Pahlawan Olahraga, Rexy Mainaky Si Peraih Emas Olimpiade Atlanta 1996
loading...
A
A
A
BANGKOK - Lahir di Ternate, 9 Maret 1968, nama Rexy Mainaky tentu sudah tidak asing di telinga pecinta bulu tangkis Indonesia. Pria yang akrab disapa Eky itu adalah salah satu pemain ganda putra terbaik yang pernah dimiliki Merah Putih.
Keluarga Eky sangat senang dengan bulu tangkis. Ayah dan saudara-saudara kandungnya rutin bermain badminton, sedangkan Eky kecil lebih senang bermain sepak bola.
Di kampung tempat tinggal Eky, saat itu banyak anak muda yang kerjanya hanya mabuk-mabukan. Oleh karena itu sang ayah mengarahkan anak-anaknya untuk olahraga, karena tidak mau mereka menjadi pemabuk seperti pemuda-pemuda disana.
Ada satu momen dimana Eky dijanjikan akan diberi hadiah oleh sang ayah jika masuk peringkat 10 besar di sekolah. Ayahnya mengira dia akan minta dibelikan raket, namun Eky memilih untuk dibelikan sepatu sepak bola.
Ketika saudara kandung dan teman-temannya bermain bulu tangkis di halaman belakang rumah, Eky hanya menonton. Dia baru main jika kurang orang. Dia lebih sering menghabiskan waktu di lapangan sepak bola.
Menginjak usia remaja, sang ayah berbicara kepadanya dan membuatnya banting stir menjadi pemain bulu tangkis. Sebenarnya, saat itu Eky sudah bermain kompetisi sepak bola antar daerah, namun situasinya sulit dan perkembangan sepak bola nasional juga belum menuju ke arah yang bagus.
Sang ayah mengatakan bulu tangkis Indonesia itu sudah dikenal dunia. Kalau Eky bisa menjadi juara nasional, sangat besar peluang menjadi juara dunia. Berbeda dengan sepakbola yang punya 11 pemain, tapi kalau tidak kompak tidak akan bagus mainnya.
Eky yang saat itu berusia 14 tahun mengikuti saran dari ayahnya. Dia lalu ikut seleksi untuk mewakili Maluku di pertandingan Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI). Dia berhasil maju mewakili Maluku, tapi gagal lolos dari babak grup. Meski begitu, pemerintah Maluku mengusulkannya untuk belajar di sekolah atlet Ragunan.
Pada 1985 Eky terbang ke Jakarta menyusul sang kakak, Richard Mainaky, yang sudah lebih dulu menginjakan kaki di ibu kota. Eky menunjukan kegigihan dan keseriusan dalam latihan sehingga dia menjadi penghuni tetap di Ragunan.
Eky menjuarai Kejuaraan Pelajar se-ASEAN di Singapura. Dia juara di nomor tunggal dan ganda putra. Setelah lulus dari Ragunan, dia hampir bergabung dengan klub raksasa asal kudus PB Djarum . Namun, dia akhirnya bergabung dengan klub Tangkas setelah menerima saran dari Darius Pongoh.
Prestasinya terus meningkat sejak itu, Eky dan Richard memberi banyak gelar untuk Tangkas. Meski berprestasi, pemuda Ternate itu sempat hampir menyerah karena tidak dipanggil ke Pelatnas. Padahal dia sudah menjadi juara DKI Jakarta dan juara di seleksi nasional.
Akhirnya kesempatan itu datang pada September 1990. Eky saat itu selesai juara tunggal putra, ganda putra dan ganda campuran dalam suatu turnamen. Christian Hadinata yang menjadi pelatih ganda putra di tim nasional, mendatangi Eky dan memberikan tawaran untuk masuk pelatnas, dengan syarat Eky tidak lagi bermain di tunggal putra dan ganda campuran.
Eky menerima tawaran itu dan dipasangkan dengan Thomas Indratjaya di tahun pertamanya. Pasangan emasnya, Ricky Subagja, saat itu masih dipasangkan dengan sang kakak, Richard.
Singkat cerita, Koh Chris –panggilan Christian Hadinata- menawarkan Eky untuk dipasangkan dengan Rudy Gunawan atau Ricky Subagja. Dia pun memilih Ricky sebagai duetnya karena dari segi umur tidak jauh jadi tidak sungkan selama di lapangan. Selain itu, Gunawan saat itu sudah terkenal dan Eky takut itu menjadi beban baginya.
Pilihan itu ternyata sangat tepat, Rexy/Ricky menjadi pasangan yang sangat kuat yang dimiliki Indonesia saat itu. Sejak akhir 1992, mereka memenangkan empat turnamen beruntun, termasuk World Grand Prix Finals. Nama mereka mulai naik dan diperhitungkan di mata dunia.
Rexy/Ricky adalah roda penggerak penting dalam mesin bulu tangkis Indonesia yang membuat mereka merebut empat gelar Piala Thomas berturut-turut dari 1994 hingga 2000. Setelah kalah di final 1992 dari Cheah Soon Kit/Soo Beng Kiang yang membuat Malaysia merebut kembali gelar setelah 1967, Ricky/Rexy kemudian membangun reputasi yang bagus di Piala Thomas.
Hingga paruh kedua 1990-an, pasangan Rexy/Ricky memenangkan lebih dari 30 gelar internasional, termasuk tiga Kejuaraan Dunia, empat Indonesia Terbuka, tiga Final Grand Prix Dunia, dua All England, dan satu hat-trick di Jepang Terbuka.
Salah satu momen yang paling diingat pecinta bulu tangkis Indonesia adalah saat Rexy/Ricky menyabet medali emas Olimpiade Atalanta 1996. Mereka bertarung melawan pasangan Malaysia Yap Kim Hock/Chean Soon Kit di partai final dengan skor 5-15, 15-13 dan 15-12.
Setelah pensiun pada 2000, Rexy tidak bisa jauh-jauh dari dunia bulu tangkis. Dia memutuskan untuk melatih di olahraga yang membesarkan namanya itu. Dia melatih di Pelatnas dan melahirkan atlet-atlet seperti Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso dan Maria Kristin Yulianti.
Setelah itu, Eky melanjutkan karir kepelatihannya di Inggris. Selama lima tahun menjadi pelatih di Inggris, dia berhasil melahirkan pasangan ganda campuran Nathan Robertson/Gail Emms yang mendapat medali perak di Olimpiade Athena 2004.
Pada 2005, Eky tetap melanjutkan kariernya sebagai pelatih di Malaysia. Eky dipercaya untuk melatih tim ganda putra di BAM (Badminton Assosiation of Malaysia). Beberapa pemain ganda putra hasil sentuhan Eky yang mampu menyabet gelar juara adalah Mohamad Zakry Latif/Mohamad Fairuzizuan dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong. Pasangan Zakry/Fairuz mampu menembus final Indonesia Open, sementara pasangan Koo/Tan berhasil pada kejuaraan Asian Games, Malaysia Super Series, All England, dan Swiss Super Series.
Setelah berkarir di Negeri Jiran, Eky melanjutkan petualangannya menjadi pelatih di Filipina pada 2011 tetapi tidak bertahan lama. Dia memutuskan kembali ke Indonesia dan menerima tawaran eks Ketum Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Gita Wirjawan, untuk menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI.
Di Indonesia, Eky juga berhasil membawa tim Piala Thomas lolos ke final pada 2016. Puncak kariernya saat menjabat sebagai Kabid Binpres PBSI yakni saat Indonesia meraih medali emas Olimpiade Rio 2016 lewat pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir .
Eky kemudian resmi ditunjuk menjadi pelatih Thailand pada Januari 2017. Dia membawa Negeri Gajah Putih itu menjadi runner-up pada Piala Uber 2018 yang digelar di Bangkok, Thailand.
Kantaphon Wangcharoen menjadi tunggal putra pertama Thailand yang memenangi medali perunggu pada Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss. Sementara itu, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai juga menjadi pasangan ganda campuran Thailand pertama yang mencapai final pada kejuaraan dunia.
Eky masih menjadi pelatih Thailand sampai saat ini. Walaupun dia sempat mengatakan keinginannya untuk kembali melatih di Malaysia dan tidak melanjutkan kontraknya dengan Thailand
Keluarga Eky sangat senang dengan bulu tangkis. Ayah dan saudara-saudara kandungnya rutin bermain badminton, sedangkan Eky kecil lebih senang bermain sepak bola.
Di kampung tempat tinggal Eky, saat itu banyak anak muda yang kerjanya hanya mabuk-mabukan. Oleh karena itu sang ayah mengarahkan anak-anaknya untuk olahraga, karena tidak mau mereka menjadi pemabuk seperti pemuda-pemuda disana.
Ada satu momen dimana Eky dijanjikan akan diberi hadiah oleh sang ayah jika masuk peringkat 10 besar di sekolah. Ayahnya mengira dia akan minta dibelikan raket, namun Eky memilih untuk dibelikan sepatu sepak bola.
Ketika saudara kandung dan teman-temannya bermain bulu tangkis di halaman belakang rumah, Eky hanya menonton. Dia baru main jika kurang orang. Dia lebih sering menghabiskan waktu di lapangan sepak bola.
Menginjak usia remaja, sang ayah berbicara kepadanya dan membuatnya banting stir menjadi pemain bulu tangkis. Sebenarnya, saat itu Eky sudah bermain kompetisi sepak bola antar daerah, namun situasinya sulit dan perkembangan sepak bola nasional juga belum menuju ke arah yang bagus.
Sang ayah mengatakan bulu tangkis Indonesia itu sudah dikenal dunia. Kalau Eky bisa menjadi juara nasional, sangat besar peluang menjadi juara dunia. Berbeda dengan sepakbola yang punya 11 pemain, tapi kalau tidak kompak tidak akan bagus mainnya.
Eky yang saat itu berusia 14 tahun mengikuti saran dari ayahnya. Dia lalu ikut seleksi untuk mewakili Maluku di pertandingan Pekan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI). Dia berhasil maju mewakili Maluku, tapi gagal lolos dari babak grup. Meski begitu, pemerintah Maluku mengusulkannya untuk belajar di sekolah atlet Ragunan.
Pada 1985 Eky terbang ke Jakarta menyusul sang kakak, Richard Mainaky, yang sudah lebih dulu menginjakan kaki di ibu kota. Eky menunjukan kegigihan dan keseriusan dalam latihan sehingga dia menjadi penghuni tetap di Ragunan.
Eky menjuarai Kejuaraan Pelajar se-ASEAN di Singapura. Dia juara di nomor tunggal dan ganda putra. Setelah lulus dari Ragunan, dia hampir bergabung dengan klub raksasa asal kudus PB Djarum . Namun, dia akhirnya bergabung dengan klub Tangkas setelah menerima saran dari Darius Pongoh.
Prestasinya terus meningkat sejak itu, Eky dan Richard memberi banyak gelar untuk Tangkas. Meski berprestasi, pemuda Ternate itu sempat hampir menyerah karena tidak dipanggil ke Pelatnas. Padahal dia sudah menjadi juara DKI Jakarta dan juara di seleksi nasional.
Akhirnya kesempatan itu datang pada September 1990. Eky saat itu selesai juara tunggal putra, ganda putra dan ganda campuran dalam suatu turnamen. Christian Hadinata yang menjadi pelatih ganda putra di tim nasional, mendatangi Eky dan memberikan tawaran untuk masuk pelatnas, dengan syarat Eky tidak lagi bermain di tunggal putra dan ganda campuran.
Eky menerima tawaran itu dan dipasangkan dengan Thomas Indratjaya di tahun pertamanya. Pasangan emasnya, Ricky Subagja, saat itu masih dipasangkan dengan sang kakak, Richard.
Singkat cerita, Koh Chris –panggilan Christian Hadinata- menawarkan Eky untuk dipasangkan dengan Rudy Gunawan atau Ricky Subagja. Dia pun memilih Ricky sebagai duetnya karena dari segi umur tidak jauh jadi tidak sungkan selama di lapangan. Selain itu, Gunawan saat itu sudah terkenal dan Eky takut itu menjadi beban baginya.
Pilihan itu ternyata sangat tepat, Rexy/Ricky menjadi pasangan yang sangat kuat yang dimiliki Indonesia saat itu. Sejak akhir 1992, mereka memenangkan empat turnamen beruntun, termasuk World Grand Prix Finals. Nama mereka mulai naik dan diperhitungkan di mata dunia.
Rexy/Ricky adalah roda penggerak penting dalam mesin bulu tangkis Indonesia yang membuat mereka merebut empat gelar Piala Thomas berturut-turut dari 1994 hingga 2000. Setelah kalah di final 1992 dari Cheah Soon Kit/Soo Beng Kiang yang membuat Malaysia merebut kembali gelar setelah 1967, Ricky/Rexy kemudian membangun reputasi yang bagus di Piala Thomas.
Hingga paruh kedua 1990-an, pasangan Rexy/Ricky memenangkan lebih dari 30 gelar internasional, termasuk tiga Kejuaraan Dunia, empat Indonesia Terbuka, tiga Final Grand Prix Dunia, dua All England, dan satu hat-trick di Jepang Terbuka.
Salah satu momen yang paling diingat pecinta bulu tangkis Indonesia adalah saat Rexy/Ricky menyabet medali emas Olimpiade Atalanta 1996. Mereka bertarung melawan pasangan Malaysia Yap Kim Hock/Chean Soon Kit di partai final dengan skor 5-15, 15-13 dan 15-12.
Setelah pensiun pada 2000, Rexy tidak bisa jauh-jauh dari dunia bulu tangkis. Dia memutuskan untuk melatih di olahraga yang membesarkan namanya itu. Dia melatih di Pelatnas dan melahirkan atlet-atlet seperti Sony Dwi Kuncoro, Simon Santoso dan Maria Kristin Yulianti.
Setelah itu, Eky melanjutkan karir kepelatihannya di Inggris. Selama lima tahun menjadi pelatih di Inggris, dia berhasil melahirkan pasangan ganda campuran Nathan Robertson/Gail Emms yang mendapat medali perak di Olimpiade Athena 2004.
Pada 2005, Eky tetap melanjutkan kariernya sebagai pelatih di Malaysia. Eky dipercaya untuk melatih tim ganda putra di BAM (Badminton Assosiation of Malaysia). Beberapa pemain ganda putra hasil sentuhan Eky yang mampu menyabet gelar juara adalah Mohamad Zakry Latif/Mohamad Fairuzizuan dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong. Pasangan Zakry/Fairuz mampu menembus final Indonesia Open, sementara pasangan Koo/Tan berhasil pada kejuaraan Asian Games, Malaysia Super Series, All England, dan Swiss Super Series.
Setelah berkarir di Negeri Jiran, Eky melanjutkan petualangannya menjadi pelatih di Filipina pada 2011 tetapi tidak bertahan lama. Dia memutuskan kembali ke Indonesia dan menerima tawaran eks Ketum Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), Gita Wirjawan, untuk menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PBSI.
Di Indonesia, Eky juga berhasil membawa tim Piala Thomas lolos ke final pada 2016. Puncak kariernya saat menjabat sebagai Kabid Binpres PBSI yakni saat Indonesia meraih medali emas Olimpiade Rio 2016 lewat pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir .
Eky kemudian resmi ditunjuk menjadi pelatih Thailand pada Januari 2017. Dia membawa Negeri Gajah Putih itu menjadi runner-up pada Piala Uber 2018 yang digelar di Bangkok, Thailand.
Kantaphon Wangcharoen menjadi tunggal putra pertama Thailand yang memenangi medali perunggu pada Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss. Sementara itu, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai juga menjadi pasangan ganda campuran Thailand pertama yang mencapai final pada kejuaraan dunia.
Eky masih menjadi pelatih Thailand sampai saat ini. Walaupun dia sempat mengatakan keinginannya untuk kembali melatih di Malaysia dan tidak melanjutkan kontraknya dengan Thailand
(sto)