Masalah klub, pertaruhan IPL

Rabu, 30 Januari 2013 - 23:13 WIB
Masalah klub, pertaruhan...
Masalah klub, pertaruhan IPL
A A A
Sindonews.com —Setelah Indonesia Super League (ISL) bergulir mulai awal Januari 2013 lalu, gelombang kedua kompetisi sepakbola Indonesian bakal segera dimulai. Pertengahan Februari 2013 nanti giliran Indonesian Premier League (IPL) yang mengawali musim keduanya.

Sebagai kompetisi yang resmi di bawah otoritas PSSI, idealnya IPL menjadi contoh bagi kompetisi lain. PSSI sudah seharusnya mendesain kompetisi se-profesional mungkin demi menjaga gengsi sekaligus meningkatkan kualitas persepakbolaan nasional secara umum.

Sayang tanda-tanda ke arah sana masih kabur. Kompetisi IPL sejauh ini tidak mencatat progres lebih baik dibanding musim sebelumnya. Jika pada 2012 lalu publik masih memaklumi mutu IPL yang rendah dengan alasan baru tahun pertama, nyatanya di musim kedua malah berpotensi mengalami penurunan drastis.

Parameter yang paling mencolok adalah kondisi klub kontestan. Bagaimana pun situasi yang dialami klub-klub bakal memengaruhi mutu sebuah liga. 'Kesehatan' klub adalah cermin atau representasi dari sebuah kompetisi. Aspek inilah yang cukup memilukan dan menggambarkan bahwa IPL memiliki masa depan suram.

Klub-klub yang bakal bertanding di IPL menghadapi situasi luar biasa semrawut. Hingga beberapa pekan jelang kick off, nyaris tidak ada klub yang benar-benar siap mengarungi kompetisi. Berbagai persoalan dihadapi dan ternyatatidak hanya melulu masalah keuangan.

Dari 18 kontestan IPL, hanya Semen Padang yang relatif stabil. Klub yang nyaris menyeberang ke Indonesia Super League (ISL) ini telah memiliki kekuatan lengkap dan malah sudah berujicoba dengan tim nasional (timnas). Lainnya? Lebih sibuk dengan persoalan masing-masing.

Di Jawa Timur, klub yang bertanding di IPL semuanya adalah klub 'kesayangan' PSSI. Persebaya Surabaya, Persibo Bojonegoro dan Persema Malang adalah klub pelopor IPL sejak masih bernama Liga Primer Indonesia (LPI). Arema IPL juga menjadi salah satu klub kebanggaan kompetisi yang dioperatori PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS).

Jawa Timur yang sejak awal dijadikan objek penyebaran 'wabah' IPL mengalami sebuah kemunduran membahayakan. Persebaya disibukkan sengketa di manajemen yang berimbas langsung pada persiapan tim menuju kompetisi. Persibo Bojonegoro tidak mempunyai uang untuk menghidupi klub.

Persema Malang yang sejak musim lalu juga mengalami krisis, berganti konsep dan hanya menjadi 'sekolah sepak bola'. Klub dari Stadion Gajayana ini hanya memelihara pemain-pemain belia. Pamor Persema bahkan terancam redup setelah ditinggal penyerang Irfan Bachdim yang pilih bermain di Thailand.

Arema IPL? Tekun menjaga konflik. Borok sengketa di manajemen semusim silam kini kambuh lagi dan PT LPIS belum menerima kedua pihak yang berselisih. Itu belum termasuk masalah yang dihadapi klub-klub lain. Padahal, realita di luar sana, klub-klub luar Jawa Timur situasinya jauh lebih parah.

Tanpa kemapanan klub-klub Jawa Timur, kredibilitas IPL bakal sangat dipertaruhkan. Persebaya Surabaya, kebanggaan IPL dan selalu disodori ujicoba kelas internasional, terseok-seok digerogoti konflik internal. Hampir sebulan tim vakum dari latihan dan itu bukan prospek bagus untuk sebuah tim yang musim lalu berada di papan atas IPL.

Persebaya dengan domain supporter terbesar di antara klub IPL mana pun, memang pantas menjadi 'anak emas' PT LPIS. Siapa lagi yang layak dielus-elus selain Persebaya, klub legendaris dengan catatan sejarah panjang di sepakbola Indonesia, sekaligus memiliki Bonek yang sangat militan.

Tak sedikit yang menyebut hidup-mati Bajul Ijo menjadi penentu nasib kompetisi IPL selanjutnya. Mungkin agak berlebihan, tapi melihat gelagat yang terjadi, PT LPIS tampaknya harus ikut turun untuk menyelamatkan masa depan IPL lewat Persebaya. Persibo tak kalah parah.

Klub yang membawa martabat Indonesia di AFC Cup, mati-matian menyelamatkan diri dari maut. Terlambat membentuk tim, mencari hutangan, menyiasati kontrak, ditinggal pemain, dikejar-kejar deadline pendaftaran AFC Cup, menjadi wajah nyata sepakbola di bawah naungan IPL.

PSSI malah menambah luka Persibo dengan tidak juga membayar uang hadiah juara Piala Indonesia 2012. Cukup? Belum. Jadwal IPL yang disusun PT LPIS untuk Persibo sangat mengejutkan karena ada enam laga away secara berurutan. “Ini salah satu tantangan paling sulit yang pernah saya hadapi. Pilihan satu-satunya adalah tenang, berusaha jalan terus dan memahami kondisi klub,” kata Pelatih Persibo Gusnul Yakin pasrah.

Persibo terancam menjadi klub dengan mutu paling buruk dibanding klub-klub Indonesia lain yang pernah berlaga di level Asia. Yang mengherankan, PSSI atau PT LPIS sepertinya tidak mempunyai solusi apa pun untuk menambal problem di klub-klub anggotanya. Semua dibiarkan terus menjalar hingga tahap kronis.

Padahal, jika bicara agak jauh, pada 2014 nanti direncanakan ada penyatuan liga antara ISL dan IPL. Jika wacana itu benar-benar diwujudkan, maka tidak akan banyak klub IPL yang layak bertarung di kompetisi level atas. Persoalan yang menjangkiti klub-klub IPL menyuguhkan fakta mereka tak lebih baik dibanding klub amatir.

Ini ujian kedua IPL dan tampaknya lebih berat. Kompetisi akan bergulir dan klub-klub masih mengalami masalah, jelas bukan sebuah kompetisi yang bagus. Dari sisi keuangan saja, tidak ada yang menjamin klub bakal kuat menanggung biaya hingga kompetisi selesai. Belum persoalan yang lain, misalnya konflik manajemen” tukas pengamat bola asal Malang, Suyitno.

Dia yakin jika situasi terus berlanjut hingga kompetisi bergulir, IPL bahkan menjadi bahan cemoohan. Kompetisi yang seharusnya menjadi contoh karena dikelola otoritas resmi dan diakui FIFA, ternyata kualitasnya klub kontestannya justru kalah dengan kompetisi yang dianggap 'sempalan' (ISL).

“Sebenarnya tak perlu membuat perbandingan antara IPL dan ISL. Tanpa membandingkan pun sudah bisa dilihat bagaimana kesiapan operator liga serta klub pesertanya. Khusus IPL, saya harus berkata bahwa situasinya sangat kritis. Kualitas kompetisi dan harga diri PSSI akan menjadi taruhannya,” lanjutnya.

Suyitno mengingatkan, kinerja PSSI terkadang tidak dilihat dari rentetan program-program atau prestis mendatangkan klub-klub luar negeri. Tapi lebih pada kualitas kompetisi yang dijalankannya, karena di sana lah profesional-tidaknya kepengurusan organisasi sangat mudah dilihat.

Jelang bergulirnya IPL, hanya ada segelintir keputusan dibuat PSSI yang berhubungan langsung dengan operasional kompetisi. Paling terlihat adalah salary cap yang dikenakan kepada setiap klub, baik di IPL maupun Divisi Utama. Sayang kebijakan ini juga belum menolong klub untuk menghindari krisis keuangan.

Konsorsium PT Mitra Bola Indonesia (MBI) yang sejatinya satu rumpun dengan PSSI, terlihat malas mengalokasikan dana walau menguasai mayoritas saham klub. Idealnya dana asupan dari konsorsium sudah tersedia dua bulan untuk keperluan membentuk tim. Nyatanya, dana masih bodong hingga menjelang kompetisi dimulai.
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6178 seconds (0.1#10.140)