Dari Keringat Basket Jali Belikan Ibu Cincin
A
A
A
JAKARTA - Suaranya yang lantang baik ketika ia melatih maupun dikala ia mendampingi timnya Tanago Friesan Jakarta berlaga di ajang Srikandi Cup musim ini. Bagi segelintir orang awam yang melihatnya pertama kali, seakan memberikan kesan seorang Abrizalt Hasiholan sosok pelatih galak dan temperamental.
Namun gambaran itu bertolak belakang saat berada di luar lapangan. Pria kelahiran 5 Oktober 37 tahun silam itu bak figur seorang ayah, abang, dan sahabat bagi para pemainnya.
"Saya bukan pelatih galak. Terserah perspektif orang menilainya seperti apa. Mungkin lebih tepatnya pelatih tegas dan disiplin. Saya hanya ingin para pemain saya bermain basket dengan benar dan penuh semangat. Mereka harus tahu untuk meraih prestasi butuh pengorbanan, seperti saat saya merintis untuk menjadi pelatih itu tidak gampang dan perjalanannya naik turun. Mungkin karena logat bicara saya keras dan mengalir darah Medan, makanya orang-orang menilai saya seperti galak," Ujar Abrizalt.
Pria yang akrab disapa Jali itu menambahkan menjadi pelatih basket tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Saat di bangku SD, awalnya ia lebih menyukai bulu tangkis, namun setelah ia melihat aksi Michael Jordan dilayar kaca, ia pun memutar haluan dan bahkan bergabung diklub basket lokal Tornado Tangerang. Meski karier basketnya sebagai pemain tidak sampai kejenjang kompetisi yang lebih tinggi, Jali memutuskan untuk semakin serius khususnya untuk mendalami ilmu kepelatihan. Untuk menambah wawasannya, setiap turnamen basket didaerah Tangerang maupun Jakarta kerap ia sambangi, sampai akhirnya ia mengambil jalur pendidikan olahraga di Kampus UNJ Rawamangun.
Awalnya ia tidak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, yang lebih menginginkan anaknya bisa bekerja seperti pegawai kantoran. Namun tekadnya yang kuat pada akhirnya mengantarkannya ke jalan hidup yang lebih sebagai profesi pelatih basket. Selama 10 tahun lamanya, pengagum Jose Mourinho tersebut bereksperimen menangani SMA 1 Tangerang dengan raihan banyak prestasi.
Namanya pun mulai dikenal luas dan Coach Jali akhirnya mendapat kesempatan dilevel yang lebih tinggi lagi untuk menangani beberapa tim basket di Jakarta seperti Scorpio, Hang Tuah, Gading Muda, SMA Negeri 3, Universitas Esa Unggul, termasuk membawa Pelita Jaya sebagai juara IBL musim lalu (sebagai asisten pelatih). Berbagai gelar juara pun akhirnya berdatangan disetiap tim yang ia latih.
Salah satu yang berkesan adalah saat ia didaulat menjadi The Best Coach DBL tahun 2012 dan membawanya ke Australia bersama DBL All Star dan juga ketika 2 kali (tahun 2015 dan 2017) membawa tim putri Esa Unggul "The Swans" meraih juara Liga Mahasiswa tingkat Nasional.
Namun pencapaian yang akan selalu dikenangnya adalah saat ia akhirnya bisa meyakinkan kedua orang tuanya bangga dengan ketekunannya dan juga membuktikan kepada sebagian orang yang awalnya sempat meremehkan kiprahnya di dunia kepelatihan. "Dari keringat basket saya bisa membelikan ibu saya cincin. Saat itu saya masih jadi pemain dan ada kompetisi tarkam di daerah Jawa Barat. Almarhum Papa dan Mama saya sampai menangis, mereka yang dulu menentang kini sangat bangga. Khususnya Papa yang saat itu dalam kondisi sakit. sebelum ia meninggal ia sempat menyaksikan saya di televisi menjadi juara bersama Pelita Jaya," kenang Jali.
Dalam melatih, kedisiplinan dan kerja keras adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Dia tidak sungkan untuk menegur keras pemainnya di lapangan, bahkan pada saat jeda time out ia akan berbicara keras seperti orang yang sedang memarahi. Nyatanya, karena hal ini, sampai pernah ada orang tua yang berterima kasih kepadanya karena berkat polesan keras Jali, anaknya tersebut kini menjadi pribadi yang disiplin dan lebih baik lagi.
"Menjadi pelatih harus jujur dan tahu sisi psikologi mereka masing-masing. Okelah dilapangan saya keras dan tanpa kompromi, tapi di luar lapangan kita harus rangkul mereka secara manusiawi dan jadi sahabat, serta pendengar keluh kesah mereka yang baik," ujar suami dari Fida Puspita dan ayah Darren Jefferson, yang baru saja ditunjuk sebagai asisten pelatih untuk menangani tim Basket Pon DKI Jakarta.
Namun gambaran itu bertolak belakang saat berada di luar lapangan. Pria kelahiran 5 Oktober 37 tahun silam itu bak figur seorang ayah, abang, dan sahabat bagi para pemainnya.
"Saya bukan pelatih galak. Terserah perspektif orang menilainya seperti apa. Mungkin lebih tepatnya pelatih tegas dan disiplin. Saya hanya ingin para pemain saya bermain basket dengan benar dan penuh semangat. Mereka harus tahu untuk meraih prestasi butuh pengorbanan, seperti saat saya merintis untuk menjadi pelatih itu tidak gampang dan perjalanannya naik turun. Mungkin karena logat bicara saya keras dan mengalir darah Medan, makanya orang-orang menilai saya seperti galak," Ujar Abrizalt.
Pria yang akrab disapa Jali itu menambahkan menjadi pelatih basket tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Saat di bangku SD, awalnya ia lebih menyukai bulu tangkis, namun setelah ia melihat aksi Michael Jordan dilayar kaca, ia pun memutar haluan dan bahkan bergabung diklub basket lokal Tornado Tangerang. Meski karier basketnya sebagai pemain tidak sampai kejenjang kompetisi yang lebih tinggi, Jali memutuskan untuk semakin serius khususnya untuk mendalami ilmu kepelatihan. Untuk menambah wawasannya, setiap turnamen basket didaerah Tangerang maupun Jakarta kerap ia sambangi, sampai akhirnya ia mengambil jalur pendidikan olahraga di Kampus UNJ Rawamangun.
Awalnya ia tidak mendapat dukungan dari kedua orangtuanya, yang lebih menginginkan anaknya bisa bekerja seperti pegawai kantoran. Namun tekadnya yang kuat pada akhirnya mengantarkannya ke jalan hidup yang lebih sebagai profesi pelatih basket. Selama 10 tahun lamanya, pengagum Jose Mourinho tersebut bereksperimen menangani SMA 1 Tangerang dengan raihan banyak prestasi.
Namanya pun mulai dikenal luas dan Coach Jali akhirnya mendapat kesempatan dilevel yang lebih tinggi lagi untuk menangani beberapa tim basket di Jakarta seperti Scorpio, Hang Tuah, Gading Muda, SMA Negeri 3, Universitas Esa Unggul, termasuk membawa Pelita Jaya sebagai juara IBL musim lalu (sebagai asisten pelatih). Berbagai gelar juara pun akhirnya berdatangan disetiap tim yang ia latih.
Salah satu yang berkesan adalah saat ia didaulat menjadi The Best Coach DBL tahun 2012 dan membawanya ke Australia bersama DBL All Star dan juga ketika 2 kali (tahun 2015 dan 2017) membawa tim putri Esa Unggul "The Swans" meraih juara Liga Mahasiswa tingkat Nasional.
Namun pencapaian yang akan selalu dikenangnya adalah saat ia akhirnya bisa meyakinkan kedua orang tuanya bangga dengan ketekunannya dan juga membuktikan kepada sebagian orang yang awalnya sempat meremehkan kiprahnya di dunia kepelatihan. "Dari keringat basket saya bisa membelikan ibu saya cincin. Saat itu saya masih jadi pemain dan ada kompetisi tarkam di daerah Jawa Barat. Almarhum Papa dan Mama saya sampai menangis, mereka yang dulu menentang kini sangat bangga. Khususnya Papa yang saat itu dalam kondisi sakit. sebelum ia meninggal ia sempat menyaksikan saya di televisi menjadi juara bersama Pelita Jaya," kenang Jali.
Dalam melatih, kedisiplinan dan kerja keras adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Dia tidak sungkan untuk menegur keras pemainnya di lapangan, bahkan pada saat jeda time out ia akan berbicara keras seperti orang yang sedang memarahi. Nyatanya, karena hal ini, sampai pernah ada orang tua yang berterima kasih kepadanya karena berkat polesan keras Jali, anaknya tersebut kini menjadi pribadi yang disiplin dan lebih baik lagi.
"Menjadi pelatih harus jujur dan tahu sisi psikologi mereka masing-masing. Okelah dilapangan saya keras dan tanpa kompromi, tapi di luar lapangan kita harus rangkul mereka secara manusiawi dan jadi sahabat, serta pendengar keluh kesah mereka yang baik," ujar suami dari Fida Puspita dan ayah Darren Jefferson, yang baru saja ditunjuk sebagai asisten pelatih untuk menangani tim Basket Pon DKI Jakarta.
(sha)