Calon Exco PSSI Beberkan 4 Poin Masalah Krusial PSSI
A
A
A
JAKARTA - Teriakan pembenahan sepak bola di Indonesia semakin santer terdengar jelang Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI pada 2 November 2019. Topik hangat yang dibicarakan yakni mengatasi arogansi suporter, format kompetisi Liga 1, isu mafia bola hingga penampilan buruk timnas senior.
Hal ini sebagaimana disampaikan calon anggota Exco PSSI 2019-2023, Agus Ambo Djiwa. Pria yang menjabat sebagai Bupati Pasangkayu itu mengatakan bahwa sepak bola sudah dikemas menjadi sebuah industri sebagai olahraga profesional.
Berbicara mengenai industri sepak bola tentunya tidak sesederhana menonton dua kesebelasan bertarung di lapangan hijau selama 90 menit. Ada banyak proses dan pihak yang terlibat di luar itu. Beberapa hal yang menjadi sorotan Agus dalam pembenahan PSSI di masa mendatang, yakni bagaimana mengelola suporter, jalannya kompetisi liga, pembinaan usia dini, hingga isu mafia bola.
Mengelola suporter dengan manajemen yang terorganisir menjadi isu yang diangkat Agus. Dia menjelaskan saat ini Indonesia memiliki suporter yang tersebar di beberapa pulau, tapi klub dan PSSI tidak mampu mengelolanya dengan baik.
"Dimana-mana suporter sudah terbentuk, tapi secara manajemen terorganisir tidak bagus. Hanya sekadar label tapi kita tidak bina," cetus Agus saat berkunjung ke Gedung SINDO, Selasa (22/10/2019).
Agus menekankan jika dirinya ingin PSSI mengambil sikap untuk membina suporter Indonesia dan dibuatkan kerangka organisasi yang baik serta melibatkan mereka dalam setiap persoalan sepak bola. Karena, sepak bola tidak hanya menjadi tanggung jawab PSSI saja, tapi juga menjadi tanggung jawab suporter dalam menciptakan keamanan dan ketertiban.
Sehingga suporter mempunyai tanggung jawab yang sama dan bukan hanya menjadi tanggung jawab PSSI saja. "Bagaimana sepak bola itu menjadi industri, Kalau hanya kita bikin liga yang datang hanya 100-200, bagaimana kita mendapat benefitnya. Itulah yang menjadi konsen saya bahwa sepak bola menjadi tamasya," tegas Agus.
"Kita perlu membangun budaya gotong royong, sehingga kita bersama-sama bergotong royong untuk mendukung. Saya ingin menciptakan keakraban setiap suporter. Nah, yang kita lupa yakni mengelola suporter. Kita hanya terfokus mengelola klub, tapi kita lupa mengelola suporter. Karena sering kali kita melihat keributan, jadi apa yang didapat dari sepak bola," tambah Agus.
Mengenai jalannya kompetisi liga, ada dua poin yang disampaikan Agus. Pertama, PSSI harus konsen pada pembinaan berjenjang. Dengan berjenjang berarti persiapan tim tersedia. Kedua, PSSI harus merancang dengan baik persiapan agenda Timnas Indonesia dengan internasional. Sehingga ketika agenda internasional main, maka tidak ada liga yang dimainkan.
"Sekarang tidak dan itu membuat kebugaran pemain menjadi perhatian. Itu yang harus diubah dan kita harus mengikuti agenda internasional dan tentu agenda PSSI diatur sedemikian rupa. Apalagi kita antar pulau begitu jauh jaraknya, waktu membuat persiapan diatur untuk diatur beberapa wilayah. Itu yang akan menjadi catatan-catatan penting yang bakal didiskusikan jika saya terpilih bahwa itu merupakan buah dari pemikiran saya."
Jika agenda PSSI dan internasional telah disesuaikan maka proses pembinaan usia dini bisa berjalan dengan baik. Mengenai pembinaan usia muda dikatakan Agus sudah berjalan dengan baik. Hanya saja, ketika pemain masuk ke profesional terkadang pemain tidak profesional.
Lebih jauh, dia menjelaskan semangatnya hilang dan mungkin sudah berpikir lain. "Begitu masuk profesional dan tidak siap profesionalismenya. Beda dengan umur muda. Mereka belum berpikir tentang uang dan tidak diracuni dengan gaya hidup. Ini yang penting untuk ke depan. Bagaimana mempersiapkan ini tentu dengan pembinaan usia dini tetap kita jaga, mentalnya diperbaiki, dan sikapnya tentu tidak boleh terlibat negara dalam hal ini," papar Agus.
"Karena negara tidak terlibat. Artinya, keterlibatan negara ketika orang berprestasi harus dihargai dan diberi hidup yang lebih layak sehingga mereka konsen untuk memperjuangkan sepak bola," tambahnya.
Pada bagian terakhir, Agus mengomentari tentang keberadaan mafia bola. Sejak lama sepak bola Indonesia sudah terjangkit virus mafia bola dan politikus PDIP itu menyatakan bahwa jangan jadikan sepak bola diracuni dengan masalah seperti itu, karena bola adalah olahraga rakyat dan ada nilai-nilai kebangsaan yang tinggi.
"Kalau mafia bola semestinya tidak boleh. Kalau kita mengejar prestasi orang akan berpikir tentang uang, jadi janganlah sepak bola teracuni dengan seperti itu. Karena bola olahraga rakyat. Di mana kita melihat nilai-nilai kebangsaan kita tinggi menonton bola maka disitulah nilai kebangsaan bola tinggi sekali."
"Nilai kebangsaan ini kan tidak boleh tercemar karena hanya kepentingan dengan masalah duit dan pengaturan skor. Bagaimana nilai kebangsaan kita? Ke depannya kita akan berantas masalah mafia bola dan bagaimana PSSI ke depannya lebih fokus memperhatikan pembinaan usia dini serta mempersiapkan timnas senior," pungkas Agus.
Hal ini sebagaimana disampaikan calon anggota Exco PSSI 2019-2023, Agus Ambo Djiwa. Pria yang menjabat sebagai Bupati Pasangkayu itu mengatakan bahwa sepak bola sudah dikemas menjadi sebuah industri sebagai olahraga profesional.
Berbicara mengenai industri sepak bola tentunya tidak sesederhana menonton dua kesebelasan bertarung di lapangan hijau selama 90 menit. Ada banyak proses dan pihak yang terlibat di luar itu. Beberapa hal yang menjadi sorotan Agus dalam pembenahan PSSI di masa mendatang, yakni bagaimana mengelola suporter, jalannya kompetisi liga, pembinaan usia dini, hingga isu mafia bola.
Mengelola suporter dengan manajemen yang terorganisir menjadi isu yang diangkat Agus. Dia menjelaskan saat ini Indonesia memiliki suporter yang tersebar di beberapa pulau, tapi klub dan PSSI tidak mampu mengelolanya dengan baik.
"Dimana-mana suporter sudah terbentuk, tapi secara manajemen terorganisir tidak bagus. Hanya sekadar label tapi kita tidak bina," cetus Agus saat berkunjung ke Gedung SINDO, Selasa (22/10/2019).
Agus menekankan jika dirinya ingin PSSI mengambil sikap untuk membina suporter Indonesia dan dibuatkan kerangka organisasi yang baik serta melibatkan mereka dalam setiap persoalan sepak bola. Karena, sepak bola tidak hanya menjadi tanggung jawab PSSI saja, tapi juga menjadi tanggung jawab suporter dalam menciptakan keamanan dan ketertiban.
Sehingga suporter mempunyai tanggung jawab yang sama dan bukan hanya menjadi tanggung jawab PSSI saja. "Bagaimana sepak bola itu menjadi industri, Kalau hanya kita bikin liga yang datang hanya 100-200, bagaimana kita mendapat benefitnya. Itulah yang menjadi konsen saya bahwa sepak bola menjadi tamasya," tegas Agus.
"Kita perlu membangun budaya gotong royong, sehingga kita bersama-sama bergotong royong untuk mendukung. Saya ingin menciptakan keakraban setiap suporter. Nah, yang kita lupa yakni mengelola suporter. Kita hanya terfokus mengelola klub, tapi kita lupa mengelola suporter. Karena sering kali kita melihat keributan, jadi apa yang didapat dari sepak bola," tambah Agus.
Mengenai jalannya kompetisi liga, ada dua poin yang disampaikan Agus. Pertama, PSSI harus konsen pada pembinaan berjenjang. Dengan berjenjang berarti persiapan tim tersedia. Kedua, PSSI harus merancang dengan baik persiapan agenda Timnas Indonesia dengan internasional. Sehingga ketika agenda internasional main, maka tidak ada liga yang dimainkan.
"Sekarang tidak dan itu membuat kebugaran pemain menjadi perhatian. Itu yang harus diubah dan kita harus mengikuti agenda internasional dan tentu agenda PSSI diatur sedemikian rupa. Apalagi kita antar pulau begitu jauh jaraknya, waktu membuat persiapan diatur untuk diatur beberapa wilayah. Itu yang akan menjadi catatan-catatan penting yang bakal didiskusikan jika saya terpilih bahwa itu merupakan buah dari pemikiran saya."
Jika agenda PSSI dan internasional telah disesuaikan maka proses pembinaan usia dini bisa berjalan dengan baik. Mengenai pembinaan usia muda dikatakan Agus sudah berjalan dengan baik. Hanya saja, ketika pemain masuk ke profesional terkadang pemain tidak profesional.
Lebih jauh, dia menjelaskan semangatnya hilang dan mungkin sudah berpikir lain. "Begitu masuk profesional dan tidak siap profesionalismenya. Beda dengan umur muda. Mereka belum berpikir tentang uang dan tidak diracuni dengan gaya hidup. Ini yang penting untuk ke depan. Bagaimana mempersiapkan ini tentu dengan pembinaan usia dini tetap kita jaga, mentalnya diperbaiki, dan sikapnya tentu tidak boleh terlibat negara dalam hal ini," papar Agus.
"Karena negara tidak terlibat. Artinya, keterlibatan negara ketika orang berprestasi harus dihargai dan diberi hidup yang lebih layak sehingga mereka konsen untuk memperjuangkan sepak bola," tambahnya.
Pada bagian terakhir, Agus mengomentari tentang keberadaan mafia bola. Sejak lama sepak bola Indonesia sudah terjangkit virus mafia bola dan politikus PDIP itu menyatakan bahwa jangan jadikan sepak bola diracuni dengan masalah seperti itu, karena bola adalah olahraga rakyat dan ada nilai-nilai kebangsaan yang tinggi.
"Kalau mafia bola semestinya tidak boleh. Kalau kita mengejar prestasi orang akan berpikir tentang uang, jadi janganlah sepak bola teracuni dengan seperti itu. Karena bola olahraga rakyat. Di mana kita melihat nilai-nilai kebangsaan kita tinggi menonton bola maka disitulah nilai kebangsaan bola tinggi sekali."
"Nilai kebangsaan ini kan tidak boleh tercemar karena hanya kepentingan dengan masalah duit dan pengaturan skor. Bagaimana nilai kebangsaan kita? Ke depannya kita akan berantas masalah mafia bola dan bagaimana PSSI ke depannya lebih fokus memperhatikan pembinaan usia dini serta mempersiapkan timnas senior," pungkas Agus.
(sha)