Pertaruhan profesionalisme di kompetisi IPL
A
A
A
Sindonews.com - Polemik seputar Indonesian Premier League (IPL) kembali mencuat jelang bergulirnya putaran dua. Mundurnya Bontang FC, yang kabarnya disusul Persiba Bantul, melengkapi muramnya kompetisi yang digelar untuk terakhir kalinya tersebut. Belum lagi desakan agar putaran dua tak digelar.
Kompetisi IPL memang sudah kehilangan semangat sejak awal musim lalu. Pengelolaan bahkan semakin buruk setelah disetujuinya kompetisi unifikasi yang berarti IPL tinggal kenangan musim depan. PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) mendapat rapor merah dari sejumlah klub.
Banyaknya pertandingan walk over (WO), krisis finansial, kualitas wasit, serta pengaturan jadwal, menjadi bahan tertawaan. Terlihat IPL digelar seadanya atau asal jalan ketika Kongres Luar Biasa PSSI lebih 'memenangkan' Indonesia Super League (ISL) yang bertahan musim depan.
PT LPIS dianggap tak serius lagi menangani kompetisi, plus bangkrutnya sejumlah klub kontestan. Tudingan buruknya kinerja operator liga juga menjadi alasan Bontang FC untuk mundur teratur dari kompetisi yang telah mereka ikuti dalam dua musim terakhir. Sudah tepatkah langkah tersebut?
Sebagai salah satu orang yang memimpikan sepakbola Indonesia jauh lebih baik, saya sangat tidak setuju dengan pengunduran diri klub dari kompetisi. Saya juga sangat tidak paham dengan desakan membubarkan kompetisi di tengah jalan dengan alasan pengelolaan sangat buruk.
Seiring semangat dan pergerakan mewujudkan sepakbola Indonesia yang lebih maju, mundurnya klub serta pemberhentian kompetisi adalah sikap yang sangat buruk. Itu jelas-jelas mengajarkan kepada publik sepakbola Indonesia tentang sebuah sikap yang sangat tidak profesional.
Pengelolaan IPL memang sudah buruk, itu diakui banyak pihak. Kondisi klub juga sudah sangat parah jika dilihat dari kualitas hidup. Tapi kalau hanya saling menyalahkan, semua bisa menuding pihak lain salah. Klub bisa menyebut operator liga salah, begitu pula sebaliknya.
Sepakbola tidak senista itu. Ini olahraga modern yang jauh lebih besar dibanding urusan saling menyalahkan. Ada aturan profesionalisme, walau mungkin tidak tertulis, yang harus dijunjung tinggi dalam kultur sepakbola modern. Mundur dari kompetisi adalah sebuah dosa karena pengingkaran aturan itu sendiri.
Bahkan dalam aturan tertulis pun tetap tidak dibenarkan sebuah klub mundur seenak udelnya. PSSI sebagai pengendali sepakbola di seantero Nusantara sudah selayaknya memberi perhatian serius pada aspek ini. Klub yang membangkang dalam sebuah liga, bagaimana pun bentuk liga tersebut, harus mendapatkan sanksi berat.
Sekaligus, menurut saya, PSSI harus tetap meminta IPL tetap berjalan hingga selesai walau desakan buyar terus mengalir. Profesionalisme masih rendah di sepakbola Indonesia dan sangat sayang kalau semakin dibuat rendah oleh sikap tidak bisa memegang komitmen untuk bersikap profesional.
Saya mengibaratkan sebuah klub yang tidak lagi lolos dalam sebuah turnamen tapi tetap berjuang keras, bermain sebaik mungkin, serta berupaya memetik kemenangan. Begitulah semangat profesionalisme sepakbola modern. Tidak patah semangat oleh keadaan seburuk apa pun.
Kembali ke Bontang FC. Apakah mereka bisa menjamin dirinya bakal menjadi tim berkualitas jika bermain di kompetisi yang mereka anggap lebih bagus dari IPL? Apakah setelah IPL dibubarkan maka klub-klub kontestan akan langsung mentas dari krisis finansial?
Menarik menunggu sikap PSSI dalam menyikapi mundurnya klub-klub dari kompetisi IPL. Jika hanya dibiarkan dan tidak diberi sanksi berat, maka sepakbola Indonesia masih jalan di tempat. Impian membentuk sebuah kultur sepakbola modern akan semakin jauh panggang dari api.
PT LPIS sebagai operator IPL sebaiknya juga mengoreksi diri. Mereka sudah sangat kacau musim ini. Bagaimana pun, kompetisi edisi terakhir menjadi kesempatan bagi orang-orang di sana untuk melakukan yang terbaik bagi sepakbola serta harga diri mereka. Tidak hanya duduk dan membiarkan kompetisi IPL menggelinding dengan zig-zag.
Banyaknya pertandingan walk over (WO) di putaran pertama menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Klub peserta sudah pontang-panting menghidupi diri dengan berbagai jalan di tengah beratnya krisis finansial dan harusnya PT LPIS malu jika tidak bisa mengelola liga dengan becus.
Sekali lagi, mundurnya klub dan desakan buyarnya IPL menjadi tantangan tersendiri bagi sepakbola Indonesia. Jika situasi itu dibiarkan tanpa ada sebuah langkah tegas untuk meluruskan, maka akan menjadi sinyal buruk. Sedangkan profesionalisme adalah elemen paling vital untuk perbaikan sepakbola Indonesia.*
Kompetisi IPL memang sudah kehilangan semangat sejak awal musim lalu. Pengelolaan bahkan semakin buruk setelah disetujuinya kompetisi unifikasi yang berarti IPL tinggal kenangan musim depan. PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) mendapat rapor merah dari sejumlah klub.
Banyaknya pertandingan walk over (WO), krisis finansial, kualitas wasit, serta pengaturan jadwal, menjadi bahan tertawaan. Terlihat IPL digelar seadanya atau asal jalan ketika Kongres Luar Biasa PSSI lebih 'memenangkan' Indonesia Super League (ISL) yang bertahan musim depan.
PT LPIS dianggap tak serius lagi menangani kompetisi, plus bangkrutnya sejumlah klub kontestan. Tudingan buruknya kinerja operator liga juga menjadi alasan Bontang FC untuk mundur teratur dari kompetisi yang telah mereka ikuti dalam dua musim terakhir. Sudah tepatkah langkah tersebut?
Sebagai salah satu orang yang memimpikan sepakbola Indonesia jauh lebih baik, saya sangat tidak setuju dengan pengunduran diri klub dari kompetisi. Saya juga sangat tidak paham dengan desakan membubarkan kompetisi di tengah jalan dengan alasan pengelolaan sangat buruk.
Seiring semangat dan pergerakan mewujudkan sepakbola Indonesia yang lebih maju, mundurnya klub serta pemberhentian kompetisi adalah sikap yang sangat buruk. Itu jelas-jelas mengajarkan kepada publik sepakbola Indonesia tentang sebuah sikap yang sangat tidak profesional.
Pengelolaan IPL memang sudah buruk, itu diakui banyak pihak. Kondisi klub juga sudah sangat parah jika dilihat dari kualitas hidup. Tapi kalau hanya saling menyalahkan, semua bisa menuding pihak lain salah. Klub bisa menyebut operator liga salah, begitu pula sebaliknya.
Sepakbola tidak senista itu. Ini olahraga modern yang jauh lebih besar dibanding urusan saling menyalahkan. Ada aturan profesionalisme, walau mungkin tidak tertulis, yang harus dijunjung tinggi dalam kultur sepakbola modern. Mundur dari kompetisi adalah sebuah dosa karena pengingkaran aturan itu sendiri.
Bahkan dalam aturan tertulis pun tetap tidak dibenarkan sebuah klub mundur seenak udelnya. PSSI sebagai pengendali sepakbola di seantero Nusantara sudah selayaknya memberi perhatian serius pada aspek ini. Klub yang membangkang dalam sebuah liga, bagaimana pun bentuk liga tersebut, harus mendapatkan sanksi berat.
Sekaligus, menurut saya, PSSI harus tetap meminta IPL tetap berjalan hingga selesai walau desakan buyar terus mengalir. Profesionalisme masih rendah di sepakbola Indonesia dan sangat sayang kalau semakin dibuat rendah oleh sikap tidak bisa memegang komitmen untuk bersikap profesional.
Saya mengibaratkan sebuah klub yang tidak lagi lolos dalam sebuah turnamen tapi tetap berjuang keras, bermain sebaik mungkin, serta berupaya memetik kemenangan. Begitulah semangat profesionalisme sepakbola modern. Tidak patah semangat oleh keadaan seburuk apa pun.
Kembali ke Bontang FC. Apakah mereka bisa menjamin dirinya bakal menjadi tim berkualitas jika bermain di kompetisi yang mereka anggap lebih bagus dari IPL? Apakah setelah IPL dibubarkan maka klub-klub kontestan akan langsung mentas dari krisis finansial?
Menarik menunggu sikap PSSI dalam menyikapi mundurnya klub-klub dari kompetisi IPL. Jika hanya dibiarkan dan tidak diberi sanksi berat, maka sepakbola Indonesia masih jalan di tempat. Impian membentuk sebuah kultur sepakbola modern akan semakin jauh panggang dari api.
PT LPIS sebagai operator IPL sebaiknya juga mengoreksi diri. Mereka sudah sangat kacau musim ini. Bagaimana pun, kompetisi edisi terakhir menjadi kesempatan bagi orang-orang di sana untuk melakukan yang terbaik bagi sepakbola serta harga diri mereka. Tidak hanya duduk dan membiarkan kompetisi IPL menggelinding dengan zig-zag.
Banyaknya pertandingan walk over (WO) di putaran pertama menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Klub peserta sudah pontang-panting menghidupi diri dengan berbagai jalan di tengah beratnya krisis finansial dan harusnya PT LPIS malu jika tidak bisa mengelola liga dengan becus.
Sekali lagi, mundurnya klub dan desakan buyarnya IPL menjadi tantangan tersendiri bagi sepakbola Indonesia. Jika situasi itu dibiarkan tanpa ada sebuah langkah tegas untuk meluruskan, maka akan menjadi sinyal buruk. Sedangkan profesionalisme adalah elemen paling vital untuk perbaikan sepakbola Indonesia.*
(wbs)