Profil Michel Sablon, Si Pencetak Generasi Emas Timnas Belgia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Belgia terbukti sukses mencetak pemain-pemain hebat seperti Eden Hazard, Romelu Lukaku, dan Kevin De Bruyne. Generasi emas Timnas Belgia tidak lepas dari tangan dingin Michel Sablon.
Michel Sablon, oleh sejumlah pihak, mendapat julukan 'bapak revolusi sepak bola' di Belgia. Lantas, siapa sebetulnya pria yang menjabat sebagai direktur teknik Royal Belgian Football Association (RBFA) tersebut?
Kisah Sablon berawal dari keterpurukan Timnas Belgia di Piala Eropa 2002. Pada saat itu, Belgia yang menyandang status tuan rumah bersama Belanda, justru lebih banyak menelan kekalahan hingga tersisih di fase grup.
Presiden Federasi Sepak bola Belgia, Michael D'Hooghe, kemudian menghubungi Michael Sablon untuk membantu menganalisa penyebab kegagalan itu. Keduanya sepakat bahwa terdapat kesalahan mendasar di luar peran Marc Wilmots dan koleganya sebagai pemain.
Sablon melihat permasalahan dengan baik dan meracik solusi jangka panjang. Dalam wawancara bersama The Guardian tahun 2018, Sablon mengaku meminta bantuan profesor dari sebuah universitas di Belgia untuk membangun sistem baru dalam pengembangan sepak bola Belgia selepas Piala Eropa 2002.
Menurutnya, para pemain Belgia sejak awal menggunakan kaca mata yang pragmatis sehingga hanya memikirkan kemenangan. Tujuan itu, kata Sablon, ingin dicapai tanpa dibarengi kualitas yang mumpuni untuk bertahan di sebuah turnamen elite.
Sebagai direktur teknik, Sablon merekonstruksi sistem dalam sepak bola Belgia menjadi tak lagi pragmatis. Perubahan dimulai dari fondasi berpikir hingga meningkatkan keterampilan teknik individu serta merancang organisasi permainan melalui statistik.
Sablon menunjuk profesor Werner Helsen untuk memimpin studi yang melibatkan 1.500 jam pertandingan. Ia ingin Helsen menemukan bentuk yang baik lewat data yang dihasilkan oleh angka-angka dari jumlah sentuhan, akurasi umpan, tendangan, dan penguasaan bola.
"Angka menceritakan kisah yang sebenarnya," kata Sablon.
Sablon juga berkeliling negeri mencari bakat pemain muda sambil menggelar presentasi ke sekolah sepak bola milik klub-klub di Belgia. Pemain muda yang terjaring karena dianggap potensial, langsung diberikan latihan menggiring bola dan bertanding dalam tiga format: 2v2, 5v5, dan 8v8.
Revolusi juga dilakukan Sablon dengan penghapusan sistem ranking yang awalnya dianggap krusial. Pemain yang berusia tujuh sampai delapan tahun tidak dibebani tugas untuk menjadi yang terbaik di kelompoknya.
"Ranking adalah cara yang salah. Jadikan pengembangan pemain sebagai prioritas utama kalian," kata Sablon kepada para pelatih akademi.
Intelektualitas dan keterampilan mengelola emosi tak luput dari fokus Sablon dalam membangun sistem sepak bola di Timnas Belgia. Para pemain diminta menghindari tekel keras saat bertahan, dan lebih mengutamakan intersep hingga Timnas U-21.
Pada tahun 2007, ketika Kevin De Bruyne masih berusia 16 tahun, Sablon melihat potensi besar dalam diri sang bocah. Statistik memperlihatkan De Bryune mampu membaca permainan tiga kali lebih baik dari pemain seusianya.
"Saya adalah satu dari beberapa orang pertama yang mempertimbangkan De Bruyne sebagai seorang pemain fantastik. Di usia 16 tahun, dia membaca permainan tiga kali lebih cepat dari yang lain," kata Sablon.
Tak cuma De Bruyne, Timnas Belgia di era Michel Sablon juga terbukti sukses melahirkan sejumlah pemain top di antaranya Romelu Lukaku (Chelsea), Eden Hazard (Real Madrid), hingga penjaga gawang Thibaut Courtois (Real Madrid). Meski belum berhasil mengangkat trofi, Belgia masih terus menghasilkan pemain muda berbakat seperti Divock Origi dan Jeremy Doku.
Michel Sablon, oleh sejumlah pihak, mendapat julukan 'bapak revolusi sepak bola' di Belgia. Lantas, siapa sebetulnya pria yang menjabat sebagai direktur teknik Royal Belgian Football Association (RBFA) tersebut?
Kisah Sablon berawal dari keterpurukan Timnas Belgia di Piala Eropa 2002. Pada saat itu, Belgia yang menyandang status tuan rumah bersama Belanda, justru lebih banyak menelan kekalahan hingga tersisih di fase grup.
Presiden Federasi Sepak bola Belgia, Michael D'Hooghe, kemudian menghubungi Michael Sablon untuk membantu menganalisa penyebab kegagalan itu. Keduanya sepakat bahwa terdapat kesalahan mendasar di luar peran Marc Wilmots dan koleganya sebagai pemain.
Sablon melihat permasalahan dengan baik dan meracik solusi jangka panjang. Dalam wawancara bersama The Guardian tahun 2018, Sablon mengaku meminta bantuan profesor dari sebuah universitas di Belgia untuk membangun sistem baru dalam pengembangan sepak bola Belgia selepas Piala Eropa 2002.
Menurutnya, para pemain Belgia sejak awal menggunakan kaca mata yang pragmatis sehingga hanya memikirkan kemenangan. Tujuan itu, kata Sablon, ingin dicapai tanpa dibarengi kualitas yang mumpuni untuk bertahan di sebuah turnamen elite.
Sebagai direktur teknik, Sablon merekonstruksi sistem dalam sepak bola Belgia menjadi tak lagi pragmatis. Perubahan dimulai dari fondasi berpikir hingga meningkatkan keterampilan teknik individu serta merancang organisasi permainan melalui statistik.
Sablon menunjuk profesor Werner Helsen untuk memimpin studi yang melibatkan 1.500 jam pertandingan. Ia ingin Helsen menemukan bentuk yang baik lewat data yang dihasilkan oleh angka-angka dari jumlah sentuhan, akurasi umpan, tendangan, dan penguasaan bola.
"Angka menceritakan kisah yang sebenarnya," kata Sablon.
Sablon juga berkeliling negeri mencari bakat pemain muda sambil menggelar presentasi ke sekolah sepak bola milik klub-klub di Belgia. Pemain muda yang terjaring karena dianggap potensial, langsung diberikan latihan menggiring bola dan bertanding dalam tiga format: 2v2, 5v5, dan 8v8.
Revolusi juga dilakukan Sablon dengan penghapusan sistem ranking yang awalnya dianggap krusial. Pemain yang berusia tujuh sampai delapan tahun tidak dibebani tugas untuk menjadi yang terbaik di kelompoknya.
"Ranking adalah cara yang salah. Jadikan pengembangan pemain sebagai prioritas utama kalian," kata Sablon kepada para pelatih akademi.
Intelektualitas dan keterampilan mengelola emosi tak luput dari fokus Sablon dalam membangun sistem sepak bola di Timnas Belgia. Para pemain diminta menghindari tekel keras saat bertahan, dan lebih mengutamakan intersep hingga Timnas U-21.
Pada tahun 2007, ketika Kevin De Bruyne masih berusia 16 tahun, Sablon melihat potensi besar dalam diri sang bocah. Statistik memperlihatkan De Bryune mampu membaca permainan tiga kali lebih baik dari pemain seusianya.
"Saya adalah satu dari beberapa orang pertama yang mempertimbangkan De Bruyne sebagai seorang pemain fantastik. Di usia 16 tahun, dia membaca permainan tiga kali lebih cepat dari yang lain," kata Sablon.
Tak cuma De Bruyne, Timnas Belgia di era Michel Sablon juga terbukti sukses melahirkan sejumlah pemain top di antaranya Romelu Lukaku (Chelsea), Eden Hazard (Real Madrid), hingga penjaga gawang Thibaut Courtois (Real Madrid). Meski belum berhasil mengangkat trofi, Belgia masih terus menghasilkan pemain muda berbakat seperti Divock Origi dan Jeremy Doku.
(sto)