RIP Indonesian Premier League

Minggu, 31 Maret 2013 - 17:39 WIB
RIP Indonesian Premier...
RIP Indonesian Premier League
A A A
Sindonews.com - Pada catatan minggu lalu saya mengulas soal runtuhnya kerajaan Arifin Panigoro setelah digelarnya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI 17 Maret 2013 lalu. Rezim pengusaha minyak ini dalam pengelolaan sepakbola Indonesia ternyata hanya berumur seumur jagung dan tanpa menyisakan harapan tentang modernisasi sepakbola yang dulu sempat membahana.

Tapi dari pengamatan saya, keruntuhan itu ternyata datang jauh lebih cepat. Sebelum penyatuan liga sekaligus terhapusnya Indonesian Premier League (IPL) pada 2014 nanti, organisasi yang dijalankan rezim Arifin Panigoro sudah sekarat lebih dulu. Harapan hidup sangat tipis dengan nafas senin-kamis.

PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) terlihat sudah tertunduk lesu menatap puing-puing IPL yang tinggal menyisakan hidupnya beberapa bulan ke depan. Operator liga sudah kehabisan selera, klub-klub jauh lebih merana. Tanda-tanda kehidupan sudah sangat redup.

Sebagian besar klub IPL ibarat terkena kanker stadium kronis dan tinggal menunggu saat-saat terakhir. Bahkan lebih parah dari kanker. Tidak ada kemungkinan operasi atau 'kemoterapi' untuk sekadar membangkitkan semangat hidup. Buntutnya, pertandingan IPL ibarat sebuah kegiatan sosial yang bisa diabaikan.

Saya ambil contoh tiga klub IPL Jawa Timur, yakni Arema IPL, Persema Malang dan Persibo Bojonegoro. Kebetulan tiga klub ini sudah mendapat 'vonis mati' di KLB tempo hari dan tidak diperbolehkan ikut penyatuan kompetisi musim depan. Ironis, ketiga klub ini sudah pernah menelan kekalahan walk over (WO).

Arema dinyatakan kalah WO karena tidak datang ke kandang Semen Padang Februari silam, sedangkan Persibo WO karena tak mengunjungi markas Bontang FC. Persema lebih parah karena sudah mencatat dua kekalahan WO beruntun, lawan PSM Makassar dan Perseman Manokwari.

Apa yang bisa disimpulkan dari fakta itu? Hilangnya gairah hidup. Ya, ketidakseriusan klub ditambah lemahnya manajemen liga oleh PT LPIS memunculkan komplikasi yang sudah terlampau sulit ditangani. Persema Malang semakin membuktikan nyawa mereka sudah tidak ada artinya.

Saya yakin PT LPIS pada pekan-pekan terakhir banyak menerima surat permintaan penundaan pertandingan. Persebaya Surabaya, Persibo dan Persema telah bersurat-suratan dengan operator liga terkait nasib pertandingan yang sulit dilakukan karena berbagai alasan.

Dan saya tahu pasti PT LPIS tidak bisa berbuat banyak dengan surat-surat yang masuk tersebut. Sebuah pilihan sulit bagi perseroan terbatas pimpinan Widjajanto. Terlihat jelas mereka sudah tidak ada hasrat untuk mengatur ulang jadwal sebuah liga yang menunggu kematian.

Semua surat yang masuk tidak disentuh. Klub-klub yang mengajukan penundaan pertandingan dibiarkan mencari selamat sendiri-sendiri, walau pada akhirnya memang tidak selamat. Kekalahan WO menjadi pemandangan umum dan menjadi kanker ganas yang menggerogoti organ-organ IPL.

Sejak musim lalu kompetisi ini sebenarnya sudah tidak jelas dengan kacaunya pengaturan jadwal dan penegakan aturan yang lemah. Tapi musim ini yang baru memainkan beberapa pertandingan, jauh lebih parah dan menunjukkan tanda-tanda sebuah kepunahan.

Bandingan dengan kompetisi Indonesia Super League (ISL). Liga yang 'menang mutlak' dalam KLB ini berbanding 180 derajat dengan kompetisi tetangganya. Terang saja, ISL musim depan dipastikan masih utuh dan segar bugar karena 18 klub kontestan masuk dalam kompetisi unifikasi.

Penataan liga masih sangat terprogram. Ketika ada agenda tim nasional (timnas), hampir semua pertandingan mengalami penundaan dan tidak ada masalah dengan itu. Kendati semua laga bergeser mundur seminggu dari jadwal awal musim, semuanya bisa dilakukan dengan rapi alias oke-oke saja.

Saya jadi teringat cerita pertarungan antara Achilles lawan Hector dalam cerita Yunani, Troya. ISL adalah Achilles yang dengan puas dan pongah telah mengalahkan dan menyeret mayat Hector di depan gerbang benteng Troya. ISL sekarang ini tengah merayakan kemenangan besar.

IPL adalah Hector dan rakyat Troya yang menatap kekalahan pahit dan menghadapi sebuah keruntuhan. Sama persis seperti Troya, IPL tidak lagi memiliki ksatria dan motivasi hidup mereka tergantung bilah pedang di leher setelah gelombang kekuatan ISL berhasil menjebol benteng pertahanan.

Rest In Peace (RIP) IPL! Saya harus mengucapkan itu lebih dini dari yang seharusnya. Kalian telah merasakan bagaimana kejamnya sebuah kekuasaan yang dibangun dengan pondasi balas dendam. Mungkin saja IPL bukan korban terakhir, tapi masih ada korban-korban selanjutnya.

Tidak ada yang statis di sepakbola Indonesia sekarang ini. Semuanya fluktuatif dan cenderung destruktif. Kemarin tertawa, hari ini menderita. Yang hari ini tertawa, besok bisa meregang nyawa. Pengurus-pengurus sepakbola di sini ibarat zombie.

Mereka sewaktu-waktu bisa bangkit dari kubur dan melakukan pembalasan atas kekalahan masa lalu. Zombie bertingkah laku politisi, yang memegang prinsip tidak ada lawan abadi, karena yang ada kepentingan abadi. Pada akhirnya tergantung untuk kepentingan siapa mereka melakukan ini semua.*
(wbs)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0688 seconds (0.1#10.140)