Ini Dia, Kisah Sang Tiran Para Gladiator di Abad Modern

Kamis, 08 November 2018 - 14:54 WIB
Ini Dia, Kisah Sang...
Ini Dia, Kisah Sang Tiran Para Gladiator di Abad Modern
A A A
DANA White berhasil mengangkat olahraga mix martial arts (MMA) mendunia berkat bisnis olahraga yang dia dirikan, Ultimate Fighting Championship (UFC).

Di tengah kesuksesan tersebut, Dana White menjelma menjadi pria yang paling dibenci orang sejagat. Seperti apa kisah perjalanan dan kebencian itu berawal? June White, warga Connecticut, Amerika Serikat, menatap nanar layar televisi di ruang tengah rumahnya.
Dia melihat seorang pria berbadan besar dengan kepala plontos terlihat begitu agresif dan kasar saat berbicara. Berkali-kali June mengurut dada setiap kali pria muda berotot tersebut menarik mukanya dengan pongah.

“Bukan, dia bukan seperti itu,” ucap June White dalam hati seperti dikutip dari buku biografi June White, Through A mother’s Eyes, The Dana White Story. Pria tersebut tak lain, tak bukan adalah Dana White, Presiden Ultimate Fighting Championship (UFC) yang tengah naik daun hingga kini.

Kiprah Dana White memang luar biasa. Dia mengubah UFC menjadi brand olahraga dengan nilai yang luar biasa. ESPN malah mengeluarkan uang sebesar USD1,5 miliar atau setara Rp22,1 triliun agar bisa menayangkan seluruh pertandingan UFC. Bahkan, Forbes menghitung nilai merek UFC saat ini mencapai USD7 miliar atau mencapai Rp103 triliun. Tangan keras Dana White berhasil menciptakan jutawan-jutawan baru seperti Conor McGregor, Ronda Rhousey, Khabib Nurmagomedov, Holly Holmes, dan lain-lainnya.

Dengan kesuksesan tersebut, seharusnya June White bahagia. Sebaliknya di buku tersebut terselip sebuah kerinduan June White akan kepribadian sebenarnya tentang anak lelaki satu-satunya itu. “Anak yang sangat saya kenal berubah menjadi orang yang begitu memuakkan. Dia egois, arogan, dan kejam. Dia tidak lagi seperti dulu yang benar-benar baik, mengutamakan pertemanan dan bersahabat ke semua orang. Dia tiran yang tidak memiliki perasaan,” tulis June White.

Kekecewaan tersebut sebelum ditumpahkan dalam sebuah biografi, terlebih dulu sudah dikirimkan langsung ke Dana White melalui surat elektronik. Alih-alih mendapatkan jawaban yang mesra, June White benar-benar kecewa membaca respons anaknya. “Siapa kamu sebenarnya bisa seenaknya berbicara seperti itu. Tidak ada orang yang bisa mengucapkan hal-hal seperti itu ke saya,” tulis Dana White. Jawaban tersebut memang terkesan kejam dan tanpa perasaan.

Dana White bahkan tidak pernah mengakui dirinya adalah orang yang ramah dan bersahabat sejak dulu. “Saya lebih agresif lagi pada waktu muda dulu. Saat saya memulai bisnis ini, saya sadar bahwa saya memang harus agresif,” ujar pria kelahiran 28 Juli 1969 tersebut kepada Menís Journal.

Perjuangan Dana White membangun industri UFC memang bukan semudah membalikkan telapak tangan. Kisahnya berawal ketika anak kandung June White dan Dana White Sr tersebut memutuskan untuk mewujudkan keinginannya menjadi seorang petinju.

Peter Welch, pelatih tinju Dana White, selalu ingat saat Dana White datang kepadanya minta untuk dilatih. Setiap kali ada pemuda yang ingin jadi petinju, Peter Welch selalu membuat mereka putus asa karena langsung berlatih tanding dengan petinju yang lebih profesional. Namun, Dana White berbeda dari anak-anak muda tersebut. Dia tidak kenal takut dan selalu bangkit meskipun dihajar berkali-kali. “Saat dagunya kena hajar, dia sudah terlihat sangat siap. Dia benar-benar sudah siap jatuh bangun di olahraga ini,” kenang Peter Welch.

Bukan itu saja yang membuat Peter Welch terkesan. Dia juga kagum dengan semangat pantang menyerah Dana White. Saat berlatih tinju bersamanya di Boston, Dana White mengisi waktu menjadi pelatih tinju di berbagai wilayah di Boston. Karena tidak punya mobil, Dana White selalu menggunakan sepeda. Bahkan, saat tidak ada sepeda, dia menggantinya dengan berlari. “Saya ingat saat dia bersepeda kala musim salju yang sangat tebal,” ucap Peter Welch.

Namun, perjuangan menjadi petinju berakhir ketika Dana White sadar tidak menemukan pintu yang dapat terbuka buat dirinya. Dia akhirnya pindah ke Las Vegas dan banting setir bekerja di hotel sebagai petugas parkir. Di Las Vegas, kemampuan ekonomi Dana White sudah cukup stabil. Setiap bulan dia terima gaji, bahkan bonus yang besar dari tip yang diberikan tamu-tamu hotel. Namun, jiwanya masih tidak tenang. Dia merasa masih ada yang kurang.

Dia ingin kembali ke dunianya yang begitu membuatnya bahagia. “Akhirnya saya langsung pergi dari hotel. Temanteman saya keheranan apa yang sedang saya korbankan. Saya bilang ke mereka, saya akan terjun ke bisnis olahraga bela diri,” tutur Dana White.

Dana White tidak serta-merta meninggalkan pekerjaannya tanpa pikiran panjang. Ternyata sebelumnya dia bertemu dengan temannya semasa sekolah menengah atas, Lorenzo Fertitta, di sebuah pesta pernikahan temannya. Lorenzo bersama kakaknya, Frank Fertitta, memiliki sebuah kasino di Las Vegas. Dari pertemuan itulah, ketiganya bersepakat untuk mencoba masuk ke bisnis olahraga bela diri. Target mereka saat itu mengambil alih UFC yang bisnisnya tengah terpuruk.

Pada tahun 1990-an, UFC memang benar-benar ambruk. Tayangan mereka ditolak oleh seluruh negara bagian karena tidak memenuhi standar keamanan olahraga. Jumlah permintaan pay per view juga sangat minim. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengambil alih UFC. Pada 2001 saat UFC dinyatakan bangkrut, Fertitta bersaudara bersama Dana White menguasai UFC. Dana White diberikan saham sebesar 10 persen karena Fertitta bersaudara sama sekali tidak paham dengan bisnis olahraga bela diri.

Membangun kembali UFC yang sudah berdarahdarah, bukan perkara mudah. Dana White percaya untuk mengangkat kembali nama UFC, dia harus agresif dan tanpa kompromi. Adapun yang paling pertama dia harus ubah adalah stigma bahwa olahraga bela diri campuran adalah olahraga yang berbahaya.

Dia meminta Fertitta bersaudara untuk membiayainya mengeluarkan uang untuk kampanye tersebut. Pada saat bersamaan Dana White merestrukturisasi organisasi UFC dan membuat peraturan yang jelas dan aman buat para petarung. Dia kemudian memperkenalkan sistem ronde dengan batasan waktu agar stamina petarung tidak kedodoran. Dari perubahan struktural itulah, akhirnya 44 negara bagian yang menolak tayangan UFC melunak dan memberikan lampu hijau.

“Tidak pernah ada orang yang mati karena berlaga di UFC,” sesumbar Dana White. Setelahnya, dia kemudian mengontrak petarungpetarung terbaik sejagat. Cara yang dia lakukan juga tanpa kompromi.

Bahkan, dia kerap bersitegang dengan promotor lain karena membajak para petarung mereka dengan cara yang kasar. Meski demikian, Dana White tetap jalan terus dan malah berhasil membidani petarung-petarung tangguh seperti Conor McGregor, Ronda Rhousey, Holly Holmes, Khabib Nurmagomedov, dan lain-lainnya.

Dia berhasil mengubah mereka tidak hanya menjadi petarung, juga jadi petarung superkaya. Puncak keberhasilannya terlihat saat Fertitta bersaudara pada 2016 menjual saham UFC mereka kepada WME-IMG dengan total angka USD4 juta (Rp58,8 triliun).

Menariknya lagi, di tengah pergantian pemilikan tersebut, WME-IMG malah menambah porsi saham Dana White, sekaligus meneruskan jabatannya sebagai presiden UFC. “Saya tidak pernah melihat ke belakang, apa yang sudah berhasil saya lakukan. Saya selalu melihat ke depan dan apa yang ingin saya capai,” ucap Dana White.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1128 seconds (0.1#10.140)