Jalan Berbeda PSG-Leipzig di Liga Champions

Selasa, 18 Agustus 2020 - 12:35 WIB
Foto/dok
LISBON - Kekuatan finansial yang diimbangi komposisi tim solid menjadi perpaduan kesuksesan Paris Saint Germain (PSG) dan RB Leipzig di Liga Champions , sejauh ini. Salah satu tujuan besarnya, menjadi penguasa Eropa.

PSG dan RB Leipzig adalah tim yang sedang naik daun, semakin kuat setiap tahunnya. Mereka bukanlah keajaiban satu musim yang akan kehilangan semua pemain terbaik mereka musim panas ini. Bahkan jika keadaan mendukung mereka musim ini, kedua belah pihak kemungkinan akan berada di posisi yang lebih baik selama beberapa musim mendatang.

PSG dan Leipzig adalah dua klub termuda dalam sepak bola. Les Parisiens didirikan pada tahun 1970, dan RB Leipzig baru berusia 11 tahun. Tapi, hampir semua hal lain tentang mereka justru sangat berbeda. Jelas, PSG mendominasi di pentas domestik dan memiliki basis penggemar yang sangat besar. (Baca: Dua Tim Prancis Lolos Semifinal Mbappe Balas Ejekan Liga Petani)



Jauh sebelum Qatar Sports Investment mengambil alih, mereka mampu memenangkan Piala UEFA (1995) dan mencapai semifinal Liga Champions (1995/96), Tetapi, perkembangan dari sisi prestasi semakin melesat dimana tujuh dari sembilan gelar Ligue 1 mereka datang sejak Qatar Sports Invenstment mengambil alih klub pada 2011.

Sokongan dana melimpah membuat mereka leluasa mendatangkan pemain-pemain top. Beberapa tahun lalu, PSG mendaratkan Zlatan Ibrahimovic. Kebiasaan itu berlanjut hingga saat ini mereka mendapatkan tanda tangan bintang potensial seperti Neymar Jr, Kylian Mbappe.



Untuk pemilik PSG, kesuksesan yang sebenarnya jelas didefinisikan sebagai Liga Champions , mengingat di pentas domestik, Les Parisiens sulit ditandingi. Kinerja yang kuat musim ini dapat membantu uang minyak Qatar terus mengalir.

Langkah PSG yang mengandalkan dana investor dalam membangun kekuatan, jalan berbeda dilakukan waralaba olahraga Leipzig. Mereka tidak bergantung pada nama-nama bintang; mereka mengalahkan Atletico Madrid 2-1 di Perempat Final, Jumat (14/8) setelah menjual striker andalan, Timo Werner ke Chelsea. Sebaliknya, mereka mengandalkan jaringan klub afiliasi, termasuk Red Bull Salzburg dan New York Red Bulls. (Baca juga: Setelah Kudeta TikTok, Trump Bersiap Gulingkan Alibaba)

Jaringan sepak bola Red Bull memungkinkannya mendapatkan talenta muda terbaik di dunia, mengembangkan bakat itu, lalu menjualnya untuk mendapat keuntungan. Dalam dua tahun terakhir, kerajaan sepak bola Red Bull telah menjual Naby Keita, Timo Werner, dan Erling Haaland, masing-masing dengan harga yang sangat mahal.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More