Curhat Kurnia Sandi berseragam Sampdoria
A
A
A
Sindonews.com - Bicara soal pesepakbola Indonesia berkesempatan mencicipi kompetisi internasional, tentu tidak bisa jauh-jauh dari sosok penjaga gawang senior, Kurnia Sandi. Bersama Kurniawan Dwi Yulianto, Sandi, biasa dirinya disapa, sempat berseragam Sampdoria Primavera U-20 pada 1994. Dia masuk dalam skuad utama Ia Samp, julukan Sampdoria, pada periode 1996-1997.
Kala itu, Sandi memang sulit bersaing dengan para penjaga gawang utama Sampdoria. Satu tahun berseragam klub yang meraih scudetto Seria A Liga Italia pada 1990-1991, tidak sekalipun penjaga gawang kelahiran Semarang, 24 Agustus 1975, tersebut tampil.
''Kesulitan di sana, karena posisi saya sebagai penjaga gawang. Waktu jaman itu, posisi penjaga gawang di Italia sedang bagus-bagusnya. Hampir tidak ada saat itu, penjaga gawang asing yang menjadi pemain inti,” ungkap Sandi, saat menjalani persiapan berlaga di ajang Battle of RED yang mempertemukan Indonesia RED kontra United RED yang diisi Michael Owen dkk.
Walau tidak mampu menunjukkan aksi terbaiknya bersama Sampdoria, Sandi tetap melihat banyak kelebihan jika ikut bersaing di kompetisi luar Asia atau Eropa secara spesifik. Bagi Sandi, sepak bola di tingkat Eropa memang sudah jadi satu pekerjaan yang menuntut profesionalitas. Kenangnya, dia sempat dimarahi saat tidak maksimal saat berlatih.
Jauh setelah pengalaman yang didapat Sandi, saat ini beberapa pemain muda Indonesia juga tengah bersaing di kompetisi luar Asia. Syamsir Alam bersama klub Major League Soccer (MLS), DC United, ada juga Alfin Tuasalamony, Manahati Lestusen, dan Muhamad Zaenal Haq yang tergabung dalam klub divisi dua Belgia, CS Vise.
''Sebenarnya sih tergantung dari pribadinya para pemain itu sendiri. Kalau mau cepat beradaptasi dengan lingkungan di sana, sebenarnya tidak ada masalah. Karena kalau bicara tehnik dan segala macamnya, kita tidak kalah. Hanya yang membedakan adalah kultur. Kadang, kalau sudah bertemu dengan pemain berkelas cenderung minder,” papar Sandi.
Saat ini tambah Sandi, kesempatan untuk berkompetisi di level tertinggi sebenarnya sedang terbuka. Hal itu ada, setelah banyaknya pengusaha-pengusaha Indonesia yang memegang kendali beberapa klub dunia. Seperti yang terakhir dilakukan pengusaha Indonesia, Erick Thohir, yang memegang 70 persen saham klub papan atas Italia, Inter Milan.
''Seharusnya jangan berpikir pemiliknya siapa dan dari mana? Kalau kualitas si pemain sendiri memang bagus, kenapa kita harus berkecil hati. Tapi yang seperti itu memang harus didukung berbagai pihak. Karena itu demi kebaikan sepak bola Indonesia sendiri,” tutup Sandi.
Kala itu, Sandi memang sulit bersaing dengan para penjaga gawang utama Sampdoria. Satu tahun berseragam klub yang meraih scudetto Seria A Liga Italia pada 1990-1991, tidak sekalipun penjaga gawang kelahiran Semarang, 24 Agustus 1975, tersebut tampil.
''Kesulitan di sana, karena posisi saya sebagai penjaga gawang. Waktu jaman itu, posisi penjaga gawang di Italia sedang bagus-bagusnya. Hampir tidak ada saat itu, penjaga gawang asing yang menjadi pemain inti,” ungkap Sandi, saat menjalani persiapan berlaga di ajang Battle of RED yang mempertemukan Indonesia RED kontra United RED yang diisi Michael Owen dkk.
Walau tidak mampu menunjukkan aksi terbaiknya bersama Sampdoria, Sandi tetap melihat banyak kelebihan jika ikut bersaing di kompetisi luar Asia atau Eropa secara spesifik. Bagi Sandi, sepak bola di tingkat Eropa memang sudah jadi satu pekerjaan yang menuntut profesionalitas. Kenangnya, dia sempat dimarahi saat tidak maksimal saat berlatih.
Jauh setelah pengalaman yang didapat Sandi, saat ini beberapa pemain muda Indonesia juga tengah bersaing di kompetisi luar Asia. Syamsir Alam bersama klub Major League Soccer (MLS), DC United, ada juga Alfin Tuasalamony, Manahati Lestusen, dan Muhamad Zaenal Haq yang tergabung dalam klub divisi dua Belgia, CS Vise.
''Sebenarnya sih tergantung dari pribadinya para pemain itu sendiri. Kalau mau cepat beradaptasi dengan lingkungan di sana, sebenarnya tidak ada masalah. Karena kalau bicara tehnik dan segala macamnya, kita tidak kalah. Hanya yang membedakan adalah kultur. Kadang, kalau sudah bertemu dengan pemain berkelas cenderung minder,” papar Sandi.
Saat ini tambah Sandi, kesempatan untuk berkompetisi di level tertinggi sebenarnya sedang terbuka. Hal itu ada, setelah banyaknya pengusaha-pengusaha Indonesia yang memegang kendali beberapa klub dunia. Seperti yang terakhir dilakukan pengusaha Indonesia, Erick Thohir, yang memegang 70 persen saham klub papan atas Italia, Inter Milan.
''Seharusnya jangan berpikir pemiliknya siapa dan dari mana? Kalau kualitas si pemain sendiri memang bagus, kenapa kita harus berkecil hati. Tapi yang seperti itu memang harus didukung berbagai pihak. Karena itu demi kebaikan sepak bola Indonesia sendiri,” tutup Sandi.
(aww)