Taktik Riskan Singo Edan di Kanjuruhan
A
A
A
MALANG - Dalam permainan game 'Football Manager', seorang pelatih diingatkan agar tidak membuat perubahan drastis di tengah pertandingan. Kecuali sebuah tim dalam kondisi kritis, maka perubahan justru bisa berpengaruh pada keseimbangan tim.
Tutorial dalam game tersebut ada benarnya jika melihat bagaimana penerapan taktik Arema Cronus saat ditahan imbang Persija Jakarta 4-4 pada laga pembuka Indonesian Super League (ISL) 2015 di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (4/4/2015). Harus diakui perubahan taktik Pelatih Arema Suharno berperan besar pada hasil pertandingan.
Perubahan skema sudah sangat lazim diterapkan Arema sejak pramusim lalu. Pelatih menyiapkan formasi 4-3-3, 4-3-1-2, dan 3-5-2 yang tujuannya bisa dipakai bergantian untuk mengelabui lawan. Tapi perubahan skema dalam satu pertandingan terbukti sangat riskan.
Wajah Singo Edan berubah pada babak kedua. Arif Suyono yang bermain apik sebagai winger-striker kanan, ditarik dan diganti Purwaka Yudhi. Suharno secara kasat mata mengubah barisan timnya dari 4-3-3 di babak pertama menjadi 3-5-2 di babak kedua.
Padahal sebenarnya tuan rumah sudah mapan di paruh pertama dengan keunggulan 3-2. Mungkin karena ingin bermain aman dan mempertebal pertahanan, Suharno kembali memasukkan pemain bertahan yakni Gede Sukadana. Apa yang terlihat?
Arema hanya menyisakan dua pemain berkarakter menyerang di lapangan, Cristian Gonzales dan Samsul Arif. Sedangkan posisi tengah ke belakang semuanya bertipikal bertahan. Alih-alih ingin mempertahankan keunggulan, Arema terlalu remeh memandang potensi Persija.
Permainan Arema menjadi kurang tertata, serangan dilakukan secara sporadis dan justru Persija yang mendapatkan ruang untuk berkreasi. Menurunnya kualitas Arema harus dibayar mahal dua gol Persija di menit akhir waktu normal oleh Bambang Pamungkas dan Greg Nwokolo.
Bambang Pamungkas menghukum cerobohnya pemain belakang Arema dalam melakukan pelanggaran di bibir kotak pinalti. Sementara Greg dengan mudahnya mengelabui kiper Kurnia Meiga dan Fabiano Beltrame. Arema gagal menjadi petarung serius di fase kedua.
Kembali ke perubahan taktik, mungkin ceritanya lain kalau Arif Suyono diganti pemain bertipikal sama yakni Ahmad Nuviandani. Pemain ini memang dimasukkan di babak kedua, tapi saat itu kualitas Arema sudah jauh menurun dan sulit berkembang.
Situasi tersebut mungkin bisa menjadi pertimbangan Arema, bahwa perubahan formasi dalam pertandingan tak selalu memperbaiki situasi. Apalagi ketika performa tim sebenarnya sudah normal dan masih memiliki potensi besar untuk memperlebar skor.
Terkadang saya melihat Singo Edan terlalu pede dalam menerapkan bermacam-macam formasi dan berniat menerapkan sekaligus di kompetisi. Arema terlalu was-was strategi mereka terbaca lawan dan itu sudah menjadi ketakukan sejak pra musim lalu.
Padahal jika memakai taktik yang sama, belum tentu juga lawan bisa mengantisipasi jika pemain tampil dengan performa terbaik. Mengubah formasi secara drastis juga belum tentu sukses jika pemain malah bingung sendiri dan tak optimal menerapkannya.
Arema juga menuntut pemain untuk serba bisa di lapangan. Memang bagus jika pemain bisa melakukan beberapa fungsi sekaligus. Namun jika terlalu sering mengalami perubahan, pemain akan sulit untuk settle dan mengeluarkan potensi di posisi terbaiknya.
Tapi, lepas dari bagaimana permainan Singo Edan, publik harus respek pada seorang Bambang Pamungkas. Dia tidak banyak bergaya macam-macam di lapangan untuk mencetak hat-trick. Seorang pemain membobol gawang Arema tiga kali di kandangnya adalah peristiwa langka.
Itu mengingatkan saya pada Maret 2003 atau lebih dari satu dekade lalu, saat Bambang mencetak hat-trick ke gawang Arema di Stadion Gajayana. Sudah 12 tahun berlalu dan ternyata dia melakukannya lagi. Istimewanya, kali ini dua gol diciptakan dari tendangan bebas dan ini juga langka.
Sebab sulit bagi seorang pemain mengulang gol yang nyaris sama prosesnya melalui tendangan bebas. Membutuhkan teknik, perkiraan dan fokus yang luar biasa, apalagi bermain di kandang lawan. Hebatnya, Bambang tahu bagaimana cara lain mencetak gol ketika pemain seusia dia sudah susah beradu sprint.
Secara umum, laga Arema versus Persija sangat menghibur dan seru. Tidak setiap pekan pertandingan seperti ini tersaji di ISL yang sekarang berubah nama menjadi QNB League. Beruntunglah mereka yang sempat menikmati pertarungan dua tim yang sama-sama garang.
Tutorial dalam game tersebut ada benarnya jika melihat bagaimana penerapan taktik Arema Cronus saat ditahan imbang Persija Jakarta 4-4 pada laga pembuka Indonesian Super League (ISL) 2015 di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (4/4/2015). Harus diakui perubahan taktik Pelatih Arema Suharno berperan besar pada hasil pertandingan.
Perubahan skema sudah sangat lazim diterapkan Arema sejak pramusim lalu. Pelatih menyiapkan formasi 4-3-3, 4-3-1-2, dan 3-5-2 yang tujuannya bisa dipakai bergantian untuk mengelabui lawan. Tapi perubahan skema dalam satu pertandingan terbukti sangat riskan.
Wajah Singo Edan berubah pada babak kedua. Arif Suyono yang bermain apik sebagai winger-striker kanan, ditarik dan diganti Purwaka Yudhi. Suharno secara kasat mata mengubah barisan timnya dari 4-3-3 di babak pertama menjadi 3-5-2 di babak kedua.
Padahal sebenarnya tuan rumah sudah mapan di paruh pertama dengan keunggulan 3-2. Mungkin karena ingin bermain aman dan mempertebal pertahanan, Suharno kembali memasukkan pemain bertahan yakni Gede Sukadana. Apa yang terlihat?
Arema hanya menyisakan dua pemain berkarakter menyerang di lapangan, Cristian Gonzales dan Samsul Arif. Sedangkan posisi tengah ke belakang semuanya bertipikal bertahan. Alih-alih ingin mempertahankan keunggulan, Arema terlalu remeh memandang potensi Persija.
Permainan Arema menjadi kurang tertata, serangan dilakukan secara sporadis dan justru Persija yang mendapatkan ruang untuk berkreasi. Menurunnya kualitas Arema harus dibayar mahal dua gol Persija di menit akhir waktu normal oleh Bambang Pamungkas dan Greg Nwokolo.
Bambang Pamungkas menghukum cerobohnya pemain belakang Arema dalam melakukan pelanggaran di bibir kotak pinalti. Sementara Greg dengan mudahnya mengelabui kiper Kurnia Meiga dan Fabiano Beltrame. Arema gagal menjadi petarung serius di fase kedua.
Kembali ke perubahan taktik, mungkin ceritanya lain kalau Arif Suyono diganti pemain bertipikal sama yakni Ahmad Nuviandani. Pemain ini memang dimasukkan di babak kedua, tapi saat itu kualitas Arema sudah jauh menurun dan sulit berkembang.
Situasi tersebut mungkin bisa menjadi pertimbangan Arema, bahwa perubahan formasi dalam pertandingan tak selalu memperbaiki situasi. Apalagi ketika performa tim sebenarnya sudah normal dan masih memiliki potensi besar untuk memperlebar skor.
Terkadang saya melihat Singo Edan terlalu pede dalam menerapkan bermacam-macam formasi dan berniat menerapkan sekaligus di kompetisi. Arema terlalu was-was strategi mereka terbaca lawan dan itu sudah menjadi ketakukan sejak pra musim lalu.
Padahal jika memakai taktik yang sama, belum tentu juga lawan bisa mengantisipasi jika pemain tampil dengan performa terbaik. Mengubah formasi secara drastis juga belum tentu sukses jika pemain malah bingung sendiri dan tak optimal menerapkannya.
Arema juga menuntut pemain untuk serba bisa di lapangan. Memang bagus jika pemain bisa melakukan beberapa fungsi sekaligus. Namun jika terlalu sering mengalami perubahan, pemain akan sulit untuk settle dan mengeluarkan potensi di posisi terbaiknya.
Tapi, lepas dari bagaimana permainan Singo Edan, publik harus respek pada seorang Bambang Pamungkas. Dia tidak banyak bergaya macam-macam di lapangan untuk mencetak hat-trick. Seorang pemain membobol gawang Arema tiga kali di kandangnya adalah peristiwa langka.
Itu mengingatkan saya pada Maret 2003 atau lebih dari satu dekade lalu, saat Bambang mencetak hat-trick ke gawang Arema di Stadion Gajayana. Sudah 12 tahun berlalu dan ternyata dia melakukannya lagi. Istimewanya, kali ini dua gol diciptakan dari tendangan bebas dan ini juga langka.
Sebab sulit bagi seorang pemain mengulang gol yang nyaris sama prosesnya melalui tendangan bebas. Membutuhkan teknik, perkiraan dan fokus yang luar biasa, apalagi bermain di kandang lawan. Hebatnya, Bambang tahu bagaimana cara lain mencetak gol ketika pemain seusia dia sudah susah beradu sprint.
Secara umum, laga Arema versus Persija sangat menghibur dan seru. Tidak setiap pekan pertandingan seperti ini tersaji di ISL yang sekarang berubah nama menjadi QNB League. Beruntunglah mereka yang sempat menikmati pertarungan dua tim yang sama-sama garang.
(sha)