Respons amatir klub IPL
A
A
A
Sindonews.com - Kompetisi Indonesian Premier League (IPL) belum juga sampai pada pertengahan musim. Entah faktor apa, waktu seakan terhenti di kompetisi yang musim depan bakal tamat ini. Bergulir sejak Maret lalu, klub kontestan baru memainkan beberapa pertandingan saja.
Mungkin karena banyak pertandingan yang tidak jadi digelar atau ditunda, sehingga kompetisi berjalan sangat lambat. Molor atau tidaknya gelaran kompetisi IPL sebenarnya bukan sebuah persoalan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kondisi klub-klub di IPL sendiri.
Sudah sering diulas bagaimana kondisi klub IPL yang morat-marit karena krisis finansial tak terselesaikan. Persibo Bojonegoro misalnya, sangat keterlaluan sebuah klub tidak bisa menggelar pertandingan di rumah sendiri. Bahkan 'duit receh' untuk menghelat pertandingan saja tidak dipunya.
Banyak yang heran Persibo sedemikian melarat sampai tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Bagi masyarakat awam, tim oranye harusnya mampu mendapatkan dana besar karena ada perusahaan raksasa seperti Exxon Mobil. Sebagai bandingan adalah Persik Kediri yang dibantu Gudang Garam atau Persegres Gresik yang akrab dengan Petrokimia.
Entahlah. Yang terjadi, ibarat luka kondisi di tim Persibo sudah infeksi dan bahkan nyaris tetanus. Jika tidak bisa ditangani secara tepat dan efektif, maka tetanus itu yang akan membunuh Persibo. Siapa yang disalahkan? Menurut saya bukan saatnya mempersalahkan siapa. Namun bagaimana komitmen untuk membenahi tim.
Kalau hanya mempersalahkan pihak ini-itu, tidak akan pernah ada habisnya. Lihat saja bagaimana Manajer Persibo Nur Yahya dan Media Officer Imam Nur Cahyo mengundurkan diri. Keduanya menyerah bukan karena pesimistis dengan masa depan Laskar Angling Dharma.
Tapi karena posisi mereka tidak dihargai. Dua orang inilah yang menjalankan kepengurusan Persibo selama ini, tidak ada yang lain. Bekerja dalam situasi sulit, gaji tak mesti diterima, masih dipersalahkan dan dicaci Boromania. Saya pribadi menilai mundur adalah pilihan terbaik yang ditempuh keduanya.
Paling tidak sekarang bisa dilihat siapa yang sudi bekerja di dalam sebuah manajemen yang kondisinya karut marut. Apakah Boromania ada yang rela mengganti tugas mereka? Saya tidak yakin. Dengan situasi demikian, saya yakin Persibo layak kembali ke tim amatir.
Ironisnya, itu terjadi di hampir semua klub IPL Jawa Timur, termasuk Persema Malang, Arema IPL dan Persebaya Surabaya. Saya menilai respons klub-klub IPL sangat buruk terhadap keputusan Kongres Luar Biasa (KLB) Solo yang memutuskan mereka tak berhak tampil di kompetisi unifikasi 2014.
Ketika KLB memutuskan Persema, Arema IPL, Persebaya dan Persibo tidak berhak tampil di kompetisi unifikasi, harusnya mendapat respon positif. Maksud saya, idealnya klub-klub bekerja lebih keras untuk menaikkan daya tawar mereka dengan tujuan minimal membuka mata publik bahwa mereka pantas bertanding di kompetisi unifikasi.
Tapi yang terjadi di luar dugaan. Klub-klub IPL malah mempertontonkan dirinya bermental tempe. Saya melihat mereka masih ada keinginan untuk diikutkan di kompetisi profesional pada 2014 nanti. Nyatanya tidak ada upaya rasional dalam mendukung keinginan itu.
Persibo dan Persema adalah dua tim yang dipecat PSSI karena mengikuti Liga Primer Indonesia pada 2010 silam. Harusnya Persema dan Persibo membuktikan bahwa keputusan KLB membuang mereka adalah salah besar. Pembuktian paling cerdas tentunya dengan pengelolaan klub yang lebih bagus.
Sekarang yang terlihat justru mereka pantas dimainkan di kompetisi amatir. Arema IPL setali tiga uang. Ingin tetap bertanding di kompetisi profesional dengan berbekal legalitas klub, justru tidak mampu memberi makan pemainnya. Lantas, apa yang bakal mereka banggakan dan perjuangkan?
Klub-klub seperti ini hanya akan membuat malu dan menambah masalah jika diikutkan kompetisi profesional. Ketika sepakbola sudah berbau industri dan aspek finansial menjadi salah satu syarat seleksi alam, klub tanpa uang sudah bukan zamannya merengek meminta tempat yang nyaman.
'Tidak ada yang gratis di zaman modern'. Ungkapan itu tampaknya kurang dipahami klub-klub IPL. Terbiasa mendapatkan dana gratis dari pemerintah (APBD), kemudian dari konsorsium, lalu bingung ketika tidak ada yang menyusui. Manja, malas dan tidak mandiri. Bahkan anak kerbau pun bisa selamat setelah tak disusui induknya.*
Mungkin karena banyak pertandingan yang tidak jadi digelar atau ditunda, sehingga kompetisi berjalan sangat lambat. Molor atau tidaknya gelaran kompetisi IPL sebenarnya bukan sebuah persoalan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kondisi klub-klub di IPL sendiri.
Sudah sering diulas bagaimana kondisi klub IPL yang morat-marit karena krisis finansial tak terselesaikan. Persibo Bojonegoro misalnya, sangat keterlaluan sebuah klub tidak bisa menggelar pertandingan di rumah sendiri. Bahkan 'duit receh' untuk menghelat pertandingan saja tidak dipunya.
Banyak yang heran Persibo sedemikian melarat sampai tidak bisa menghidupi dirinya sendiri. Bagi masyarakat awam, tim oranye harusnya mampu mendapatkan dana besar karena ada perusahaan raksasa seperti Exxon Mobil. Sebagai bandingan adalah Persik Kediri yang dibantu Gudang Garam atau Persegres Gresik yang akrab dengan Petrokimia.
Entahlah. Yang terjadi, ibarat luka kondisi di tim Persibo sudah infeksi dan bahkan nyaris tetanus. Jika tidak bisa ditangani secara tepat dan efektif, maka tetanus itu yang akan membunuh Persibo. Siapa yang disalahkan? Menurut saya bukan saatnya mempersalahkan siapa. Namun bagaimana komitmen untuk membenahi tim.
Kalau hanya mempersalahkan pihak ini-itu, tidak akan pernah ada habisnya. Lihat saja bagaimana Manajer Persibo Nur Yahya dan Media Officer Imam Nur Cahyo mengundurkan diri. Keduanya menyerah bukan karena pesimistis dengan masa depan Laskar Angling Dharma.
Tapi karena posisi mereka tidak dihargai. Dua orang inilah yang menjalankan kepengurusan Persibo selama ini, tidak ada yang lain. Bekerja dalam situasi sulit, gaji tak mesti diterima, masih dipersalahkan dan dicaci Boromania. Saya pribadi menilai mundur adalah pilihan terbaik yang ditempuh keduanya.
Paling tidak sekarang bisa dilihat siapa yang sudi bekerja di dalam sebuah manajemen yang kondisinya karut marut. Apakah Boromania ada yang rela mengganti tugas mereka? Saya tidak yakin. Dengan situasi demikian, saya yakin Persibo layak kembali ke tim amatir.
Ironisnya, itu terjadi di hampir semua klub IPL Jawa Timur, termasuk Persema Malang, Arema IPL dan Persebaya Surabaya. Saya menilai respons klub-klub IPL sangat buruk terhadap keputusan Kongres Luar Biasa (KLB) Solo yang memutuskan mereka tak berhak tampil di kompetisi unifikasi 2014.
Ketika KLB memutuskan Persema, Arema IPL, Persebaya dan Persibo tidak berhak tampil di kompetisi unifikasi, harusnya mendapat respon positif. Maksud saya, idealnya klub-klub bekerja lebih keras untuk menaikkan daya tawar mereka dengan tujuan minimal membuka mata publik bahwa mereka pantas bertanding di kompetisi unifikasi.
Tapi yang terjadi di luar dugaan. Klub-klub IPL malah mempertontonkan dirinya bermental tempe. Saya melihat mereka masih ada keinginan untuk diikutkan di kompetisi profesional pada 2014 nanti. Nyatanya tidak ada upaya rasional dalam mendukung keinginan itu.
Persibo dan Persema adalah dua tim yang dipecat PSSI karena mengikuti Liga Primer Indonesia pada 2010 silam. Harusnya Persema dan Persibo membuktikan bahwa keputusan KLB membuang mereka adalah salah besar. Pembuktian paling cerdas tentunya dengan pengelolaan klub yang lebih bagus.
Sekarang yang terlihat justru mereka pantas dimainkan di kompetisi amatir. Arema IPL setali tiga uang. Ingin tetap bertanding di kompetisi profesional dengan berbekal legalitas klub, justru tidak mampu memberi makan pemainnya. Lantas, apa yang bakal mereka banggakan dan perjuangkan?
Klub-klub seperti ini hanya akan membuat malu dan menambah masalah jika diikutkan kompetisi profesional. Ketika sepakbola sudah berbau industri dan aspek finansial menjadi salah satu syarat seleksi alam, klub tanpa uang sudah bukan zamannya merengek meminta tempat yang nyaman.
'Tidak ada yang gratis di zaman modern'. Ungkapan itu tampaknya kurang dipahami klub-klub IPL. Terbiasa mendapatkan dana gratis dari pemerintah (APBD), kemudian dari konsorsium, lalu bingung ketika tidak ada yang menyusui. Manja, malas dan tidak mandiri. Bahkan anak kerbau pun bisa selamat setelah tak disusui induknya.*
(aww)