Pacu Prestasi, Bina Atlet sejak Dini
A
A
A
JAKARTA - Sukses Lalu Muhammad Zohri menjuarai lomba lari 100 meter pada ajang IAAF World U20 Championships di Tampere, Finlandia, membanggakan bangsa Indonesia.
Atas prestasi tersebut, dia mendapatkan banjir hadiah, termasuk hadiah rumah dari pemerintah. Namun, di sisi lain, kisah sukses remaja asal Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut sekaligus menyingkap tabir akan minimnya peran negara dalam mendukung atlet atau olahragawan agar bisa berprestasi maksimal. Pemerintah masih terkesan memprioritaskan hasil akhir, bukan proses pembinaan.
Kondisi di Tanah Air belum sebaik layaknya negara-negara yang selama ini menghasilkan atlet atau olahragawan papan atas dunia seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Prancis, Australia, juga China.
Mereka sudah jauh hari konsisten menerapkan model Pengembangan Atletik Jangka Panjang (LTAD) hingga tak pernah absen menelurkan juara-juara dunia, termasuk kejuaraan dunia mau pun olimpiade.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengakui minimnya proses pembinaan terhadap atlet hingga Indonesia minim prestasi. Padahal, belajar dari munculnya Zohri, Indonesia sejatinya mempunyai banyak generasi muda yang potensial menjadi atlet, baik yang normal mau pun difabel.
“Seperti Zohri ini, kita baru tahu bahwa ada mutiara yang terpendam. Dan, masih banyak mutiara yang belum tergali. Penyakit kita adalah tidak memperhatikan potensi diri kita. Kita tidak tahu kemampuan bangsa ini sehingga akhirnya menemukan mendadak. Padahal, kita punya 250-an juta warga masak mencari yang berpotensi saja tidak bisa,” ungkapnya.
Menurut dia, pembinaan atlet atau olahragawan merupakan tugas semua komponen bangsa. Namun, Kemenpora memiliki tanggung jawab yang besar untuk memunculkan potensi itu. Sayangnya, mereka tidak memaksimalkan perannya sehingga banyak mutiara yang tidak terdeteksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa ini tidak concern dengan pembinaan atlet usia muda.
Belajar dari negara-negara yang sukses melahirkan atlet atau olahragawan kelas dunia, komitmen jangka panjang pada literasi fisik, pelatihan yang baik, hingga perbaikan kemampuan atlet atau olahragawan serta pengembangan keteram pilan olahraga sangat penting untuk menghasilkan atlet berkualitas.
Larry Meadors, pakar dalam penerapan model Long Term Athlete Development (LTAD), menuturkan, latihan yang baik dan pengembangan atlet atau olah ragawan membutuhkan waktu, tidak terjadi dalam se kejap. Terlebih lagi, perubahan paradigma perlu dilakukan untuk pembangunan atlet atau olahragawan berkualitas.
“Literasi fisik merupakan fondasi dan kemampuan manusia bernilai yang dapat digambarkan sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan motivasi, kepercayaan diri, dan kompetensi fisik yang tercermin dalam aktivitas fisik tertentu sebagai bagian integral gaya hidupnya,” ucapnya.
Dia menjelaskan, atletisisme adalah hasil dari pengembangan skill atletik yang melibatkan pembelajaran teknik untuk kelincahan, keseimbangan, koordinasi, fleksibilitas, pelatihan metabolis, kekuatan, waktu reaksi, kecepatan, kekuatan, dan daya tahan. Untuk menerapkan model LTAD, seseorang harus memahami tujuh tahap yang harus dilalui.
Pemerintah, pelatih, dan orang tua atlet harus memahami proses yang harus dilalui seorang atlet agar dapat berhasil. Tujuh tahap dalam pengembangan atlet itu, yakni active start, fundamental, learn to train, train to train, train to compete, train to win, and active for life.
Pakar pengembangan atlet jangka panjang seperti Istvan Balyi, Richard Way, dan Colin Higgs menjelaskan bahwa program pengembangan atlet di sejumlah negara telah di mulai sejak anak usia enam tahun atau pada tahap active start. “Ini semua tentang bermain dan memahami skill gerakan dasar! Anak harus dapat menyenangi aktivitas fisik melalui permainan bebas yang terstruktur atau tidak terstruktur untuk beragam gerakan tubuh,” papar mereka.
Selanjutnya, perkembangan anak tersebut terus dipantau hingga seluruh tahap dilalui. Keberhasilan penerapan pengembangan jangka panjang itu dapat dilihat dari negara-negara yang unggul di bidang olahraga. Prancis telah menerapkan LTAD ini dalam pengembangan para atletnya.
Prancis sebagai pemenang World Cup tahun ini total ada sebanyak 50 pemain World Cup lahir dan besar di Prancis. Prancis memiliki program atletik yang terus diperbaiki, khu susnya sistem akademi sepak bola hingga dapat melahirkan banyak pemain berkualitas dunia. Prancis mulai memperbaiki sistem pengembangan atletik sejak setelah Perang Dunia II.
Perbaikan sistem itu dilakukan karena Prancis mengalami penurunan prestasi pada 1960-an. Prancis pun menjadi salah satu negara Eropa pertama yang menciptakan sistem akademi untuk pembinaan, perekrutan, dan pelatihan para pemain sepak bola muda berbakat.
Banyak para pemain itu tumbuh besar di kawasan imigran di mana orang tua mereka yang keturunan asing menetap di Prancis. Anak-anak imigran itu berlatih melalui sistem akademi Prancis hingga menjadi bintang dalam tim nasional. Mereka termasuk para pemain legendaris seperti Zinedine Zidane dan Patrick Viera yang lahir di Senegal, tapi pindah ke Prancis utara saat masih muda.
Bintang saat ini seperti Paul Pogba dan Kylian Mbappe memiliki ibu Aljazair dan ayah Kamerun yang tinggal di pinggiran Parisian, Bondy. Mereka semua mengikuti program pengembangan atlet yang sangat baik di Prancis. Sistem pengembangan atlet jangka panjang yang diterapkan Prancis itu lah yang akhirnya mampu mencetak para atlet berkualitas yang membanggakan negaranya.
Perlu Sistem Terkonsep dan Terpadu
Peneliti kepelatihan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Siswantoyo mengatakan, pembinaan atlet atau olah ragawan berprestasi memerlukan satu sistem yang terkonsep dan terpadu. Bukan hanya bagi atlet atau olahragawan, melainkan juga bagi pelatih maupun sarana dan prasarana pendukungnya. Bagi atlet atau olahragawan, pembinaan harus bertahap dan berkesinambungan, ya itu mulai dari usia dini, remaja, dan spesialis.
Untuk itu, perlu pelatih yang berkualitas serta yang tidak kalah pentingnya lagi, yaitu sarana dan prasarana yang memadai, termasuk harus dengan kajian riset dan tentunya ditunjang dengan pendanaan yang cukup.
“Ini yang harus menjadi fokus perhatian terhadap pembinaan atlet yang berprestasi,” kata dosen kepelatihan olahraga pencak silat UNY itu. Siswantoyo menjelaskan, hal lain yang harus dipenuhi, yaitu pelatih yang berkualitas dan memiliki lisensi serta pemanfaatan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hasilnya nanti dapat menjadi barometer dalam mencapai hasil yang maksimal dan capaian prestasi yang prima sehingga perlu ada konsep pembinaan yang berstruktur.
“Satu hal lain, yakni perlu pa yung hukum, bukan hanya ditingkat nasional, namun juga di tingkat daerh. Jika dinasional sudah ada UU sistem keolahragaan, maka di daerah, baik tingkat I maupun II juga perlu peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang keolahragaan tersebut,” terangnya.
Menurut Siswantoyo, hal tersebut penting sebab dengan kondisi geografis Indonesia yang berbeda-beda, tentu penerapannya juga tidak sama. Seperti untuk DIY, karena hanya terdiri atas lima daerah tingkat II, pembinaan atletnya juga harus panjang. Tidak sekadar di tingkat klub dan pemerintah daerah, namun juga harus benar, selektif, dan berlapis.
“Jika hanya klub lalu mewakili daerah dan maju ke tingkat yang lebih tinggi, belum cukup. Jika ini yang dilakukan, jelas tidak akan berprestasi di tingkat nasional apalagi intensional,” jelasnya.
Peneliti Pusat Kajian Kepemudaan atau Youth Studies Centre (YouSure), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Oki Rahadianto Sutopo menyebut pembinaan atlet dan anak muda tak bisa sekadar sebuah reaksi atas kemunculan prestasi semata.
Menurutnya, pembinaan anak muda harus ditempatkan pada diversifikasi pilihan karier bagi anak muda. Anak muda yang memilih berkarier menjadi atlet perlu difasilitasi yang lebih holistik baik dalam pendidikan, infrastruktur latihan, termasuk rencana cadangan saat sudah selesai menjadi atlet.
“Pembinaan perlu ditempatkan pada kerangka yang lebih luas. Misalnya terma ]suk rencana cadangan jika masa menjadi atlet sudah selesai. Ini perlu difasilitasi bersama antara pemerintah swasta dan masyarakat,” terangnya.
Menurut dosen Fisipol UGM ini, saat ini banyak anak muda Indonesia mempunyai prestasi yang membanggakan seperti Zohri. Menurut Oki, alangkah baiknya jika reaksi yang muncul atas prestasi-prestasi semacam itu bukan seka dar menjadi “pemadam kebakaran”, melainkan juga merupakan reaksi yang memberi dukungan untuk jangka pajang.
“Support yang sustainable. Jangan sampai saat meraih prestasi menjadi anak emas pemerintah, namun saat prestasi turun jadi terbaik. Semoga tidak seperti itu,” tegasnya. (Syarifuddin/ Abdul Rochim/ Ainun Najib/ Priyo Setyawan)
Atas prestasi tersebut, dia mendapatkan banjir hadiah, termasuk hadiah rumah dari pemerintah. Namun, di sisi lain, kisah sukses remaja asal Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut sekaligus menyingkap tabir akan minimnya peran negara dalam mendukung atlet atau olahragawan agar bisa berprestasi maksimal. Pemerintah masih terkesan memprioritaskan hasil akhir, bukan proses pembinaan.
Kondisi di Tanah Air belum sebaik layaknya negara-negara yang selama ini menghasilkan atlet atau olahragawan papan atas dunia seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Prancis, Australia, juga China.
Mereka sudah jauh hari konsisten menerapkan model Pengembangan Atletik Jangka Panjang (LTAD) hingga tak pernah absen menelurkan juara-juara dunia, termasuk kejuaraan dunia mau pun olimpiade.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mengakui minimnya proses pembinaan terhadap atlet hingga Indonesia minim prestasi. Padahal, belajar dari munculnya Zohri, Indonesia sejatinya mempunyai banyak generasi muda yang potensial menjadi atlet, baik yang normal mau pun difabel.
“Seperti Zohri ini, kita baru tahu bahwa ada mutiara yang terpendam. Dan, masih banyak mutiara yang belum tergali. Penyakit kita adalah tidak memperhatikan potensi diri kita. Kita tidak tahu kemampuan bangsa ini sehingga akhirnya menemukan mendadak. Padahal, kita punya 250-an juta warga masak mencari yang berpotensi saja tidak bisa,” ungkapnya.
Menurut dia, pembinaan atlet atau olahragawan merupakan tugas semua komponen bangsa. Namun, Kemenpora memiliki tanggung jawab yang besar untuk memunculkan potensi itu. Sayangnya, mereka tidak memaksimalkan perannya sehingga banyak mutiara yang tidak terdeteksi. Kondisi ini menunjukkan bahwa bangsa ini tidak concern dengan pembinaan atlet usia muda.
Belajar dari negara-negara yang sukses melahirkan atlet atau olahragawan kelas dunia, komitmen jangka panjang pada literasi fisik, pelatihan yang baik, hingga perbaikan kemampuan atlet atau olahragawan serta pengembangan keteram pilan olahraga sangat penting untuk menghasilkan atlet berkualitas.
Larry Meadors, pakar dalam penerapan model Long Term Athlete Development (LTAD), menuturkan, latihan yang baik dan pengembangan atlet atau olah ragawan membutuhkan waktu, tidak terjadi dalam se kejap. Terlebih lagi, perubahan paradigma perlu dilakukan untuk pembangunan atlet atau olahragawan berkualitas.
“Literasi fisik merupakan fondasi dan kemampuan manusia bernilai yang dapat digambarkan sebagai kemampuan seseorang untuk mengendalikan motivasi, kepercayaan diri, dan kompetensi fisik yang tercermin dalam aktivitas fisik tertentu sebagai bagian integral gaya hidupnya,” ucapnya.
Dia menjelaskan, atletisisme adalah hasil dari pengembangan skill atletik yang melibatkan pembelajaran teknik untuk kelincahan, keseimbangan, koordinasi, fleksibilitas, pelatihan metabolis, kekuatan, waktu reaksi, kecepatan, kekuatan, dan daya tahan. Untuk menerapkan model LTAD, seseorang harus memahami tujuh tahap yang harus dilalui.
Pemerintah, pelatih, dan orang tua atlet harus memahami proses yang harus dilalui seorang atlet agar dapat berhasil. Tujuh tahap dalam pengembangan atlet itu, yakni active start, fundamental, learn to train, train to train, train to compete, train to win, and active for life.
Pakar pengembangan atlet jangka panjang seperti Istvan Balyi, Richard Way, dan Colin Higgs menjelaskan bahwa program pengembangan atlet di sejumlah negara telah di mulai sejak anak usia enam tahun atau pada tahap active start. “Ini semua tentang bermain dan memahami skill gerakan dasar! Anak harus dapat menyenangi aktivitas fisik melalui permainan bebas yang terstruktur atau tidak terstruktur untuk beragam gerakan tubuh,” papar mereka.
Selanjutnya, perkembangan anak tersebut terus dipantau hingga seluruh tahap dilalui. Keberhasilan penerapan pengembangan jangka panjang itu dapat dilihat dari negara-negara yang unggul di bidang olahraga. Prancis telah menerapkan LTAD ini dalam pengembangan para atletnya.
Prancis sebagai pemenang World Cup tahun ini total ada sebanyak 50 pemain World Cup lahir dan besar di Prancis. Prancis memiliki program atletik yang terus diperbaiki, khu susnya sistem akademi sepak bola hingga dapat melahirkan banyak pemain berkualitas dunia. Prancis mulai memperbaiki sistem pengembangan atletik sejak setelah Perang Dunia II.
Perbaikan sistem itu dilakukan karena Prancis mengalami penurunan prestasi pada 1960-an. Prancis pun menjadi salah satu negara Eropa pertama yang menciptakan sistem akademi untuk pembinaan, perekrutan, dan pelatihan para pemain sepak bola muda berbakat.
Banyak para pemain itu tumbuh besar di kawasan imigran di mana orang tua mereka yang keturunan asing menetap di Prancis. Anak-anak imigran itu berlatih melalui sistem akademi Prancis hingga menjadi bintang dalam tim nasional. Mereka termasuk para pemain legendaris seperti Zinedine Zidane dan Patrick Viera yang lahir di Senegal, tapi pindah ke Prancis utara saat masih muda.
Bintang saat ini seperti Paul Pogba dan Kylian Mbappe memiliki ibu Aljazair dan ayah Kamerun yang tinggal di pinggiran Parisian, Bondy. Mereka semua mengikuti program pengembangan atlet yang sangat baik di Prancis. Sistem pengembangan atlet jangka panjang yang diterapkan Prancis itu lah yang akhirnya mampu mencetak para atlet berkualitas yang membanggakan negaranya.
Perlu Sistem Terkonsep dan Terpadu
Peneliti kepelatihan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Siswantoyo mengatakan, pembinaan atlet atau olah ragawan berprestasi memerlukan satu sistem yang terkonsep dan terpadu. Bukan hanya bagi atlet atau olahragawan, melainkan juga bagi pelatih maupun sarana dan prasarana pendukungnya. Bagi atlet atau olahragawan, pembinaan harus bertahap dan berkesinambungan, ya itu mulai dari usia dini, remaja, dan spesialis.
Untuk itu, perlu pelatih yang berkualitas serta yang tidak kalah pentingnya lagi, yaitu sarana dan prasarana yang memadai, termasuk harus dengan kajian riset dan tentunya ditunjang dengan pendanaan yang cukup.
“Ini yang harus menjadi fokus perhatian terhadap pembinaan atlet yang berprestasi,” kata dosen kepelatihan olahraga pencak silat UNY itu. Siswantoyo menjelaskan, hal lain yang harus dipenuhi, yaitu pelatih yang berkualitas dan memiliki lisensi serta pemanfaatan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Hasilnya nanti dapat menjadi barometer dalam mencapai hasil yang maksimal dan capaian prestasi yang prima sehingga perlu ada konsep pembinaan yang berstruktur.
“Satu hal lain, yakni perlu pa yung hukum, bukan hanya ditingkat nasional, namun juga di tingkat daerh. Jika dinasional sudah ada UU sistem keolahragaan, maka di daerah, baik tingkat I maupun II juga perlu peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang keolahragaan tersebut,” terangnya.
Menurut Siswantoyo, hal tersebut penting sebab dengan kondisi geografis Indonesia yang berbeda-beda, tentu penerapannya juga tidak sama. Seperti untuk DIY, karena hanya terdiri atas lima daerah tingkat II, pembinaan atletnya juga harus panjang. Tidak sekadar di tingkat klub dan pemerintah daerah, namun juga harus benar, selektif, dan berlapis.
“Jika hanya klub lalu mewakili daerah dan maju ke tingkat yang lebih tinggi, belum cukup. Jika ini yang dilakukan, jelas tidak akan berprestasi di tingkat nasional apalagi intensional,” jelasnya.
Peneliti Pusat Kajian Kepemudaan atau Youth Studies Centre (YouSure), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Oki Rahadianto Sutopo menyebut pembinaan atlet dan anak muda tak bisa sekadar sebuah reaksi atas kemunculan prestasi semata.
Menurutnya, pembinaan anak muda harus ditempatkan pada diversifikasi pilihan karier bagi anak muda. Anak muda yang memilih berkarier menjadi atlet perlu difasilitasi yang lebih holistik baik dalam pendidikan, infrastruktur latihan, termasuk rencana cadangan saat sudah selesai menjadi atlet.
“Pembinaan perlu ditempatkan pada kerangka yang lebih luas. Misalnya terma ]suk rencana cadangan jika masa menjadi atlet sudah selesai. Ini perlu difasilitasi bersama antara pemerintah swasta dan masyarakat,” terangnya.
Menurut dosen Fisipol UGM ini, saat ini banyak anak muda Indonesia mempunyai prestasi yang membanggakan seperti Zohri. Menurut Oki, alangkah baiknya jika reaksi yang muncul atas prestasi-prestasi semacam itu bukan seka dar menjadi “pemadam kebakaran”, melainkan juga merupakan reaksi yang memberi dukungan untuk jangka pajang.
“Support yang sustainable. Jangan sampai saat meraih prestasi menjadi anak emas pemerintah, namun saat prestasi turun jadi terbaik. Semoga tidak seperti itu,” tegasnya. (Syarifuddin/ Abdul Rochim/ Ainun Najib/ Priyo Setyawan)
(nfl)