Thrilla in Manila: Duel Tinju Paling Brutal yang Nyaris Merenggut Nyawa Muhammad Ali
Senin, 03 Maret 2025 - 01:30 WIB
Duel Tinju Paling Brutal yang Nyaris Merenggut Nyawa Muhammad Ali. Foto: IST
TEPAT LIMA PULUH tahun lalu, pada 3 Maret 1975, pertarungan legendaris antara Muhammad Ali dan Joe Frazier III secara resmi diumumkan. Pertarungan yang kemudian dikenal sebagai "Thrilla in Manila" ini berlangsung pada 1 Oktober 1975 dan menjadi salah satu duel tinju paling brutal dalam sejarah.
Pada pagi yang panas di Manila di hari pertarungan itu, dunia menyaksikan salah satu pertarungan tinju paling sengit dalam sejarah. Duel antara Muhammad Ali dan Joe Frazier , yang dikenal sebagai "Thrilla in Manila", menjadi ajang pembuktian siapa petinju terbaik di era mereka. Namun, lebih dari sekadar pertarungan memperebutkan gelar, duel ini meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam dunia olahraga.
Di bawah sorotan lampu yang membakar, suhu di dalam ring diperkirakan mencapai 49 derajat Celsius. Dalam kondisi yang hampir tak tertahankan, dua legenda tinju ini bertarung habis-habisan selama 14 ronde sebelum akhirnya Frazier harus menyerah. Pertarungan ini tidak hanya mengukuhkan Ali sebagai yang terbaik, tetapi juga menandai berakhirnya salah satu rivalitas paling legendaris dalam sejarah tinju.
Sebelum pertemuan ketiga ini, Ali dan Frazier telah berbagi kemenangan di dua laga sebelumnya. Pertemuan pertama mereka, yang dijuluki "Fight of the Century" pada 1971 di Madison Square Garden, dimenangkan oleh Frazier setelah berhasil menjatuhkan Ali di ronde terakhir. Dua tahun kemudian, dalam duel ulang yang tak kalah sengit, Ali berhasil membalas kekalahannya dengan kemenangan angka mutlak.
Namun, pertarungan ketiga di Manila ini berbeda. Ini bukan hanya sekadar duel biasa—ini adalah perang fisik dan mental yang akan mengubah hidup kedua petinju selamanya.
Saat memasuki ring, Ali tampak percaya diri mengenakan jubah putih beraksen biru muda, sementara Frazier mengenakan jubah biru tua yang mencerminkan keteguhan hatinya. Ali, dengan keangkuhan khasnya, memilih mengenakan celana tinju Everlast putih polos—sesuatu yang jarang dilakukan petinju dalam laga sekeras ini. Pilihannya seakan menjadi simbol keyakinannya bahwa ia akan menang tanpa cela.
Namun, di dalam ring, segalanya berubah. Bel pertandingan berbunyi, dan duel segera berubah menjadi pertempuran tanpa ampun. Ali mencoba mengontrol jarak dengan jab panjangnya, sementara Frazier terus merangsek maju, menghantam tubuh Ali dengan pukulan yang mengguncang.
Biasanya dikenal dengan gaya bertinjunya yang lincah, kali ini Ali justru lebih banyak bertahan dan memilih bertukar pukulan langsung dengan Frazier. Ritme pertandingan begitu cepat dan intens. Setiap pukulan yang mendarat tidak hanya mengguncang tubuh, tetapi juga menguras tenaga mereka sedikit demi sedikit.
Pada pagi yang panas di Manila di hari pertarungan itu, dunia menyaksikan salah satu pertarungan tinju paling sengit dalam sejarah. Duel antara Muhammad Ali dan Joe Frazier , yang dikenal sebagai "Thrilla in Manila", menjadi ajang pembuktian siapa petinju terbaik di era mereka. Namun, lebih dari sekadar pertarungan memperebutkan gelar, duel ini meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam dunia olahraga.
Di bawah sorotan lampu yang membakar, suhu di dalam ring diperkirakan mencapai 49 derajat Celsius. Dalam kondisi yang hampir tak tertahankan, dua legenda tinju ini bertarung habis-habisan selama 14 ronde sebelum akhirnya Frazier harus menyerah. Pertarungan ini tidak hanya mengukuhkan Ali sebagai yang terbaik, tetapi juga menandai berakhirnya salah satu rivalitas paling legendaris dalam sejarah tinju.
Sebelum pertemuan ketiga ini, Ali dan Frazier telah berbagi kemenangan di dua laga sebelumnya. Pertemuan pertama mereka, yang dijuluki "Fight of the Century" pada 1971 di Madison Square Garden, dimenangkan oleh Frazier setelah berhasil menjatuhkan Ali di ronde terakhir. Dua tahun kemudian, dalam duel ulang yang tak kalah sengit, Ali berhasil membalas kekalahannya dengan kemenangan angka mutlak.
Namun, pertarungan ketiga di Manila ini berbeda. Ini bukan hanya sekadar duel biasa—ini adalah perang fisik dan mental yang akan mengubah hidup kedua petinju selamanya.
Saat memasuki ring, Ali tampak percaya diri mengenakan jubah putih beraksen biru muda, sementara Frazier mengenakan jubah biru tua yang mencerminkan keteguhan hatinya. Ali, dengan keangkuhan khasnya, memilih mengenakan celana tinju Everlast putih polos—sesuatu yang jarang dilakukan petinju dalam laga sekeras ini. Pilihannya seakan menjadi simbol keyakinannya bahwa ia akan menang tanpa cela.
Namun, di dalam ring, segalanya berubah. Bel pertandingan berbunyi, dan duel segera berubah menjadi pertempuran tanpa ampun. Ali mencoba mengontrol jarak dengan jab panjangnya, sementara Frazier terus merangsek maju, menghantam tubuh Ali dengan pukulan yang mengguncang.
Biasanya dikenal dengan gaya bertinjunya yang lincah, kali ini Ali justru lebih banyak bertahan dan memilih bertukar pukulan langsung dengan Frazier. Ritme pertandingan begitu cepat dan intens. Setiap pukulan yang mendarat tidak hanya mengguncang tubuh, tetapi juga menguras tenaga mereka sedikit demi sedikit.
Lihat Juga :
tulis komentar anda