, saya tahu apa yang saya lakukan,” ucap Son Woong-jun.
Hebatnya, Heung-min berhasil mengatasi semua tantangan itu. Begitu tidak ada lagi yang bisa dia ajarkan Son Woong-jun akhirnya “mengusir” Heung-min muda dari tanah kelahirannya.
Berdasarkan saran Cha Bum-kun, Son Heung-min dikirim ke Jerman untuk berlatih sepak bola. Saat itu Jerman memang menjadi patokan utama pesepak bola Korea Selatan bukan Liga Inggris apalagi Liga Italia. Sebagai permulaan, keluarga Heung-min memilih Hamburg SV sebagai tempat awal untuk mengembangkan bakat anak mereka. Berpisah dengan keluarga, pada usia 16 tahun, Heung-min bertemu tidak hanya suasana pelatihan baru tapi juga budaya baru.
Dia sama sekali tidak bisa bahasa Jerman begitu menapakkan kaki di Negeri Fuhrer itu. “Dia pemalu, tapi dia sangat baik dan rapi untuk anakanak seusianya,” ujar Jutta Wendorf, orang tua angkat Heung-min selama di Jerman.
Namun, satu hari Jutta Wendorf terkejut bukan main ketika Heung-min mengajaknya berbicara bahasa Jerman. Tidak disangka, Heung-min mempelajari diam-diam bahasa Jerman secara autodidak. “Saat itu saya berpikir dia memiliki inteligensi yang tinggi. Ditambah, sifatnya yang pekerja keras membuatnya dia begitu cepat berbicara bahasa Jerman,” ucap Jutta Wendorf.
Salah satu sikap menonjol dari Heung-min adalah sikap pantang menyerah. Selain mampu membuktikan diri mampu menguasai bahasa Jerman, Heung-min tidak menyerah untuk bersaing dengan talenta-talenta lokal Jerman yang ada di Hamburg. Dia tidak patah semangat ketika Hamburg menganggurkannya selama satu tahun.
Tepat di usia 17 tahun, Hamburg justru tidak memberikannya kontrak baik itu masuk tim utama maupun tim junior. Namun, itu tidak membuat Heung-min putus asa. Dia tetap berlatih mengasah kemampuannya lebih baik lagi. Beruntung, ayahnya di Korea Selatan total memberikan bantuan finansial buat Heung-min saat itu.”Dia hanya meminta saya untuk terus berlatih walau memang tidak ada kejelasan,” kata Heung-min.
Terbukti, kerja keras itu terbayar juga. Pelatih Hamburg SV, Huub Stevens, memasukkan Heung-min dalam daftar pemain utama. Kontrak profesional bahkan diberikan berbarengan dengan usia Heung-min mencapai 18 tahun. Kepercayaan Hamburg tersebut kemudian dibalas Heung-min dengan menjadi pencetak gol termuda sepanjang sejarah Hamburg.
Dalam 73 penampilannya bersama Hamburg, Heung-min juga sukses mencetak 20 gol. Lama-kelamaan Hamburg terlihat semakin kecil bagi Heung-min yang bermimpi bisa bermain di kompetisi Eropa terutama Liga Champions. Hal ini yang kemudian mendorongnya menerima pinangan Leverkusen. Di klub inilah Heung-min kemudian bertransformasi menjadi salah satu bintang Bundesliga.
Seperti masa-masa kelam di Hamburg SV, pada musim pertamanya, pelatih Leverkusn Stefan Kiessling hanya menjadikannya pilihan kedua. Namun, dia tetap menunjukkan bahwa determinasi adalah solusinya.
Dia tidak pernah kecewa, bahkan pada musim pertamanya itu Heung-min mampu mencetak 12 gol dari 43 pertandingan dan membawa Leverkusen mendapatkan tiket ke Liga Champions. Hal inilah yang kemudian membuat banyak klub tertarik dengan Heung-min, termasuk Tottenham Hotspurs yang kali ini menerima berkah, di mana performa Heung-min sedang begitu menanjak.
Kepiawaian mengolah bola inilah yang kemudian banyak orang mengasosiasikan Heung-min dengan pesepak bola Portugal, Cristiano Ronaldo. Apalagi, gaya Heung-min yang stylish dan hubungan asmaranya dengan artis Korea Selatan membuat banyak orang mengingatkannya pada CR7, panggilan akrab Cristiano Ronaldo.
Namun, Heung-min justru mengatakan bahwa dia adalah seorang anti-Ronaldo. Hanya yang perlu dicatat, dia tidak suka CR7 bukan karena hal pribadi. Dia melihat, di timnas Portugal dan klub yang dibela, CR7 terlalu menjadi pusat permainan sehingga kepentingan tim agak terabaikan.
Dia justru ingin sebaliknya. Dia ingin pusat permainan tetap ada di tim dan dia akan melebur di dalamnya. “Dia bergerak dan menyisir lapangan untuk membuka peluang buat teman-temannya. Namun, saat ada kesempatan mencetak gol, dia tidak akan menyia-nyiakannya,” ujar Maurichio POtechino, pelatih Tottenham Hotspurs. Kin Poach, panggilan akrab Pottechino, tengah waswas.
Dia selalu paham Heung-min butuh kolam yang besar untuk mencapai impiannya menjadi yang terbaik di dunia. “Dia dan keluarganya tidak pernah puas dengan zona nyaman dan kolam yang tenang,” tulis Poach di dalam bukunya, Brave New World. (Wahyu Sibarani)
“Nice one Sonny, Nice one Son. Letís have another one . Nice one Sonny, Nice one Son. Letís have another one.” Berkali-kali lagu itu dikumandangkan penggemar klub sepak bola Liga Inggris, Tottenham Hotspurs, setiap kali salah satu anak kesayangan klub mereka, Son Heung-min, berhasil mencetak gol.
Seperti semua orang, Son Heung-min sudah pasti merasa senang begitu banyak Yids, sebutan akrab penggemar Tottenham Hotspurs, berteriak histeris menyebutnyebut namanya. Namun, di tengah kegembiraan itu, ada satu nama yang selalu dia ingat hingga kini, Son Woongjung, yang tidak lain adalah ayahnya. “Ini selalu menjadi mimpinya buat bermain di Eropa,” ujar Sonny, panggilan akrab Son Heung-min. Seperti Sonny, Son Woong-jung adalah pemain bola terkenal di Korea Selatan.
Dia pernah satu bendera dengan legenda sepak bola Korea Selatan, Cha Bum-kun. Di usia yang sangat muda, Son Woong-jung begitu penting membuat tim sepak bola K-League, Ilhwa Chunma. Son Woong-jung bahkan bercita-cita tidak hanya berkiprah di Korea Selatan, tapi juga di Eropa.
Hanya, semuanya berantakan ketika dia mengalami cedera yang tidak kunjung sembuh. Tidak ingin didera frustrasi, Son Woong-jung mengalihkan perhatiannya dengan menjadi pelatih sepak bola. Setidaknya jika dia gagal bermain bola, dia tidak akan gagal mencetak pesepak bola kelas dunia. Di saat itulah dia melihat anaknya yang paling bungsu Son Heung-min begitu antusias bermain bola.
Di keluarganya, Son Woong-jung memang tidak memaksa kedua anaknya, Son Heung-yun dan Son Heung-min bermain bola. “Saya tidak meminta mereka bermain bola. Namun, suatu saat saya bertanya pada Heungmin. Apa kamu mau serius bermain bola? Begitu mendengar jawabannya saya tahu perjalanan ini akan jadi perjalanan panjang buat dia. Ada banyak yang akan dikorbankan,” ujar Son Woong-jung.
Son Woong-jung memang terkejut mendengar jawaban Heung-min kecil. Pesepak bola yang lahir pada 8 Juli 1992 itu sepertinya tahu dia harus bekerja keras untuk menjadi pesepak bola yang berkualitas. Dia harus mengorbankan banyak hal untuk mencapainya. Sepanjang waktunya, dia harus berlatih dengan ayahnya. Setiap hari selama empat jam dia harus berlatih juggling untuk menemukan kepekaan antara tubuhnya dan bola.
Son Woongjung memang tergolong konservatif dalam melatih kedua anaknya bermain bola. Dia melatih anaknya dengan berbagai tahapan, misalnya mengendalikan bola dengan kaki kiri. Setelah itu, mengendalikan bola dengan kaki kanan. Jika belum berhasil, mereka berdua tidak boleh beranjak ke tahapan lainnya. “Saya juga memberikan hukuman fisik buat Heung-min jika gagal. Memang ini agak berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa. Tapi, saya tahu apa yang saya lakukan,” ucap Son Woong-jun.
Hebatnya, Heung-min berhasil mengatasi semua tantangan itu. Begitu tidak ada lagi yang bisa dia ajarkan Son Woong-jun akhirnya “mengusir” Heung-min muda dari tanah kelahirannya.
Berdasarkan saran Cha Bum-kun, Son Heung-min dikirim ke Jerman untuk berlatih sepak bola. Saat itu Jerman memang menjadi patokan utama pesepak bola Korea Selatan bukan Liga Inggris apalagi Liga Italia. Sebagai permulaan, keluarga Heung-min memilih Hamburg SV sebagai tempat awal untuk mengembangkan bakat anak mereka. Berpisah dengan keluarga, pada usia 16 tahun, Heung-min bertemu tidak hanya suasana pelatihan baru tapi juga budaya baru.
Dia sama sekali tidak bisa bahasa Jerman begitu menapakkan kaki di Negeri Fuhrer itu. “Dia pemalu, tapi dia sangat baik dan rapi untuk anakanak seusianya,” ujar Jutta Wendorf, orang tua angkat Heung-min selama di Jerman.
Namun, satu hari Jutta Wendorf terkejut bukan main ketika Heung-min mengajaknya berbicara bahasa Jerman. Tidak disangka, Heung-min mempelajari diam-diam bahasa Jerman secara autodidak. “Saat itu saya berpikir dia memiliki inteligensi yang tinggi. Ditambah, sifatnya yang pekerja keras membuatnya dia begitu cepat berbicara bahasa Jerman,” ucap Jutta Wendorf.
Salah satu sikap menonjol dari Heung-min adalah sikap pantang menyerah. Selain mampu membuktikan diri mampu menguasai bahasa Jerman, Heung-min tidak menyerah untuk bersaing dengan talenta-talenta lokal Jerman yang ada di Hamburg. Dia tidak patah semangat ketika Hamburg menganggurkannya selama satu tahun.
Tepat di usia 17 tahun, Hamburg justru tidak memberikannya kontrak baik itu masuk tim utama maupun tim junior. Namun, itu tidak membuat Heung-min putus asa. Dia tetap berlatih mengasah kemampuannya lebih baik lagi. Beruntung, ayahnya di Korea Selatan total memberikan bantuan finansial buat Heung-min saat itu.”Dia hanya meminta saya untuk terus berlatih walau memang tidak ada kejelasan,” kata Heung-min.
Terbukti, kerja keras itu terbayar juga. Pelatih Hamburg SV, Huub Stevens, memasukkan Heung-min dalam daftar pemain utama. Kontrak profesional bahkan diberikan berbarengan dengan usia Heung-min mencapai 18 tahun. Kepercayaan Hamburg tersebut kemudian dibalas Heung-min dengan menjadi pencetak gol termuda sepanjang sejarah Hamburg.
Dalam 73 penampilannya bersama Hamburg, Heung-min juga sukses mencetak 20 gol. Lama-kelamaan Hamburg terlihat semakin kecil bagi Heung-min yang bermimpi bisa bermain di kompetisi Eropa terutama Liga Champions. Hal ini yang kemudian mendorongnya menerima pinangan Leverkusen. Di klub inilah Heung-min kemudian bertransformasi menjadi salah satu bintang Bundesliga.
Seperti masa-masa kelam di Hamburg SV, pada musim pertamanya, pelatih Leverkusn Stefan Kiessling hanya menjadikannya pilihan kedua. Namun, dia tetap menunjukkan bahwa determinasi adalah solusinya.
Dia tidak pernah kecewa, bahkan pada musim pertamanya itu Heung-min mampu mencetak 12 gol dari 43 pertandingan dan membawa Leverkusen mendapatkan tiket ke Liga Champions. Hal inilah yang kemudian membuat banyak klub tertarik dengan Heung-min, termasuk Tottenham Hotspurs yang kali ini menerima berkah, di mana performa Heung-min sedang begitu menanjak.
Kepiawaian mengolah bola inilah yang kemudian banyak orang mengasosiasikan Heung-min dengan pesepak bola Portugal, Cristiano Ronaldo. Apalagi, gaya Heung-min yang stylish dan hubungan asmaranya dengan artis Korea Selatan membuat banyak orang mengingatkannya pada CR7, panggilan akrab Cristiano Ronaldo.
Namun, Heung-min justru mengatakan bahwa dia adalah seorang anti-Ronaldo. Hanya yang perlu dicatat, dia tidak suka CR7 bukan karena hal pribadi. Dia melihat, di timnas Portugal dan klub yang dibela, CR7 terlalu menjadi pusat permainan sehingga kepentingan tim agak terabaikan.
Dia justru ingin sebaliknya. Dia ingin pusat permainan tetap ada di tim dan dia akan melebur di dalamnya. “Dia bergerak dan menyisir lapangan untuk membuka peluang buat teman-temannya. Namun, saat ada kesempatan mencetak gol, dia tidak akan menyia-nyiakannya,” ujar Maurichio POtechino, pelatih Tottenham Hotspurs. Kin Poach, panggilan akrab Pottechino, tengah waswas.
Dia selalu paham Heung-min butuh kolam yang besar untuk mencapai impiannya menjadi yang terbaik di dunia. “Dia dan keluarganya tidak pernah puas dengan zona nyaman dan kolam yang tenang,” tulis Poach di dalam bukunya, Brave New World. (Wahyu Sibarani)
(nfl)