E-Sports Mencari Jati Diri

Sabtu, 07 September 2019 - 13:00 WIB
E-Sports Mencari Jati Diri
E-Sports Mencari Jati Diri
A A A
BANJARMASIN - Meski sudah diperkenalkan di Asian Games 2018 dan menggelar turnamen besar, namun keberadaan olahraga elektronik atau yang dikenal E-Sport hingga kini masih mencari jatidiri. Masuk kategori olahraga atau tidak?

Nah, persoalan inilah yang akan coba dijawab melalui Simposium Interpretasi E-Sport dalam Wacana Keolahragaan Nasional yang berlangsung di Banjarmasin, Sabtu (7/9/2019). Kegiatan menjadi salah satu rangkaian puncak Hari Olahraga Nasional (Haornas) 2019.

Pemerintah dalam hal ini Kemenpora menganggap perlu rumusan untuk membuat kebijakan mengenai E-Sport yang saat ini telah berkembang pesat di tanah air. Bahkan Indonesia melalui E-Sports mampu berbicara di pentas internasional.

Deputi III Bidang Pembudayaan Olahraga Kemenpora Raden Isnanta menjelaskan simposium di Banjarmasin ini merupakan puncak dari forum diskusi yang pernah digelar di Yogyakarta dan Bekasi. Kegiatan ini diharap menjadi bahan telaah terhadap fenomena maupun konsep E-sport sebagai salah satu dasar pertimbangan pengambilan kebijakan terhadap pengembangan keolahragaan.

"Teknologi mencipatakan olahraga ini. Perkembangannya begitu cepat. Peraturannya harus segera dibuat," kata Raden Isnanta.

Perhatian khusus memang harus diberikan pada kegiatan ini mengingat perkembangan E-Sports tak bisa dibendung. Perkembangannya sebanding dengan peningkatan kecepatan teknologi. Dalam perkembangannya, olahraga yang berbasis game online justru menjadi kontroversial.

"Kita harus berpikir positif. Ini kemajuan zaman yang tak bisa dibendung. Hanya saja jenis permainannya harus diverifikasi, sehingga tidak berdampak yang tidak diinginkan terhadap anak-anak," ujar Raden Isnanta.

Sementara itu Prof. Adang Suherman, pakar ilmu olahraga dari UPI Bandung, mencoba membedah melalui Sistem Undang Undang Keolahragaan. Menurutnya, E Sports memang belum masuk dalam kategori olahraga. "Untuk bisa disebut sebagai olahraga, jika mengacu pada Komisi Olahraga Eropa ada lima syarat yang kita lihat," ucap Adang.

Adapun lima syarat yang dimaksud Adang adalah aktivitas fisik, dapat dilakukan dalam aktivitas rekreasi, kompetitif, punya organisasi internasional dan diterima secara umum. Sedangkan Jerman sendiri yang dikenal sebagai negara besar dalam olahraga mempunyai tiga syarat sesuatu bisa disebut olahraga, yakni aktivitas fisik, mempunyai nilai etika, dan bisa diterima secara umum.

Di tempat yang sama Presiden IESPL (Indonesia E-Sport Premier League) Giring Ganesha menganggap kepastian E-Sports masuk dalam olahraga itu sangat penting dan dinantikan. Menurutnya E Sports bukanlah sekadar bermain games semata.

"Games hanya dimainkan untuk mengisi waktu luang, tidak untuk tujuan profesional. Dan itu menjadi tugas orang tua untuk mengontrolnya. Berbeda dengan E-Sport, karena masuk ranah olahraga, berpenampilan berbeda dengan pemain game biasa."

Giring juga berharap anak-anak muda di Indonesia, yang punya mimpi untuk menjadi atlet E Sports harus semakin tekun dan serius, berusaha menjadi yang terbaik. Peran IESPL adalah hadir untuk mewadahi potensi mereka. "Atlet E-sport juga dilatih secara profesional, termasuk soal kebugaran, demi menunjang performa di arena pertandingan. Sejatinya, E-sport seperti permainan olahraga lain, akan memiliki dampak positif jika dikelola secara profesional," ujarnya.
(sha)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8157 seconds (0.1#10.140)