Wenger dan sebuah tanda zaman

Senin, 07 April 2014 - 15:01 WIB
Wenger dan sebuah tanda...
Wenger dan sebuah tanda zaman
A A A
Sindonews.com - "Kekalahan itu sangat berat untuk saya. Pada saat itulah saya merasa tidak lagi bisa mengendalikan tim saya, dan jika Anda tidak bisa mengendalikan pemain, maka sudah saatnya untuk pindah,“ Josep ''Pep'' Guardiola, arsitek Bayern Muenchen.

Semua terkejut, saat Guardiola memutuskan berhenti dari Barcelona. Koleksi 14 gelar dalam tiga musim adalah sejarah luar biasa untuk seorang pelatih ''kemarin sore''. Pelatih yang baru mencapai kepala empat, tapi sudah meraih semua gelar yang diinginkan banyak pelatih top.

Guardiola memutuskan istirahat dari ingar bingar sepak bola untuk menepi ke Amerika Serikat selama satu musim sebelum bergabung Muenchen. Mantan pemain AS Roma dan Brescia itu mundur dari Barcelona setelah merasa tidak bisa lagi memotivasi Carlos Puyol dkk. saat melawan Chelsea di semifinal Liga Champions 2012. Barcelona kalah 0-1 di Stamford Bridge dan bermain imbang 2-2 di leg kedua.

''Saya mendapati semakin sulit memotivasi baik diri saya sendiri dan tim saya. Saya mencermati bahwa tim menemukan hal itu (memotivasi diri) menjadi bertambah sulit,''ungkapnya.

Guardiola tidak perlu menjadi setua Alex Ferguson untuk mengambil langkah bijaksana dan jeli mundur dari kursi pelatih. Ferguson, yang mengarungi perjalanan lebih dari 26 tahun dan memberikan 38 gelar bersama Setan Merah, akhirnya mundur dari kursi pelatih. ''Saya ingin pensiun sebagai pemenang. Jadi saya berhenti ketika sedang meraih kemenangan,''kata Ferguson dalam bukunya Alex Ferguson My Autobiography.

Guardiola dan Ferguson sepertinya tahu bagaimana membaca zaman. Di saat merasa tidak bisa ''beradaptasi'' lagi dengan timnya memutuskan mundur dari tim. Mereka pamit saat berada di puncak tertinggi sebuah prestasi.

Bandingkan dengan Arsene Wenger. Menukangi Arsenal sejak 1996 membuatnya sebagai pelatih terlama di Liga Primer. Didatangkan dari Nagoya Grampus Eight, Wenger bak invincible man di tubuh The Gunners.

Gelar terakhir yang diberikan pada Arsenal adalah Piala FA di 2004/2005. Sedangkan trofi tertinggi yang dipersembahkan Wenger adalah juara Liga Primer musim 2003/2004. Setelah itu Wenger belum kunjung menambah daftar di lemari trofi Arsenal.

Wenger dan Arsenal seperti belum sepenuhnya membaca bahwa zaman sudah berubah. Mantan pelatih Monaco ini memang telah mengubah gaya main, gaya hidup, serta membangun apa yang disebut Arsenal Way di Arsenal.

Wenger membuat Arsenal selalu stabil di zona Eropa dengan pemain muda tanpa nama besar dan budget minimal. Pemain-pemain biasa itu berhasil diubah menjadi mutiara dengan nilai luar biasa. Cesc Fabregas, Robbie van Persie, Alex Song, Samir Nasri, Gael Clichy adalah beberapa nama di antaranya.

Wenger juga sukses mengubah pemain buangan menjadi superstar. Patric Viera dan Thierry Henry adalah dua di antaranya. Dua nama yang kemudian membuat Arsenal meraih gelar juara dan mendapat predikat invincible team karena tak terkalahkan sepanjang musim.

Persoalannya, zaman seperti tidak berpihak pada Arsenal. Setelah 2005, setiap musimnya Arsenal baru hadir sebatas memberi pengharapan alias PHP (pemberi harapan palsu). Musim 2007/2008 adalah salah satu momennya.

Saat Manchester United dan Chelsea memasuki masa transisi, Arsenal seperti melaju sendirian. Mereka seperti memiliki kesempatan sama besar di empat ajang berbeda. Liga Primer, Piala FA, Carling Cup dan Liga Champions. Hasilnya, Arsenal justru nir gelar.

Cerita ini berulang pada 2009/2010. Sempat disebut memiliki kesempatan meraih gelar juara, Arsenal justru keteteran di tiga bulan terakhir menuju garis finish. Cedera dan minimnya pengalaman pemain menjadi alasan pembenar kegagalan mereka bersaing dengan Chelsea dan Manchester
United. Pendukung dan manajemen kemudian tetap berbesar hati.

Musim ini, saat Wenger memiliki skuad yang tidak lagi bisa dibilang anak-anak, mereka juga sempat memberikan harapan di awal musim. Mereka melaju kencang di awal musim. Puncaknya di pekan ke-7 sampai ke 16 The Gunners berada di puncak.

Sempat turun di pekan ke-17, Arsenal kembali ke puncak hingga pekan ke-22. Tapi, di pekan ke-33, Arsenal seperti sudah terlempar dari perburuan gelar juara. Arsenal gagal membaca persaingan, dengan kontestan lima besar klasemen Liga Primer.

Melawan Everton (peringkat 5), gawang Wojciech Szczęsny diberondong tiga gol. Menghadapi Chelsea (2) takluk 0-6, dibantai Liverpool (1) 1-5 dan dipermalukan Manchester City (3) 3-6. Arsenal memang masih di peringkat 4 atau berpeluang besar tampil di Liga Champions Eropa, tapi peluang meraih gelar juara sepertinya sulit diwujudkan.

Hasil yang harusnya membuat Wenger dan Arsenal harusnya mulai bisa membaca zaman bahwa sepak bola berubah. Sepak bola bukan persoalan mereproduksi pemain dan kemudian menjual ke klub lain. Jika memang Wenger berada dalam level mengubah pemain biasa menjadi luar biasa,
ada baiknya Arsenal menempatkannya di scouting club atau direktur teknik dan bukan kursi pelatih.

Bisa jadi, ketiadaan pemain bintang di Emirates Stadium bukan semata kebijakan transfer Arsenal memilih pemain muda, tapi faktor tidak ada bintang yang bersedia mendarat di Arsenal. Sebab, seperti kata Ferguson ada dua alasan pemain mau pindah ke klub lain, (1) gelar, (2) uang. Dua hal yang (belum/tidak) bisa diberikan Arsenal.

Tidak salah juga berpikir, hengkangnya Fabregas, van Persie, Nasri, Clichy, Emmanuel Adebayor, Song dari Emirates bukan persoalan bisnis manajemen Arsenal untuk menutup pengeluaran klub, tapi memang keinginan para pemain yang mulai tidak nyaman setelah tak kunjung mendapatkan gelar. Faktanya, mereka yang keluar sudah merasakan gelar.

Akhirnya, mungkin Arsenal dan Wenger harusnya mulai membaca sebuah tanda zaman, bahwa mereka harus berubah. Mereka memang masih berada di zona Eropa dan meraih tiket final Carling Cup, tapi bicara perburuan Liga Primer, Arsenal seperti tak memiliki cukup respons memadai. Respons dari tim yang sudah matang, karena didukung materi mapan dan manajer terlama di Liga Primer.

Jika tidak, jangan salahkan bila kemudian pendukung Arsenal mengamini pernyataan pelatih Chelsea Jose Mourinho.''Dia adalah specialist in failure. Jika selama delapan tahun di Chelsea dan gagal memberikan gelar, aku akan pergi dan tak akan kembali,''ujarnya.
(aww)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0999 seconds (0.1#10.140)