Investor atau tekor
A
A
A
Sindonews.com - Krisis finansial semusim terakhir menjadi pelajaran bagi klub-klub yang jatuh dalam dekapan Konsorsium LPI. Kini semua klub paham, tidak bisa hanya mengandalkan pendanaan dari pemegang saham yang nyatanya mangkir saat pembayaran.
Klub-klub yang sahamnya dikuasai konsorsium, semula menganggap pendanaan musim kemarin tidak menemui masalah. Walau di awal musim sudah disepakati minimnya dana yang diterima, klub-klub optimistis bisa memanfaatkan dana itu. Sayang realisasinya tidak demikian.
Bukan persoalan besarnya dana per musim yang menjadi masalah, namun pencairan yang macet. Klub yang terlanjur menyerahkan sahamnya kepada konsorsium pun kini hanya bisa gigit jari. Mereka juga menatap masa depan dengan langkah yang berat karena harus susah payah mencari investor atau sponsor.
“Semula kami mengira persoalan akan selesai karena adanya konsorsium sebagai panyandang dana. Ternyata masih ada masalah,” cetus Arya Wishnu, Asisten manajer Persik Kediri. Menurutnya situasi tersebut membuat klub tetap tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan finansial.
Tidak lagi mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Persik juga miskin sponsor. PT Gudang garam tidak mau lagi menguvurkan dana untuk Macan Putih. Menurutnya Arya, tanpa investor atau sponsor besar, tidak mungkin sebuah klub bisa selamat.
“Pastinya akan tekor lagi. Kayaknya sekarang lebih penting mencari investor daripada pemain. Tanpa APBD, dana dari konsorsium tidak bisa diandalkan, sponsor sulit diperoleh, klub-klub harus kembali dari nol lagi,” jelasnya. Bagi Persik, situasi jauh lebih rumit karena mereka berlaga di Divisi Utama.
Sedangkan klub yang berlaga di Indonesian Premier League (IPL), seperti Persema Malang dan Persibo, juga limbung diterpa krisis. Hampir sebagian besar klub di Jawa Timur mempunyai persoalan yang sama, karena tidak banyaknya supporter yang datang ke stadion.
Dari sekian klub yang tampil di kompetisi IPL dan Divisi Utama musim lalu, hanya Persebaya yang mempunyai penonton luar biasa. Urutan kedua dipegang Persibo Bojonegoro dengan kapasitas stadion yang mungil. Klub lainnya sama sekali tak bisa mengandalkan pemasukan tiket.
“Investor atau sponsor menjadi solusi terbaik karena kami terbukti tidak bisa tergantung terus ke konsorsium. Tapi masalahnya tidak semua klub punya daya jual ke sponsor. Persema telah melakukan berbagai upaya awal musim lalu, tapi hasilnya ya begitu-begitu saja,” ujar CEO Persema Malang Didied Poernawan.
Persema sebelumnya berharap konsorsium menjadi pembuka jalan bagi klub-klub anggotanya untuk mendapatkan sponsor. Kenyataannya, klub dibiarkan mencari sponsor sendiri sedangkan asupan dana tidak mengalir lancar. Persema yang sejak dulu miskin sponsor pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Klub berjuluk Laskar Ken Arok sempat dihubung-hubungkan dengan investor asal Australia musim depan. Namun manajemen pilih tidak membahas masalah tersebut karena hingga kini belum ada kesepakatan apa-apa. “Kami sih senang bangat kalau ada investor dan berharap seperti itu. Tapi belum,” kata Didied.
Saking rumitnya persoalan finansial, Persema sampai tak terlalu kepikiran dengan komposisi tim musim depan. Ketersediaan dana menjadi hal yang jauh lebih penting untuk dpikirkan, dibanding mengurusi belanja pemain. “Kami fokus ke pendanaan dulu. Kalau soal tim, kami punya banyak pemain muda,” tandas Didied.
Penderitaan klub tak hanya dirasakan level atas. Puluhan klub di Divisi Utama di Jawa Timur mengalami problem yang sama persis. Jangankan berharap kedatangan investor atau sponsor, bahkan hanya untuk mendatangkan penonton ke stadion pun sudah tidak mampu.
Klub-klub yang sahamnya dikuasai konsorsium, semula menganggap pendanaan musim kemarin tidak menemui masalah. Walau di awal musim sudah disepakati minimnya dana yang diterima, klub-klub optimistis bisa memanfaatkan dana itu. Sayang realisasinya tidak demikian.
Bukan persoalan besarnya dana per musim yang menjadi masalah, namun pencairan yang macet. Klub yang terlanjur menyerahkan sahamnya kepada konsorsium pun kini hanya bisa gigit jari. Mereka juga menatap masa depan dengan langkah yang berat karena harus susah payah mencari investor atau sponsor.
“Semula kami mengira persoalan akan selesai karena adanya konsorsium sebagai panyandang dana. Ternyata masih ada masalah,” cetus Arya Wishnu, Asisten manajer Persik Kediri. Menurutnya situasi tersebut membuat klub tetap tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan finansial.
Tidak lagi mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Persik juga miskin sponsor. PT Gudang garam tidak mau lagi menguvurkan dana untuk Macan Putih. Menurutnya Arya, tanpa investor atau sponsor besar, tidak mungkin sebuah klub bisa selamat.
“Pastinya akan tekor lagi. Kayaknya sekarang lebih penting mencari investor daripada pemain. Tanpa APBD, dana dari konsorsium tidak bisa diandalkan, sponsor sulit diperoleh, klub-klub harus kembali dari nol lagi,” jelasnya. Bagi Persik, situasi jauh lebih rumit karena mereka berlaga di Divisi Utama.
Sedangkan klub yang berlaga di Indonesian Premier League (IPL), seperti Persema Malang dan Persibo, juga limbung diterpa krisis. Hampir sebagian besar klub di Jawa Timur mempunyai persoalan yang sama, karena tidak banyaknya supporter yang datang ke stadion.
Dari sekian klub yang tampil di kompetisi IPL dan Divisi Utama musim lalu, hanya Persebaya yang mempunyai penonton luar biasa. Urutan kedua dipegang Persibo Bojonegoro dengan kapasitas stadion yang mungil. Klub lainnya sama sekali tak bisa mengandalkan pemasukan tiket.
“Investor atau sponsor menjadi solusi terbaik karena kami terbukti tidak bisa tergantung terus ke konsorsium. Tapi masalahnya tidak semua klub punya daya jual ke sponsor. Persema telah melakukan berbagai upaya awal musim lalu, tapi hasilnya ya begitu-begitu saja,” ujar CEO Persema Malang Didied Poernawan.
Persema sebelumnya berharap konsorsium menjadi pembuka jalan bagi klub-klub anggotanya untuk mendapatkan sponsor. Kenyataannya, klub dibiarkan mencari sponsor sendiri sedangkan asupan dana tidak mengalir lancar. Persema yang sejak dulu miskin sponsor pun tidak bisa berbuat apa-apa.
Klub berjuluk Laskar Ken Arok sempat dihubung-hubungkan dengan investor asal Australia musim depan. Namun manajemen pilih tidak membahas masalah tersebut karena hingga kini belum ada kesepakatan apa-apa. “Kami sih senang bangat kalau ada investor dan berharap seperti itu. Tapi belum,” kata Didied.
Saking rumitnya persoalan finansial, Persema sampai tak terlalu kepikiran dengan komposisi tim musim depan. Ketersediaan dana menjadi hal yang jauh lebih penting untuk dpikirkan, dibanding mengurusi belanja pemain. “Kami fokus ke pendanaan dulu. Kalau soal tim, kami punya banyak pemain muda,” tandas Didied.
Penderitaan klub tak hanya dirasakan level atas. Puluhan klub di Divisi Utama di Jawa Timur mengalami problem yang sama persis. Jangankan berharap kedatangan investor atau sponsor, bahkan hanya untuk mendatangkan penonton ke stadion pun sudah tidak mampu.
(wbs)