Masakan Ipah Puaskan Kerinduan Menu Indonesia
A
A
A
SAO PAULO - Nasi, ayam balado, cap cay, mie goreng, bumbu kacang, dan kerupuk tersaji di meja ruang tamu kediaman Saleh Sumantri, Warga Negara Indonesia di Brazil. Saya tidak perlu menunggu disuruh dua kali untuk menyantapnya sekaligus memuaskan kerinduan lidah terhadap masakan Tanah Air tersebut.
Terletak di belakang Masjid Mogi das Cruzes, Saleh menjamu saya yang sedang berkunjung ke kota kediamannya. Panganan dimasak sendiri oleh istrinya, Ipah. Keduanya sudah tinggal di Brazil sejak 1996. Saya sungguh berterima kasih atas keramahan keluarga yang telah dikaruniai masing-masing putra dan putri ini. Apalagi Ipah membungkuskan mie goreng yang tersisa banyak supaya dibawa pulang ke Sao Paulo.
"Terakhir kali saya ke Indonesia pada tahun 2000. Saya dibawa sesama orang Indonesia ke sini untuk bekerja melalui kontrak empat tahun. Setelah itu saya keluar dan bekerja di tempat lain," kata Saleh.
Sosok yang dimaksud Saleh adalah Kim-To, yang membuka toko perlengkapan rumah tidak jauh dari kediamannya. Kim-To jauh lebih lama menetap di Negeri Samba ketimbang Saleh. Dia telah berada di sana selama 46 tahun.
Saleh mengajak saya sebentar menyambangi toko Kim-To. Pada percakapan ringan terungkap Kim-To berwirausaha di berbagai bidang. Dia juga mengekspor rumput laut ke Brazil, sehingga cukup sering pulang kampung.
Seiring tenggelamnya matahari, Saleh menyempatkan mampir di toko milik warga Indonesia lainnya. Seperti Kim-To, Nyoman turut mengais nafkah lewat usaha jual beli material bangunan. Dia tinggal di Brazil sejak 2000.
Nyoman paham luar dalam sepak bola. Dia mempromosikan salah satu klub terbesar di Sao Paulo, Corinthians, dan menyebutnya sebagai yang terbaik di dunia. Sayang, kami tidak bisa berlama-lama berbincang karena perjalanan kembali ke tempat menginap masih jauh. Sedangkan hari sudah gelap. "Kalau begitu kami harus ke sini lagi nanti. Nanti saya berikan seragam Corinthians," janjinya.
Saleh, Kim-To, Nyoman serta keluarga masing-masing merupakan bagian komunitas Indonesia terbesar di Brasil. Disinyalir ada sekitar 200 orang asal Nusantara yang tinggal di kota yang terletak 70 kilometer timur Sao Paulo tersebut.
Terletak di belakang Masjid Mogi das Cruzes, Saleh menjamu saya yang sedang berkunjung ke kota kediamannya. Panganan dimasak sendiri oleh istrinya, Ipah. Keduanya sudah tinggal di Brazil sejak 1996. Saya sungguh berterima kasih atas keramahan keluarga yang telah dikaruniai masing-masing putra dan putri ini. Apalagi Ipah membungkuskan mie goreng yang tersisa banyak supaya dibawa pulang ke Sao Paulo.
"Terakhir kali saya ke Indonesia pada tahun 2000. Saya dibawa sesama orang Indonesia ke sini untuk bekerja melalui kontrak empat tahun. Setelah itu saya keluar dan bekerja di tempat lain," kata Saleh.
Sosok yang dimaksud Saleh adalah Kim-To, yang membuka toko perlengkapan rumah tidak jauh dari kediamannya. Kim-To jauh lebih lama menetap di Negeri Samba ketimbang Saleh. Dia telah berada di sana selama 46 tahun.
Saleh mengajak saya sebentar menyambangi toko Kim-To. Pada percakapan ringan terungkap Kim-To berwirausaha di berbagai bidang. Dia juga mengekspor rumput laut ke Brazil, sehingga cukup sering pulang kampung.
Seiring tenggelamnya matahari, Saleh menyempatkan mampir di toko milik warga Indonesia lainnya. Seperti Kim-To, Nyoman turut mengais nafkah lewat usaha jual beli material bangunan. Dia tinggal di Brazil sejak 2000.
Nyoman paham luar dalam sepak bola. Dia mempromosikan salah satu klub terbesar di Sao Paulo, Corinthians, dan menyebutnya sebagai yang terbaik di dunia. Sayang, kami tidak bisa berlama-lama berbincang karena perjalanan kembali ke tempat menginap masih jauh. Sedangkan hari sudah gelap. "Kalau begitu kami harus ke sini lagi nanti. Nanti saya berikan seragam Corinthians," janjinya.
Saleh, Kim-To, Nyoman serta keluarga masing-masing merupakan bagian komunitas Indonesia terbesar di Brasil. Disinyalir ada sekitar 200 orang asal Nusantara yang tinggal di kota yang terletak 70 kilometer timur Sao Paulo tersebut.
(aww)