Persiba dukung Financial Fair Play bagi klub IPL
A
A
A
Sindonews.com - Persiba Bantul mendukung penuh rencana kebijakan PSSI yang menerapkan sistem Financial Fair Play pada kompetisi Indonesian Premier League (IPL) musim ini. Dalam kebijakan itu disebutkan, setiap klub dibatasi pengeluaran maksimal Rp12 miliar. Kebijakan itu akan membuat tim-tim di Indonesia lebih membumi dalam hal pengeluaran.
Manajer Persiba Briyanto mengatakan, Financial Fair Play merupakan kebijakan yang menguntungkan banyak klub di Indonesia setelah tidak lagi menyusu APBD. "Itu membuat klub-klub di Indonesia kembali berpijak di bumi. Itu juga langkah agar kejadian musim lalu berupa keterlambatan gaji tidak lagi terulang. Persiba mendukung kebijakan itu," katanya, kemarin.
Mantan Manajer Timnas U-17 PSSI ini mengatakan, berdasarkan survei yang sudah dilakukannya selama ini, gaji pemain pesepakbola di Indonesia tidak realistis dengan jumlah pendapatan yang diterima klub. Gaji pemain yang membumbung tinggi membuat keuangan klub ibarat lebih besar pasak dari pada tiang. "Itu (gaji tinggi) yang membuat klub kolaps," tegasnya.
Dia menambahkan, dari survei tersebut juga mengemuka gaji pemain pesepakbola di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Asia, atau tertinggi di Asia Tenggara. Gaji pemain terbaik di Liga Vietnam saja hanya Rp200 juta per musim. Di Indonesia gaji tertinggi bisa menembus Rp1 miliar, padahal dia bukan pemain terbaik di Indonesia. "Bahkan orang Thailand bilang, bermain bola di Indonesia seperti surga," ungkapnya.
Briyanto menyebutkan, kejadian seperti musim lalu dengan adanya terminasi gaji (gaji 2 bulan hangus atau tidak dibayarkan) harus dihindari. Managemen klub Laskar Sultan Agung juga terpaksa menerapkan kebijakan terminasi kepada pemainnya. "Kita (Persiba) termasuk klub yang menerapkan kebijakan terminasi itu. Saya sedih, karena pemain yang dikorbankan. Itu tidak boleh terjadi lagi," ujarnya.
Menurut dia, sudah sepantasnya klub-klub berhemat anggaran, khususnya untuk gaji pemain karena untuk biaya operasional memang tidak bisa ditawar. Klub jangan lagi jor-joran menggaji pemain jika tidak ingin berhenti di tengah jalan kompetisi. "Bagi Persiba, lebih baik naik sepeda dari pada naik Mercy dari pada di tengah jalan kehabisan bensin," tegasnya.
Berdasarkan rilis PSSI, Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus menjelaskan, kebijakan Financial Fair Play diambil berdasarkan standar kompetisi di liga profesional yang mengacu pada aturan FIFA. Setiap klub tidak boleh membelanjakan lebih dari Rp12 miliar. Persentase pengeluaran dari total Rp 12 miliar tersebut, 60 persen untuk pembayaran gaji pemain dan 40 persen untuk operasional.
Penetapan batasan maksimal Rp12 miliar tersebut berdasarkan survei PSSI dan operator kompetisi PT LPIS dalam mencermati keuangan klub-klub. PSSI juga menegaskan, akan bertindak tegas terhadap klub yang menunggak gaji pemain.
Punishment untujk klub tersebut yakni tidak mengikutsertakan dalam kompetisi. Sesuai peraturan Profesional Licensing Club, klub yang masih menyisakan permasalahan tunggakan gaji pemain tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi.
Manajer Persiba Briyanto mengatakan, Financial Fair Play merupakan kebijakan yang menguntungkan banyak klub di Indonesia setelah tidak lagi menyusu APBD. "Itu membuat klub-klub di Indonesia kembali berpijak di bumi. Itu juga langkah agar kejadian musim lalu berupa keterlambatan gaji tidak lagi terulang. Persiba mendukung kebijakan itu," katanya, kemarin.
Mantan Manajer Timnas U-17 PSSI ini mengatakan, berdasarkan survei yang sudah dilakukannya selama ini, gaji pemain pesepakbola di Indonesia tidak realistis dengan jumlah pendapatan yang diterima klub. Gaji pemain yang membumbung tinggi membuat keuangan klub ibarat lebih besar pasak dari pada tiang. "Itu (gaji tinggi) yang membuat klub kolaps," tegasnya.
Dia menambahkan, dari survei tersebut juga mengemuka gaji pemain pesepakbola di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di Asia, atau tertinggi di Asia Tenggara. Gaji pemain terbaik di Liga Vietnam saja hanya Rp200 juta per musim. Di Indonesia gaji tertinggi bisa menembus Rp1 miliar, padahal dia bukan pemain terbaik di Indonesia. "Bahkan orang Thailand bilang, bermain bola di Indonesia seperti surga," ungkapnya.
Briyanto menyebutkan, kejadian seperti musim lalu dengan adanya terminasi gaji (gaji 2 bulan hangus atau tidak dibayarkan) harus dihindari. Managemen klub Laskar Sultan Agung juga terpaksa menerapkan kebijakan terminasi kepada pemainnya. "Kita (Persiba) termasuk klub yang menerapkan kebijakan terminasi itu. Saya sedih, karena pemain yang dikorbankan. Itu tidak boleh terjadi lagi," ujarnya.
Menurut dia, sudah sepantasnya klub-klub berhemat anggaran, khususnya untuk gaji pemain karena untuk biaya operasional memang tidak bisa ditawar. Klub jangan lagi jor-joran menggaji pemain jika tidak ingin berhenti di tengah jalan kompetisi. "Bagi Persiba, lebih baik naik sepeda dari pada naik Mercy dari pada di tengah jalan kehabisan bensin," tegasnya.
Berdasarkan rilis PSSI, Ketua Komite Kompetisi Sihar Sitorus menjelaskan, kebijakan Financial Fair Play diambil berdasarkan standar kompetisi di liga profesional yang mengacu pada aturan FIFA. Setiap klub tidak boleh membelanjakan lebih dari Rp12 miliar. Persentase pengeluaran dari total Rp 12 miliar tersebut, 60 persen untuk pembayaran gaji pemain dan 40 persen untuk operasional.
Penetapan batasan maksimal Rp12 miliar tersebut berdasarkan survei PSSI dan operator kompetisi PT LPIS dalam mencermati keuangan klub-klub. PSSI juga menegaskan, akan bertindak tegas terhadap klub yang menunggak gaji pemain.
Punishment untujk klub tersebut yakni tidak mengikutsertakan dalam kompetisi. Sesuai peraturan Profesional Licensing Club, klub yang masih menyisakan permasalahan tunggakan gaji pemain tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi.
(aww)