Thrilla in Manila: Duel Tinju Paling Brutal yang Nyaris Merenggut Nyawa Muhammad Ali
Senin, 03 Maret 2025 - 01:30 WIB
Di tengah panas ekstrem dan kelelahan yang semakin parah, keduanya tetap bertahan. Tak ada yang mau menyerah. Ali sesekali bersandar ke tali, mencoba meredam serangan Frazier, tetapi sang lawan tak memberi ruang untuk bernapas. Ronde demi ronde berlalu, dan keduanya mulai menunjukkan tanda-tanda keletihan yang luar biasa.
Pada ronde ke-14, wajah Frazier sudah tak bisa dikenali. Matanya membengkak hingga nyaris tertutup sepenuhnya. Kondisinya yang semakin buruk membuat pelatihnya, Eddie Futch, mengambil keputusan sulit: menghentikan pertandingan. Frazier bersikeras ingin melanjutkan, tetapi Futch menegaskan, "Tak ada yang akan melupakan malam ini. Tapi aku juga tak akan membiarkanmu mati di ring."
Di sudut lainnya, Ali juga tak jauh lebih baik. Begitu kemenangan diumumkan, ia langsung roboh di lantai ring karena kelelahan. Dalam wawancara setelah laga, Ali mengakui, "Rasanya seperti mati. Ini pengalaman paling dekat dengan kematian yang pernah saya rasakan."
Ali memang mempertahankan gelar juara dunia kelas berat, tetapi harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Pertarungan ini menjadi titik balik dalam hidupnya. Setelah bertarung enam tahun lagi hingga 1981, Ali akhirnya pensiun. Namun, dampak dari duel brutal ini tak bisa dihindari—hanya tiga tahun setelah gantung sarung tinju, ia didiagnosis menderita Parkinson, penyakit yang banyak diyakini dipicu oleh pukulan bertubi-tubi yang diterimanya selama bertahun-tahun.
Bagi Frazier, dampaknya tak kalah besar. Ia hanya bertarung dua kali lagi sebelum pensiun total. Matanya yang rusak akibat pukulan di Manila tak pernah pulih sepenuhnya. Kariernya berakhir, tetapi trauma pertarungan itu terus menghantuinya hingga akhir hayat.
Hampir 50 tahun setelah duel bersejarah ini, salah satu peninggalan laga tersebut kembali menjadi sorotan dunia. Celana tinju putih Everlast yang dikenakan Ali dalam pertarungan ini akan dilelang di Sotheby’s pada 7 Februari 2025.
Yang menarik, meskipun duel di Manila adalah salah satu yang paling brutal dalam sejarah tinju, celana Ali tetap bersih sepanjang pertarungan. Ini menjadi simbol kejayaannya yang tak ternodai, meski di balik itu, ada kisah penderitaan yang luar biasa.
Muhammad Ali dan Joe Frazier masuk ke Manila sebagai dua juara, tetapi mereka keluar dari ring sebagai dua pria yang telah mengorbankan segalanya. Thrilla in Manila bukan sekadar pertarungan tinju—itu adalah peristiwa yang menunjukkan batas daya tahan manusia, harga dari kejayaan, dan legenda yang tak akan pernah terlupakan.
Hingga hari ini, dunia tinju belum pernah menyaksikan duel yang mampu menyaingi kehebatan dan kebrutalan Thrilla in Manila.
Pada ronde ke-14, wajah Frazier sudah tak bisa dikenali. Matanya membengkak hingga nyaris tertutup sepenuhnya. Kondisinya yang semakin buruk membuat pelatihnya, Eddie Futch, mengambil keputusan sulit: menghentikan pertandingan. Frazier bersikeras ingin melanjutkan, tetapi Futch menegaskan, "Tak ada yang akan melupakan malam ini. Tapi aku juga tak akan membiarkanmu mati di ring."
Di sudut lainnya, Ali juga tak jauh lebih baik. Begitu kemenangan diumumkan, ia langsung roboh di lantai ring karena kelelahan. Dalam wawancara setelah laga, Ali mengakui, "Rasanya seperti mati. Ini pengalaman paling dekat dengan kematian yang pernah saya rasakan."
Kemenangan yang Dibayar Mahal
Ali memang mempertahankan gelar juara dunia kelas berat, tetapi harga yang harus dibayarnya sangat mahal. Pertarungan ini menjadi titik balik dalam hidupnya. Setelah bertarung enam tahun lagi hingga 1981, Ali akhirnya pensiun. Namun, dampak dari duel brutal ini tak bisa dihindari—hanya tiga tahun setelah gantung sarung tinju, ia didiagnosis menderita Parkinson, penyakit yang banyak diyakini dipicu oleh pukulan bertubi-tubi yang diterimanya selama bertahun-tahun.
Bagi Frazier, dampaknya tak kalah besar. Ia hanya bertarung dua kali lagi sebelum pensiun total. Matanya yang rusak akibat pukulan di Manila tak pernah pulih sepenuhnya. Kariernya berakhir, tetapi trauma pertarungan itu terus menghantuinya hingga akhir hayat.
Hampir 50 tahun setelah duel bersejarah ini, salah satu peninggalan laga tersebut kembali menjadi sorotan dunia. Celana tinju putih Everlast yang dikenakan Ali dalam pertarungan ini akan dilelang di Sotheby’s pada 7 Februari 2025.
Yang menarik, meskipun duel di Manila adalah salah satu yang paling brutal dalam sejarah tinju, celana Ali tetap bersih sepanjang pertarungan. Ini menjadi simbol kejayaannya yang tak ternodai, meski di balik itu, ada kisah penderitaan yang luar biasa.
Muhammad Ali dan Joe Frazier masuk ke Manila sebagai dua juara, tetapi mereka keluar dari ring sebagai dua pria yang telah mengorbankan segalanya. Thrilla in Manila bukan sekadar pertarungan tinju—itu adalah peristiwa yang menunjukkan batas daya tahan manusia, harga dari kejayaan, dan legenda yang tak akan pernah terlupakan.
Hingga hari ini, dunia tinju belum pernah menyaksikan duel yang mampu menyaingi kehebatan dan kebrutalan Thrilla in Manila.
Lihat Juga :
tulis komentar anda