Walah, Persebaya tercekik pajak
A
A
A
Sindonews.com - Modal puluhan ribu suporter yang setia memenuhi Gelora 10 Nopember saat laga home Indonesian Premier League (IPL) belum menjadikan Persebaya sebagai tim kaya. Napas tim berjuluk Bleduk Ijo itu malah tersengal-sengal karena tercekik berbagai regulasi pajak pertandingan.
Ketua Panpel Persebaya Sutrisno mengatakan sesuai Peraturan Daerah (Perda) Surabaya, manajemen Persebaya harus menyetor uang pajak sebesar 15 persen dari pemasukan kotor setiap laga home.
’’Itulah yang membuat kami terasa berat kerena beban pajak terlalu tinggi karena pajak
15 persen itu diambilkan dari pendapatan kotor bukan pendapatan bersih. Itu kami berikan rutin setiap pertandingan home, " keluh Sutrisno.
Rata-rata pada setiap pertandingan, lanjut Sutrisno,Persebaya harus menyetor pajak sebesar Rp 60 juta. Saat laga terakhir melawan Persiba Bantul misalnya, berdasarkan data dari Panpel, penonton yang datang mencapai 18. 536 penonton.
Rinciannya, penonton ekonomi membeli tiket sebesar Rp 20 ribu sebanyak 17. 601 orang. Sedangkan tiket di tribun utama seharga Rp 50 ribu, terjual 823 tiket. Sementara tiket VIP seharga Rp 100 ribu, terjual 112 lembar.
Total pendapatan kotor sebesar Rp 404. 370.000. Namun jumlah tersebut harus dipotong pajak sebesar 15 persen, senilai Rp 60.655.500. Jumlah tersebut tersebut tentu akan semakin meningkat jika jumlah penonton yang hadir lebih banyak lagi.
Termasuk ketika menghadapi Kelantan FA di ajang Unity Cup, Persebaya harus merogoh kocek untuk membayar pajak mencapai Rp 100 juta,
’’Untuk pertandingan Internasional, pajaknya lebih tinggi lagi, " keluh Sutrisno.
Akibat melambungnya pajak pertandingan, selama satu musim IPL, Persebaya harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 miliar.
Estimasinya, dengan 13 klub yang berlaga di kompetisi resmi PSSI ini, Persebaya akan melakoni 12 laga home di Gelora 10 Nopember Tambaksari.
Jika rata-rata penonton sama dengan ketika menghadapi Persiba, yaitu Rp 60 juta maka total satu musim harus keluar biaya sebesar Rp 1,2 miliar.
''Panpel diharapkan bisa mengenjot hasil penjualan tiket untuk menutupi kebutuhan Persebaya, tapi tidak bisa maksimal karena satu musim kita harus keluar biaya pajak pertandingan saja sekitar Rp 1 miliar, " papar Sutrisno.
Bukan hanya pendapatan terpotong pajak pertandingan sebesar 15 persen, namun manajemen Persebaya juga masih harus mengeluarkan berbagai biaya "pajak siluman". Salah satunya adalah pajak reklame.
Untuk setiap papan reklame yang berada di tepi lapangan saat Persebaya bertanding, Panpel harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 250 ribu. Rata-rata setiap pertandingan ada 28 papan reklame, masing-masing 6 papan reklame berada utara dan selatan.
Sedangkan 12 buah papan reklame berada di timur. Total biaya untuk papan reklame ini sebesar Rp 7 juta per pertandingan.
Menurut pengakuan Media Relation Persebaya, Ram Surahman, untuk pajak reklame itu pihaknya menyerahkan kepada Yayasan 10 November sebagai pengelola stadion. Padahal tahun ini, pengelolaan Gelora 10 November berada di tangan Pemkot Surabaya melalui Dispora.
"Katanya memang sudah diambil alih Dispora, tapi kenapa masih ada biaya-biaya seperti pajak reklame itu. Apa benar ada aturan tambahan biaya reklame, padahal kita sudah mengeluarkan pajak resmi pertandingan sebesar 15 persen, " tudingnya.
Ditambahkan Ram, pihak Persebaya sebenarnya juga dirugikan oleh pengelola Gelora 10 November yang memasang papan reklame tanpa seijin dari pihak manajemen ketika Persebaya bermain, termasuk yang berada di tepi papan skor.
"Ada reklame yang tidak masuk melalui Persebaya, tapi langsung ke pengelola. Padahal mereka juga ikut diuntungkan ketika Persebaya disiarkan langsung televisi, " protes Ram.
Tidak hanya regulasi pajak yang membuat Persebaya menjerit. Berbagai pengeluaran biaya pertandingan juga harus dikeluarkan, seperti sewa stadion senilai Rp 10 juta untuk pertandingan siang, komisi panitia, dan biaya keamanan berkisar Rp 15 juta sampai Rp 20 juta.
Bahkan tidak lama lagi Pemkot Surabaya juga akan menaikan biaya sewa stadion menjadi Rp 16 juta per pertandingan.
"Apakah harus sebesar ini untuk membina pemain? Apalagi kami harus pandai-pandai mencari pemasukan karena tidak menggunakan APBD, ” keluh Sutrisno.
Ketua Panpel Persebaya Sutrisno mengatakan sesuai Peraturan Daerah (Perda) Surabaya, manajemen Persebaya harus menyetor uang pajak sebesar 15 persen dari pemasukan kotor setiap laga home.
’’Itulah yang membuat kami terasa berat kerena beban pajak terlalu tinggi karena pajak
15 persen itu diambilkan dari pendapatan kotor bukan pendapatan bersih. Itu kami berikan rutin setiap pertandingan home, " keluh Sutrisno.
Rata-rata pada setiap pertandingan, lanjut Sutrisno,Persebaya harus menyetor pajak sebesar Rp 60 juta. Saat laga terakhir melawan Persiba Bantul misalnya, berdasarkan data dari Panpel, penonton yang datang mencapai 18. 536 penonton.
Rinciannya, penonton ekonomi membeli tiket sebesar Rp 20 ribu sebanyak 17. 601 orang. Sedangkan tiket di tribun utama seharga Rp 50 ribu, terjual 823 tiket. Sementara tiket VIP seharga Rp 100 ribu, terjual 112 lembar.
Total pendapatan kotor sebesar Rp 404. 370.000. Namun jumlah tersebut harus dipotong pajak sebesar 15 persen, senilai Rp 60.655.500. Jumlah tersebut tersebut tentu akan semakin meningkat jika jumlah penonton yang hadir lebih banyak lagi.
Termasuk ketika menghadapi Kelantan FA di ajang Unity Cup, Persebaya harus merogoh kocek untuk membayar pajak mencapai Rp 100 juta,
’’Untuk pertandingan Internasional, pajaknya lebih tinggi lagi, " keluh Sutrisno.
Akibat melambungnya pajak pertandingan, selama satu musim IPL, Persebaya harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 1 miliar.
Estimasinya, dengan 13 klub yang berlaga di kompetisi resmi PSSI ini, Persebaya akan melakoni 12 laga home di Gelora 10 Nopember Tambaksari.
Jika rata-rata penonton sama dengan ketika menghadapi Persiba, yaitu Rp 60 juta maka total satu musim harus keluar biaya sebesar Rp 1,2 miliar.
''Panpel diharapkan bisa mengenjot hasil penjualan tiket untuk menutupi kebutuhan Persebaya, tapi tidak bisa maksimal karena satu musim kita harus keluar biaya pajak pertandingan saja sekitar Rp 1 miliar, " papar Sutrisno.
Bukan hanya pendapatan terpotong pajak pertandingan sebesar 15 persen, namun manajemen Persebaya juga masih harus mengeluarkan berbagai biaya "pajak siluman". Salah satunya adalah pajak reklame.
Untuk setiap papan reklame yang berada di tepi lapangan saat Persebaya bertanding, Panpel harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 250 ribu. Rata-rata setiap pertandingan ada 28 papan reklame, masing-masing 6 papan reklame berada utara dan selatan.
Sedangkan 12 buah papan reklame berada di timur. Total biaya untuk papan reklame ini sebesar Rp 7 juta per pertandingan.
Menurut pengakuan Media Relation Persebaya, Ram Surahman, untuk pajak reklame itu pihaknya menyerahkan kepada Yayasan 10 November sebagai pengelola stadion. Padahal tahun ini, pengelolaan Gelora 10 November berada di tangan Pemkot Surabaya melalui Dispora.
"Katanya memang sudah diambil alih Dispora, tapi kenapa masih ada biaya-biaya seperti pajak reklame itu. Apa benar ada aturan tambahan biaya reklame, padahal kita sudah mengeluarkan pajak resmi pertandingan sebesar 15 persen, " tudingnya.
Ditambahkan Ram, pihak Persebaya sebenarnya juga dirugikan oleh pengelola Gelora 10 November yang memasang papan reklame tanpa seijin dari pihak manajemen ketika Persebaya bermain, termasuk yang berada di tepi papan skor.
"Ada reklame yang tidak masuk melalui Persebaya, tapi langsung ke pengelola. Padahal mereka juga ikut diuntungkan ketika Persebaya disiarkan langsung televisi, " protes Ram.
Tidak hanya regulasi pajak yang membuat Persebaya menjerit. Berbagai pengeluaran biaya pertandingan juga harus dikeluarkan, seperti sewa stadion senilai Rp 10 juta untuk pertandingan siang, komisi panitia, dan biaya keamanan berkisar Rp 15 juta sampai Rp 20 juta.
Bahkan tidak lama lagi Pemkot Surabaya juga akan menaikan biaya sewa stadion menjadi Rp 16 juta per pertandingan.
"Apakah harus sebesar ini untuk membina pemain? Apalagi kami harus pandai-pandai mencari pemasukan karena tidak menggunakan APBD, ” keluh Sutrisno.
()