Rodtang Jitmuangnon, Bertarung Melawan Kanker dan Kemiskinan

Senin, 15 Agustus 2022 - 02:33 WIB
loading...
Rodtang Jitmuangnon, Bertarung Melawan Kanker dan Kemiskinan
Nama Rodtang Jitmuangnon begitu harum di dunia olahraga tarung berkat kepiawaiannya dalam menjatuhkan lawan
A A A
Nama Rodtang Jitmuangnon begitu harum di dunia olahraga tarung berkat kepiawaiannya dalam menjatuhkan lawan. Dengan rekor 268-42-10, sang Juara Dunia ONE Flyweight Muay Thai telah menjadi ikon di pentas global ONE Championship .

Sejak berkompetisi di ONE pada 2018, atlet Thailand ini belum pernah terkalahkan dalam Muay Thai maupun kickboxing. Ia berhasil menorehkan 11 kemenangan dan hanya kalah sekali dari Demetrious Johnson dalam laga hibrida Muay Thai-MMA pada Maret lalu.

Pada Sabtu, 27 Agustus, dia akan menghadapi Michael Savvas dalam babak semifinal turnamen ONE Flyweight Muay Thai World Grand Prix. Sebenarnya, turnamen ini dibuat untuk mencari penantang berikutnya bagi sabuk emas milik Rodtang. Namun, bukan Rodtang namanya jika hanya mau menunggu. Dia memutuskan untuk mengikuti sendiri turnamen ini.

BACA JUGA: Kurang Cepat Penyebab Joshua Dibekuk Usyk, Mike Tyson: Sulit Mengalahkannya!

Pencapaiannya saat ini tak lepas dari perjuangan Rodtang saat dirinya belum menjadi apa-apa. Lewat Muay Thai, ia membangun nama hingga penghidupan yang jauh lebih baik demi keluarganya.

Rodtang, seperti banyak petarung di negeri Gajah Putih yang menggeluti Muay Thai demi keluar dari kemiskinan, lahir dari keluarga sederhana. Ayah dan ibunya adalah petani karet dengan penghasilan tidak menentu.

Ia tinggal di sebuah gubuk sederhana di sebuah desa di bagian selatan Thailand bersama 11 anggota keluarga lain. Pria 25 tahun ini mulai bertarung sejak usia 8 tahun. Tercatat, hingga kini ia telah menorehkan 268 kemenangan.

BACA JUGA: Kalah Lawan Conor Benn, Chris Eubank Jr Janji Gantung Sarung Tinju

Sejak melakoni debut dalam salah satu turnamen yang diselenggarakan kuil setempat, hampir setiap pekan Rodtang bertarung demi mengumpulkan uang saweran. Setiap koin yang ia terima menjadi tambahan berarti bagi penghidupan keluarga.

Dengan gaya bertarung pantang mundur, petarung berjuluk “The Iron Man” ini memang pantas disebut sebagai manusia besi. Saat menerima pukulan lawan, Rodtang hanya bisa menari dan menantang lawannya untuk melayangkan serangan yang lebih keras.

Namun, dibalik rahang besi Rodtang, terdapat ribuan jam latihan yang telah ia lalui serta ratusan kilometer yang ia tempuh dari satu arena laga ke arena lainnya.

Menginjak usia remaja, enam tahun setelah menjalani debut Muay Thai, Rodtang merantau ke Bangkok untuk menjajal kompetisi yang lebih tinggi. Di ibu kota Thailand tersebut, ia berlatih di sasana ternama Jitmuangnon yang kini ia sematkan sebagai namanya.



Karier Rodtang terus berkembang hingga dilirik ONE Championship. Yang awalnya bocah miskin, kini namanya semakin dikenal dunia.

Namun, berita duka mulai menghampiri. Pada 2018, Huan, salah satu pelatihnya, meninggal dunia karena serangan jantung. Setahun berselang, sang ayah didiagnosis menderita kanker stadium 3.

Pada 2020, jelang berlaga melawan Jonathan Haggerty, Rodtang mengajak kedua orang tuanya untuk menyaksikan langsung ia berlaga demi memberi mereka secercah kebahagiaan serta gambaran tentang perjuangan yang ia jalani.

Sang ayah perlahan sembuh, dan meski harus menjalani berbagai pengobatan, kini kondisinya telah membaik. Pada Juni lalu, Rodtang berhasil memberikan rumah baru bagi orang tuanya. Pada Mei, Rodtang mendapat bonus senilai 50.000 dolar AS (Rp 733 juta) berkat penampilannya saat mengalahkan Jacob Smith di ONE 157.

"Dari seorang anak miskin, sekarang saya bisa membeli rumah untuk kedua orang tua, membeli rumah untuk diri sendiri serta memiliki uang untuk keluarga.Saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih pada Muay Thai. Tanpa Muay Thai, saya tak akan ada di posisi sekarang," tulisnya dalam sebuah unggahan di Facebook.

Rodtang memang selalu memberikan kredit pada orang tua atas keberhasilan yang telah ia capai.

"Keluarga melakukan segalanya untuk kami anak-anaknya. Mereka selalu pergi meninggalkan rumah di pagi hari dan pulang larut malam. Ayah saya sering bekerja jadi kuli proyek sampai menebang pohon karet. Sementara ibu sering jadi tukang cuci piring di acara pemakaman sampai jadi nelayan," kenang Rodtang.
(yov)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3173 seconds (0.1#10.140)