Memahami Perasaan Oezil
A
A
A
KALLANG - Semua tahu Mesut Oezil memiliki darah Turki meski dirinya mengenakan jerseytim nasional Jerman saat mengangkat trofi Piala Dunia. Oezil sudah menjadi bagian dari skuad Der PanzerU-17 pada September 2006. Oezil juga tak pernah menyembunyikan akar negaranya. Dalam banyak kesempatan, dia mengatakan nenek moyangnya adalah etnis Turki dari Devrek, Zonguldak, di Turki Barat Laut, meski ada sumber mengklaim nenek moyang Oezil adalah etnis Kurdi.
“Teknik dan perasaan saya dalam permainan sepak bola adalah sisi Turki. Tapi, disiplin, sikap, dan komitmen saya untuk Jerman,” kata Oezil, dalam sebuah kesempatan. Komitmen kepada Jerman diperlihatkan dari keputusan nya membela Der Panzersejak usia dini. Saat dia masih memiliki pilihan membela Turki, dia memutuskan mengenakan jersey Jerman.
Mulai dari usia di bawah 17 tahun sampai senior dan memenangkan gelar Piala Dunia 2014. “Sementara saya dibesarkan di Jerman, latar belakang keluarga saya berakar kuat di Turki. Saya punya dua hati, satu Jerman dan satu Turki,” tandasnya. Tapi, kemarin, pemain yang pernah bermain untuk Schalke, Warder Bremen, dan Real Madrid itu memilih meninggal kan timnas Jerman dengan segala kemarahan. Penyebab nya, dia merasa diperlakukan tidak adil hanya karena pernah melakukan foto bersama Presi den Turki Recep Tayyip Erdogan di London, Minggu (13/5).
“Meskipun membayar pajak di Jerman, menyumbangkan fasilitas ke sekolah Jerman, dan memenangkan Piala Dunia bersama timnas Jerman pada 2014, saya masih belum diterima di masyarakat. Saya diperlaku kan berbeda,” tulis Oezil, di Twitter-nya yang langsung dirilis banyak media. Oezil menulis di akun media sosial dalam bentuk rilis tiga lembar. Lembar pertama di-postingpada Minggu (22/7) sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Dia memberi peng antar “Butuh beberapa pekan untuk melakukan refleksi dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan penjelasan atas kejadian beberapa waktu lalu.”
Dalam tiga lembar rilis yang diunggah, Oezil membaginya menjadi tiga bab. Pertama tentang latar belakang pertemuannya dengan Erdogan. Kedua, responsnya terhadap media dan sponsor. Ketiga, protesnya kepada Presiden DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) Reinhard Grinde. Terkait Erdogan, Oezil menjelaskan jika pertemuan itu tak ada hubungannya dengan politik, karena dia adalah pemain sepak bola dan bukan politisi. Dia menegaskan fotonya bersama Erdogan bukan soal politik atau untuk mendulang suara. Ini tentang cara dia menghargai pemimpin tertinggi di negara tempat akar keluarga.
“Apa pun hasil pemilu Turki, saya masih akan tetap berfoto dengannya. Karena, saya adalah pemain sepak bola, bukan politisi,” tulis gelandang berusia 29 tahun tersebut. Pada poin kedua, tentang media dan sponsor, Oezil merasa kecewa dengan perlakuan yang diberikan media Jerman kepadanya. Dia menganggap media sudah memiliki standar ganda hanya karena dia memiliki darah Turki. Sebagai perbandingan, dia menyebut kasus Lothar Mattheus, yang meme nangkan Piala Dunia 1990 bersama timnas Jerman Barat pada saat itu. Mattheus yang bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin barubaru ini ternyata hampir tidak mendapat kritik dari media.
”Media Jerman berulang kali menyalahkan latar belakang ganda saya dan foto biasa sebagai penyebab prestasi buruk di Piala Dunia dan menimpakannya ke pundak saya atas nama seluruh anggota skuad,” tuturnya. Oezil mengatakan semua dilakukan untuk memajukan tujuan politik pihak tertentu. Media tidak mengkritik penampilannya di lapangan, penampilan tim keseluruhan, tapi mengkritik nenek moyangnya yang berasal dari Turki dan bagaimana dia dibesarkan. Semua itu dianggap melewati batas garis pribadi yang seharusnya tidak boleh dilanggar media.
“Meskipun media Jerman telah menggambarkan sesuatu yang berbeda, kebenarannya adalah jika tidak bertemu dengan Presiden Turki, berarti saya tidak menghormati akar leluhur saya. Saya yakin Presiden Turki bangga dengan keberadaan saya hari ini,” ungkapnya. Poin ketiga adalah tentang sikap Grindel. Menurut dia, orang dengan track record diskriminatif seharusnya tidak berada di federasi sepak bola tertinggi negara dengan banyaknya ragam keturunan. Sikap tersebut tidak mencerminkan pemain yang seharusnya mereka wakili. Dia menolak menjadi kambing hitam karena ketidakmampuan Grindel mengelola federasi dengan benar.
“Di mata Grindel dan para pendukungnya, saya orang Jerman ketika kami menang. Tapi, saya seorang imigran saat kalah. Saya merasa tidak diinginkan dan berpikir bahwa apa yang telah saya capai sejak debut internasional saya di tahun 2009 telah dilupakan,” katanya. Sebelumnya Manajer Tim Jerman Oliver Bierhoff mengatakan, Pelatih Joachim Loew seharusnya mempertimbangkan tidak memasukkan Oezil dalam skuad. Sementara Grindel mengatakan kepada harian olahraga Kickerjika Oezil “mengecewakan banyak fans“. Pada akhirnya, Oezil mengambil keputusan mundur dari timnas Jerman.
“Dengan berat hati dan setelah banyak pertimbangan, saya tidak lagi bermain untuk Jerman di tingkat internasional karena ada perasaan rasisme dan tidak dihormati. Saya dulu memakai baju Jerman dengan kebanggaan dan kegembiraan, tapi sekarang tidak,” tandasnya.
“Teknik dan perasaan saya dalam permainan sepak bola adalah sisi Turki. Tapi, disiplin, sikap, dan komitmen saya untuk Jerman,” kata Oezil, dalam sebuah kesempatan. Komitmen kepada Jerman diperlihatkan dari keputusan nya membela Der Panzersejak usia dini. Saat dia masih memiliki pilihan membela Turki, dia memutuskan mengenakan jersey Jerman.
Mulai dari usia di bawah 17 tahun sampai senior dan memenangkan gelar Piala Dunia 2014. “Sementara saya dibesarkan di Jerman, latar belakang keluarga saya berakar kuat di Turki. Saya punya dua hati, satu Jerman dan satu Turki,” tandasnya. Tapi, kemarin, pemain yang pernah bermain untuk Schalke, Warder Bremen, dan Real Madrid itu memilih meninggal kan timnas Jerman dengan segala kemarahan. Penyebab nya, dia merasa diperlakukan tidak adil hanya karena pernah melakukan foto bersama Presi den Turki Recep Tayyip Erdogan di London, Minggu (13/5).
“Meskipun membayar pajak di Jerman, menyumbangkan fasilitas ke sekolah Jerman, dan memenangkan Piala Dunia bersama timnas Jerman pada 2014, saya masih belum diterima di masyarakat. Saya diperlaku kan berbeda,” tulis Oezil, di Twitter-nya yang langsung dirilis banyak media. Oezil menulis di akun media sosial dalam bentuk rilis tiga lembar. Lembar pertama di-postingpada Minggu (22/7) sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Dia memberi peng antar “Butuh beberapa pekan untuk melakukan refleksi dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan penjelasan atas kejadian beberapa waktu lalu.”
Dalam tiga lembar rilis yang diunggah, Oezil membaginya menjadi tiga bab. Pertama tentang latar belakang pertemuannya dengan Erdogan. Kedua, responsnya terhadap media dan sponsor. Ketiga, protesnya kepada Presiden DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) Reinhard Grinde. Terkait Erdogan, Oezil menjelaskan jika pertemuan itu tak ada hubungannya dengan politik, karena dia adalah pemain sepak bola dan bukan politisi. Dia menegaskan fotonya bersama Erdogan bukan soal politik atau untuk mendulang suara. Ini tentang cara dia menghargai pemimpin tertinggi di negara tempat akar keluarga.
“Apa pun hasil pemilu Turki, saya masih akan tetap berfoto dengannya. Karena, saya adalah pemain sepak bola, bukan politisi,” tulis gelandang berusia 29 tahun tersebut. Pada poin kedua, tentang media dan sponsor, Oezil merasa kecewa dengan perlakuan yang diberikan media Jerman kepadanya. Dia menganggap media sudah memiliki standar ganda hanya karena dia memiliki darah Turki. Sebagai perbandingan, dia menyebut kasus Lothar Mattheus, yang meme nangkan Piala Dunia 1990 bersama timnas Jerman Barat pada saat itu. Mattheus yang bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin barubaru ini ternyata hampir tidak mendapat kritik dari media.
”Media Jerman berulang kali menyalahkan latar belakang ganda saya dan foto biasa sebagai penyebab prestasi buruk di Piala Dunia dan menimpakannya ke pundak saya atas nama seluruh anggota skuad,” tuturnya. Oezil mengatakan semua dilakukan untuk memajukan tujuan politik pihak tertentu. Media tidak mengkritik penampilannya di lapangan, penampilan tim keseluruhan, tapi mengkritik nenek moyangnya yang berasal dari Turki dan bagaimana dia dibesarkan. Semua itu dianggap melewati batas garis pribadi yang seharusnya tidak boleh dilanggar media.
“Meskipun media Jerman telah menggambarkan sesuatu yang berbeda, kebenarannya adalah jika tidak bertemu dengan Presiden Turki, berarti saya tidak menghormati akar leluhur saya. Saya yakin Presiden Turki bangga dengan keberadaan saya hari ini,” ungkapnya. Poin ketiga adalah tentang sikap Grindel. Menurut dia, orang dengan track record diskriminatif seharusnya tidak berada di federasi sepak bola tertinggi negara dengan banyaknya ragam keturunan. Sikap tersebut tidak mencerminkan pemain yang seharusnya mereka wakili. Dia menolak menjadi kambing hitam karena ketidakmampuan Grindel mengelola federasi dengan benar.
“Di mata Grindel dan para pendukungnya, saya orang Jerman ketika kami menang. Tapi, saya seorang imigran saat kalah. Saya merasa tidak diinginkan dan berpikir bahwa apa yang telah saya capai sejak debut internasional saya di tahun 2009 telah dilupakan,” katanya. Sebelumnya Manajer Tim Jerman Oliver Bierhoff mengatakan, Pelatih Joachim Loew seharusnya mempertimbangkan tidak memasukkan Oezil dalam skuad. Sementara Grindel mengatakan kepada harian olahraga Kickerjika Oezil “mengecewakan banyak fans“. Pada akhirnya, Oezil mengambil keputusan mundur dari timnas Jerman.
“Dengan berat hati dan setelah banyak pertimbangan, saya tidak lagi bermain untuk Jerman di tingkat internasional karena ada perasaan rasisme dan tidak dihormati. Saya dulu memakai baju Jerman dengan kebanggaan dan kegembiraan, tapi sekarang tidak,” tandasnya.
(don)