Tanpa Arifin Panigoro perjuangan Persebaya sia-sia
A
A
A
Sindonews.com - Nantinya sepak bola Indonesia akan jauh lebih maju dan modern, dengan pembinaan yang terstruktur serta klub yang mandiri secara finansial.” Ungkapan penuh optimisme itu pernah dilontarkan Saleh Ismail Mukadar, Komisarir PT Persebaya Indonesia, jelang bergulirnya kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) 2010 silam.
Saya masih ingat benar bagaimana Persebaya menjadi salah satu klub yang paling gencar melakukan 'kampanye' LPI. Maklum, klub pujaan Bonek ini merasa jengah dengan PSSI rezim Nurdin Halid. Saleh adalah salah seorang yang berseberangan paham dengan Nurdin Halid.
Persebaya saat itu berada di atas angin dan bermimpi menjadi sebuah klub yang disegani, baik dari sisi prestasi maupun pengelolaan. Apalagi sebagai salah atu klub pioner berdirinya LPI, Persebaya dianggap istimewa dan menjadi klub yang dielus-elus Arifin Panigoro.
Media 2010 menjadi saat tepat bagi Persebaya untuk melakukan perlawanan. Kebetulan, ada sponsor kakap yang mengakomodir cita-cita Persebaya, yakni Arifin Panigoro. Singkat cerita, Saleh Mukadar dan Arifin Panigoro akhirnya benar-benar sukses menjungkalkan Nurdin Halid dari kursinya.
Selanjutnya muncul LPI yang kemudian menjelma menjadi Indonesian Premier League (IPL). Saleh Mukadar sebagai salah satu aktifis perubahan rezim juga mendapatkan jatah posisi di tubuh PSSI. Harus diakui upaya mereka mengubah wajah organisasi sepakbola Indonesia sukses besar.
Nurdin Halid dan kroni-kroninya dibersihkan dari sepak bola nasional. Tapi sayang, pondasi yang kurang kuat membuat kerajaan baru ini sangat rapuh. Pondasi yang saya maksud adalah kualitas dan komitmen dalam memperbarui sepakbola yang ternyata hanya segitu-segitu saja.
Perjalanan waktu pada akhirnya di luar dugaan. Rezim Panigoro jatuh terlalu cepat dan sosok-sosok lama kembali menguasai dan pegang kendali. Persebaya 1927 untuk kedua kalinya dianggap sebagai salah satu klub 'haram' jika melihat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 17 Maret lalu.
Untuk kali kedua pula, Persebaya berteriak lantang soal perjuangan. Perjuangan? Jujur saya masih sangsi dengan semangat perjuangan Bajul Ijo. Keraguan saya muncul karena sekarang Persebaya tidak lagi dibekingi Arifin Panigoro. Tanpa 'sponsor' besar, sangat sulit perjuangan Persebaya bakal berhasil.
Ingat betapa klub hijau ini pernah bertahun-tahun merasa hidup dalam kesengsaraan karena dianak-tirikan PSSI. Barulah setelah ada sosok Arifin Panigoro 'radikalisme' mereka menemukan jalan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perjuangan juga butuh modal, tak hanya tekad.
Persebaya sendiri telah membuktikan bahwa tanpa seorang Arifin Panigoro, mereka tidak akan pernah bisa menyingkirkan Nurdin Halid. Setelah Panigoro kehilangan ratusan miliar untuk proyek sepakbola gagal, akankah kembali membantu perjuangan Persebaya? Saya masih belum yakin.
Kalau memang berjuang untuk kembali menumbangkan kekuatan La Nyalla Mattalitti dkk, saya rasa Saleh Mukadar harus mencari orang seperti Arifin Panigoro lagi. Jika hanya bersilat lidah dan beradu argumen soal legalitas, sejarah dan tetek bengek lainnya, perjuangan hanya menerpa ruang hampa.
Ini antiklimaks bagi Persebaya. Pernah merasa sebagai klub sukses dalam perlawanan menghadapi status quo, kini malah berada dalam titik paling rendah. Jangankan bicara masa depan, untuk menghidupi tim secara layak semusim ke depan saja terpaksa harus memeras otak setelah mundurnya Gede Widiade.
Beralih ke wilayah barat. Dalam pekan ini ada kejadian yang tak kalah menarik dibanding kisah Persebaya, yakni dongeng Laskar Angling Dharma. Persibo Bojonegoro pulang dengan menekuk muka setelah disikat Sun Hei SC 8-0 di AFC Cup, sekaligus dituduh tidak sportif.
Sama dengan Persebaya, ini era yang berat bagi Persibo. Sebagai jurnalis saya tidak terburu-buru menganggap isu pengaturan skor atau match fixing di Hongkong itu benar. Saya masih sulit percaya ada praktik itu. Sekadar opini pribadi, mungkin mereka hanya tidak sportfi, tapi tidak terlibat kasus suap.
Maksudnya, kalau benar mereka berpura-pura cedera atau kelelahan, saya pikir karena untuk menghindari malu lebih besar. Tidak lebih. Saya rasa siapa pun akan malu jika babak pertama saja sudah kemasukan tujuh gol. Mungkin tujuan mencederakan diri itu hanya upaya 'menyelamatkan nama klub' agar tidak lebih malu lagi.
Layak diingat, klub ini sudah menelan kekalahan 0-7 sebelumnya di Stadion Manahan. Pasti mereka tak ingin skor itu berlipat di Hongkong. Tapi, sekali lagi, itu hanya opini saya pribadi. Kalau kemudian ada hasil lebih valid setelah investigasi, berarti itu yang benar-benar terjadi di Hongkong dan saya yang salah.*
Saya masih ingat benar bagaimana Persebaya menjadi salah satu klub yang paling gencar melakukan 'kampanye' LPI. Maklum, klub pujaan Bonek ini merasa jengah dengan PSSI rezim Nurdin Halid. Saleh adalah salah seorang yang berseberangan paham dengan Nurdin Halid.
Persebaya saat itu berada di atas angin dan bermimpi menjadi sebuah klub yang disegani, baik dari sisi prestasi maupun pengelolaan. Apalagi sebagai salah atu klub pioner berdirinya LPI, Persebaya dianggap istimewa dan menjadi klub yang dielus-elus Arifin Panigoro.
Media 2010 menjadi saat tepat bagi Persebaya untuk melakukan perlawanan. Kebetulan, ada sponsor kakap yang mengakomodir cita-cita Persebaya, yakni Arifin Panigoro. Singkat cerita, Saleh Mukadar dan Arifin Panigoro akhirnya benar-benar sukses menjungkalkan Nurdin Halid dari kursinya.
Selanjutnya muncul LPI yang kemudian menjelma menjadi Indonesian Premier League (IPL). Saleh Mukadar sebagai salah satu aktifis perubahan rezim juga mendapatkan jatah posisi di tubuh PSSI. Harus diakui upaya mereka mengubah wajah organisasi sepakbola Indonesia sukses besar.
Nurdin Halid dan kroni-kroninya dibersihkan dari sepak bola nasional. Tapi sayang, pondasi yang kurang kuat membuat kerajaan baru ini sangat rapuh. Pondasi yang saya maksud adalah kualitas dan komitmen dalam memperbarui sepakbola yang ternyata hanya segitu-segitu saja.
Perjalanan waktu pada akhirnya di luar dugaan. Rezim Panigoro jatuh terlalu cepat dan sosok-sosok lama kembali menguasai dan pegang kendali. Persebaya 1927 untuk kedua kalinya dianggap sebagai salah satu klub 'haram' jika melihat hasil Kongres Luar Biasa (KLB) 17 Maret lalu.
Untuk kali kedua pula, Persebaya berteriak lantang soal perjuangan. Perjuangan? Jujur saya masih sangsi dengan semangat perjuangan Bajul Ijo. Keraguan saya muncul karena sekarang Persebaya tidak lagi dibekingi Arifin Panigoro. Tanpa 'sponsor' besar, sangat sulit perjuangan Persebaya bakal berhasil.
Ingat betapa klub hijau ini pernah bertahun-tahun merasa hidup dalam kesengsaraan karena dianak-tirikan PSSI. Barulah setelah ada sosok Arifin Panigoro 'radikalisme' mereka menemukan jalan. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perjuangan juga butuh modal, tak hanya tekad.
Persebaya sendiri telah membuktikan bahwa tanpa seorang Arifin Panigoro, mereka tidak akan pernah bisa menyingkirkan Nurdin Halid. Setelah Panigoro kehilangan ratusan miliar untuk proyek sepakbola gagal, akankah kembali membantu perjuangan Persebaya? Saya masih belum yakin.
Kalau memang berjuang untuk kembali menumbangkan kekuatan La Nyalla Mattalitti dkk, saya rasa Saleh Mukadar harus mencari orang seperti Arifin Panigoro lagi. Jika hanya bersilat lidah dan beradu argumen soal legalitas, sejarah dan tetek bengek lainnya, perjuangan hanya menerpa ruang hampa.
Ini antiklimaks bagi Persebaya. Pernah merasa sebagai klub sukses dalam perlawanan menghadapi status quo, kini malah berada dalam titik paling rendah. Jangankan bicara masa depan, untuk menghidupi tim secara layak semusim ke depan saja terpaksa harus memeras otak setelah mundurnya Gede Widiade.
Beralih ke wilayah barat. Dalam pekan ini ada kejadian yang tak kalah menarik dibanding kisah Persebaya, yakni dongeng Laskar Angling Dharma. Persibo Bojonegoro pulang dengan menekuk muka setelah disikat Sun Hei SC 8-0 di AFC Cup, sekaligus dituduh tidak sportif.
Sama dengan Persebaya, ini era yang berat bagi Persibo. Sebagai jurnalis saya tidak terburu-buru menganggap isu pengaturan skor atau match fixing di Hongkong itu benar. Saya masih sulit percaya ada praktik itu. Sekadar opini pribadi, mungkin mereka hanya tidak sportfi, tapi tidak terlibat kasus suap.
Maksudnya, kalau benar mereka berpura-pura cedera atau kelelahan, saya pikir karena untuk menghindari malu lebih besar. Tidak lebih. Saya rasa siapa pun akan malu jika babak pertama saja sudah kemasukan tujuh gol. Mungkin tujuan mencederakan diri itu hanya upaya 'menyelamatkan nama klub' agar tidak lebih malu lagi.
Layak diingat, klub ini sudah menelan kekalahan 0-7 sebelumnya di Stadion Manahan. Pasti mereka tak ingin skor itu berlipat di Hongkong. Tapi, sekali lagi, itu hanya opini saya pribadi. Kalau kemudian ada hasil lebih valid setelah investigasi, berarti itu yang benar-benar terjadi di Hongkong dan saya yang salah.*
(wbs)