Menghargai Keragaman dan Melawan Rasisme Bisa Lewat Sepak Bola
A
A
A
PERISTIWA itu sudah terjadi tahun lalu, tepatnya pada 10 November 2018, saat Brisbane Roar bertandang ke markas Western Sydney in Glen Willow Regional Sporting Complex, Mudgee. Pertandingan itu tak terlalu ramai penonton sehingga teriakan mereka terdengar jelas dari lapangan. Pada laga berakhir imbang tersebut, Young mengaku salah satu penonton memanggilnya kera.
“Pria tersebut berusia sekitar 60 tahun. Bahkan saat saya melihat ke arahnya, tidak terlihat penyesalan di wajahnya dan dia mengulanginya. Aku tidak senang dengan ucapan itu,” kata Young dikutip ABC.netsaat itu. Young memang memiliki darah beragam. Lahir di Australia, tapi memiliki darah campuran Sri Lanka dan Skotlandia.
Penjaga gawang berusia 33 tahun itu juga tidak memilih Sri Lanka, Skotlan dia, atau Australia, sebagai timnas yang dibelanya karena dia mengenakan jerseytim Tiga Singa, Inggris dari usia 18 sampai dengan 20 tahun. Pemain yang memperkuat Brisbane Roar sejak 2014 itu mengakui apa yang dilakukan suporter tersebut adalah tindakan individu sehingga tak bisa disebut sebagai aksi pendukung tuan rumah.
Masalahnya, kata Young, saat itu banyak remaja dan juga keluarga pemain. Padahal dengan usianya yang mencapai 60 tahun, seharusnya lebih memahami tentang hal itu. “Saya sudah cukup berpengalaman dalam karier saya. Rasisme adalah subjek sangat sensitif bagi banyak orang. Beberapa orang kehilangan nyawa mereka karena rasisme. Itu tema yang sangat sensitif,” katanya.
Insiden Young tersebut membuat CEO Brisbane Roar David Pourre mengatakan tidak akan pernah ada ruang untuk rasisme di sepak bola. Polisi dan asosiasi sepak bola Australia sudah mengambil tegas atas insiden tersebut. Pourre menjelaskan, pihak klub telah memberi tahu apaapa hal yang boleh dikatakan dan tidak. Pemain diingatkan agar apa yang dikatakan tidak memiliki dampak sehingga tidak ada ruang tumbuhnya rasisme.
Tapi, jika ada, harus ditangani serius. “Tapi, kami memiliki pemain yang memahami dan mereka berharap agar orangorang terus dididik lalu diberi hukuman karena memang tidak ada tempat untuk intoleransi,” kata Pourre kepada wartawan Indonesia termasuk KORAN SINDO di tempat latihan mereka di Heritage Park yang menelan biaya 9 juta dolar Australia.
Brisbane Roar, menurut Pourre, seperti klub lain, memiliki latar belakang pemain berbeda dari banyak negara, budaya, dan suku. Klub berusaha membantu pemainnya beradaptasi dengan lingkungan baru di Australia. Jadi, saat membawa seorang pemain internasional, pihak klub melakukan banyak penelitian pada individu dan keluarga mereka karena ingin membuat mereka merasa nyaman dan seperti di rumah sendiri.
Klub memberi mereka orientasi di sekitar tempat mereka tinggal, di mana mereka tinggal, menghabiskan waktu bersama pemain tersebut, mendapatkan apartemen atau rumah yang tepat. Klub membantu pemain asing melihat sekolah untuk anakanak mereka dan memperkenalkan budaya di Australia.
“Kami berusaha memosisikan mereka sebagai bagian dari satu keluarga besar dan tidak ada yang terisolasi sama sekali. Karena itulah yang kami coba dan berikan ketika seorang internasional, tidak peduli dari negara mana dan mereka berasal,” katanya.
Kapten tim Matt McKay menambahkan, timnya memiliki lima pemain asing dan itu membuat rekan-rekannya saling belajar memahami hal berbeda mulai dari Denmark (Thomas Kristensen, Tobias Mikkelsen), Prancis (Eric Bautheac), Spanyol (Alex Lopez), dan Henrique dari Brasil yang merupakan pengungsi dan sudah 10 tahun di Australia.
“Saya sendiri dibesarkan di Selatan Brisbane, tapi saya tinggal di komunitas dan komunitas Asia karena pernah bermain di China dan Korea. Saat itu anda bertemu orang baru mencoba makanan berbeda. Jadi ya, itu, saya pikir penting tim kami menyatukan semua orang. Sangat bangga Brisbane membawa budaya yang berbeda. Kami adalah klub inklusif. Kami menyambut semua orang,” katanya.
Dia menegaskan semua tindakan rasisme tidak bisa dibenarkan. Sepak bola telah mengambil langkah besar dalam menghilangkan itu dan akan terus dibasmi. “Anda tahu, ini adalah permainan yang begitu indah sehingga kami memiliki begitu banyak orang berbeda dan bahwa siapa pun yang terlibat bisa bermain hebat,” katanya. Sepak bola juga menjadi cara Football United menghilangkan sekat masyarakat sejak usia dini.
Melalui sepak bola, Football United ingin membuat para imigran atau pengungsi bisa beradaptasi serta bersosia lisasi dengan lingkungan barunya. Bersama teman-teman barunya, mungkin sama-sama pengungsi atau dengan warga asli yang ikut dalam program Football United. "Masih ada sedikit beberapa ketegangan rasial. Jadi, apa yang ingin dilakukan United Football adalah mencoba menghubungkan kedua kelompok itu bersama-sama melalui sepak bola.
Jadi, kami membantu mencoba dan menggunakan sepak bola sebagai alat menjembatani kesenjangan, mengurangi ketegangan,” kata Assmaah Helal, Operations Manager Football United kepada wartawan Indonesia termasuk KORAN SINDO di kantornya.
Penyatuan itu tidak hanya dilakukan di dalam lapangan olahraga dengan pelatihan sepak bola dan beberapa cabang lainnya, tapi juga pemberian pelatihan soft skil mulai dari menumbuhkan karakter, kepercayaan diri, dan meningkatkan ke mampuan berbahasa asing agar bisa beradaptasi dengan tempat baru.
Intinya, bagaimana memberi alat untuk membantu mereka menyelesaikan masalah dan memiliki tanggung jawab ini. “Saat memberi pelatihan di usia muda, saya tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan, tapi membantu memberi alat sehingga bisa memutuskan apa yang perlu dilakukan,” tuturnya.
Tentu dengan segala konsekuensinya, seperti mengatakan jangan lakukan ini dan jangan lakukan itu. Anda telah kehilangan mereka nanti. Namun, bukan berarti kami mengatakan lakukan apa pun yang anda inginkan. “Bagaimana anda sebagai masyarakat berinteraksi dengan manusia, memberi kan advokasi, kami berbicara tentang empati juga, dan menghargai keragaman,” katanya.
“Pria tersebut berusia sekitar 60 tahun. Bahkan saat saya melihat ke arahnya, tidak terlihat penyesalan di wajahnya dan dia mengulanginya. Aku tidak senang dengan ucapan itu,” kata Young dikutip ABC.netsaat itu. Young memang memiliki darah beragam. Lahir di Australia, tapi memiliki darah campuran Sri Lanka dan Skotlandia.
Penjaga gawang berusia 33 tahun itu juga tidak memilih Sri Lanka, Skotlan dia, atau Australia, sebagai timnas yang dibelanya karena dia mengenakan jerseytim Tiga Singa, Inggris dari usia 18 sampai dengan 20 tahun. Pemain yang memperkuat Brisbane Roar sejak 2014 itu mengakui apa yang dilakukan suporter tersebut adalah tindakan individu sehingga tak bisa disebut sebagai aksi pendukung tuan rumah.
Masalahnya, kata Young, saat itu banyak remaja dan juga keluarga pemain. Padahal dengan usianya yang mencapai 60 tahun, seharusnya lebih memahami tentang hal itu. “Saya sudah cukup berpengalaman dalam karier saya. Rasisme adalah subjek sangat sensitif bagi banyak orang. Beberapa orang kehilangan nyawa mereka karena rasisme. Itu tema yang sangat sensitif,” katanya.
Insiden Young tersebut membuat CEO Brisbane Roar David Pourre mengatakan tidak akan pernah ada ruang untuk rasisme di sepak bola. Polisi dan asosiasi sepak bola Australia sudah mengambil tegas atas insiden tersebut. Pourre menjelaskan, pihak klub telah memberi tahu apaapa hal yang boleh dikatakan dan tidak. Pemain diingatkan agar apa yang dikatakan tidak memiliki dampak sehingga tidak ada ruang tumbuhnya rasisme.
Tapi, jika ada, harus ditangani serius. “Tapi, kami memiliki pemain yang memahami dan mereka berharap agar orangorang terus dididik lalu diberi hukuman karena memang tidak ada tempat untuk intoleransi,” kata Pourre kepada wartawan Indonesia termasuk KORAN SINDO di tempat latihan mereka di Heritage Park yang menelan biaya 9 juta dolar Australia.
Brisbane Roar, menurut Pourre, seperti klub lain, memiliki latar belakang pemain berbeda dari banyak negara, budaya, dan suku. Klub berusaha membantu pemainnya beradaptasi dengan lingkungan baru di Australia. Jadi, saat membawa seorang pemain internasional, pihak klub melakukan banyak penelitian pada individu dan keluarga mereka karena ingin membuat mereka merasa nyaman dan seperti di rumah sendiri.
Klub memberi mereka orientasi di sekitar tempat mereka tinggal, di mana mereka tinggal, menghabiskan waktu bersama pemain tersebut, mendapatkan apartemen atau rumah yang tepat. Klub membantu pemain asing melihat sekolah untuk anakanak mereka dan memperkenalkan budaya di Australia.
“Kami berusaha memosisikan mereka sebagai bagian dari satu keluarga besar dan tidak ada yang terisolasi sama sekali. Karena itulah yang kami coba dan berikan ketika seorang internasional, tidak peduli dari negara mana dan mereka berasal,” katanya.
Kapten tim Matt McKay menambahkan, timnya memiliki lima pemain asing dan itu membuat rekan-rekannya saling belajar memahami hal berbeda mulai dari Denmark (Thomas Kristensen, Tobias Mikkelsen), Prancis (Eric Bautheac), Spanyol (Alex Lopez), dan Henrique dari Brasil yang merupakan pengungsi dan sudah 10 tahun di Australia.
“Saya sendiri dibesarkan di Selatan Brisbane, tapi saya tinggal di komunitas dan komunitas Asia karena pernah bermain di China dan Korea. Saat itu anda bertemu orang baru mencoba makanan berbeda. Jadi ya, itu, saya pikir penting tim kami menyatukan semua orang. Sangat bangga Brisbane membawa budaya yang berbeda. Kami adalah klub inklusif. Kami menyambut semua orang,” katanya.
Dia menegaskan semua tindakan rasisme tidak bisa dibenarkan. Sepak bola telah mengambil langkah besar dalam menghilangkan itu dan akan terus dibasmi. “Anda tahu, ini adalah permainan yang begitu indah sehingga kami memiliki begitu banyak orang berbeda dan bahwa siapa pun yang terlibat bisa bermain hebat,” katanya. Sepak bola juga menjadi cara Football United menghilangkan sekat masyarakat sejak usia dini.
Melalui sepak bola, Football United ingin membuat para imigran atau pengungsi bisa beradaptasi serta bersosia lisasi dengan lingkungan barunya. Bersama teman-teman barunya, mungkin sama-sama pengungsi atau dengan warga asli yang ikut dalam program Football United. "Masih ada sedikit beberapa ketegangan rasial. Jadi, apa yang ingin dilakukan United Football adalah mencoba menghubungkan kedua kelompok itu bersama-sama melalui sepak bola.
Jadi, kami membantu mencoba dan menggunakan sepak bola sebagai alat menjembatani kesenjangan, mengurangi ketegangan,” kata Assmaah Helal, Operations Manager Football United kepada wartawan Indonesia termasuk KORAN SINDO di kantornya.
Penyatuan itu tidak hanya dilakukan di dalam lapangan olahraga dengan pelatihan sepak bola dan beberapa cabang lainnya, tapi juga pemberian pelatihan soft skil mulai dari menumbuhkan karakter, kepercayaan diri, dan meningkatkan ke mampuan berbahasa asing agar bisa beradaptasi dengan tempat baru.
Intinya, bagaimana memberi alat untuk membantu mereka menyelesaikan masalah dan memiliki tanggung jawab ini. “Saat memberi pelatihan di usia muda, saya tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan, tapi membantu memberi alat sehingga bisa memutuskan apa yang perlu dilakukan,” tuturnya.
Tentu dengan segala konsekuensinya, seperti mengatakan jangan lakukan ini dan jangan lakukan itu. Anda telah kehilangan mereka nanti. Namun, bukan berarti kami mengatakan lakukan apa pun yang anda inginkan. “Bagaimana anda sebagai masyarakat berinteraksi dengan manusia, memberi kan advokasi, kami berbicara tentang empati juga, dan menghargai keragaman,” katanya.
(don)