Pemain Muda Turut Menjadi Korban

Rabu, 05 November 2014 - 11:48 WIB
Pemain Muda Turut Menjadi Korban
Pemain Muda Turut Menjadi Korban
A A A
Imad El Kabbou lahir pada 2 April 2000 di Lakrakcha, sekitar 100 kilometer dari Marrakech, Maroko.

Ketika berusia dua tahun keluarganya mencari kehidupan yang lebih baik dan pindah ke Calafell, Tarragona, Spanyol. El Kabbou kecil kemudian mulai menendang si kulit bundar di sekolah. Jalan menuju panggung sepak bola dunia terbuka ketika La Masia mengajaknya bergabung pada 2011. El Kabbou direkrut bersama talenta asal Calafell lainnya, Marc Dominguez. Terkesan tidak ada yang janggal pada perjalanan El Kabbou. Kisahnya sama seperti cerita-cerita mereka yang bermigrasi.

Namun, Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) tidak menganggapnya demikian. RFEF mencantumkan nama El Kabbou ke dalam investigasi transfer ilegal yang menyeret Barcelona pada setahun belakangan. Akibatnya, El Kabbou tidak diizinkan memperkuat Barcelona Cadete B (14-15 tahun) di ajang resmi. Tidak cuma El Kabbou, RFEF turut menjegal Fati (Juvenil B; 16–18 tahun), Braima (Juvenil B), Anssumane (Infantil A; 13-14 tahun), Ayoub (Juvenil A), Erick (Cadete A), Maoudo (Cadete A), Labinot Kabashi (Cadete B), Ilaix (Infantil B), dan Haitam Abaida (Infantil B).

Seluruh anak-anak ini lahir di luar Spanyol dan bernasib sama seperti remaja-remaja yang sudah dilarang karena alasan sama. RFEF mengambil langkah ini sebagai perkembangan kasus Barcelona. Mereka diperingatkan FIFA agar semakin proaktif mengawasi sistem perekrutan anak-anak klub Spanyol. Jika gagal, RFEF akan dijatuhi sanksi lebih berat. Mereka sebelumnya telah dijatuhi denda sekitar 400.000 euro akibat pelanggaran El Azulgrana.

Peraturan FIFA menekankan klub hanya boleh melakukan transfer internasional asalkan memenuhi tiga persyaratan: orang tua pemain hijrah ke negara lain berdasar pertimbangan mereka sendiri, perpindahan itu berlangsung dalam Uni Eropa dengan pemain berusia 16–18 tahun, atau rumah pemain kurang dari 50 kilometer dari perbatasan dua negara yang bersangkutan. Asosiasi sepak bola dunia tersebut menetapkan hukum ini demi mencegah perdagangan anak. Masalahnya, Barcelona satu-satunya klub yang menerapkan praktik tersebut.

Klub-klub Eropa menyebar pemandu bakat ke seluruh penjuru muka bumi untuk menemukan bintang-bintang baru. Mereka ingin menguasai talenta sejak usia dini karena khawatir harus mengeluarkan biaya tinggi kalau menunggu beberapa tahun. Maklum, inflasi harga transfer terus meroket tinggi. Di luar Barcelona, Sport Executive mencatat Atletico Madrid memiliki 24 pemain ilegal, Inter Milan sebanyak 18, Real Madrid setidaknya 13, dan AS Roma 6.

Maksud FIFA mungkin baik. Namun, kebijakan mereka membuat pemain muda turut menjadi korban. Inilah argumen Barcelona. Mereka merasa tidak semua kasus bisa diperlakukan sama. El Kabbou salah satunya. Dia tidak mungkin menolak ikut orang tuanya hijrah ke Spanyol. Kabashi juga demikian. Dia lahir 28 Februari 2000 di Skenderaj, utara Kosovo yang dikuasai mayoritas etnik Albania.

Kabashi baru berusia beberapa bulan ketika perang pecah. Pembersihan etnis berlangsung. Masyarakat sipil tidak punya pilihan selain pergi, termasuk keluarga Kabashi. Mereka akhirnya mendarat di Katalan. Entah bagaimana nasib para pemain muda itu jika bertahan di negara asal, sedangkan mereka mendapat dukungan untuk mengembangkan kemampuan di La Masia.

”Barcelona memperhatikan anak-anak. Niat FIFA baik. Namun, bagi kami, melindungi anak-anak dengan memberinya akses ke kehidupan yang lebih baik,” tandas Presiden Barcelona Josep Maria Bartomeu.

Harley Ikhsan
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6391 seconds (0.1#10.140)
pixels