Hawa Panas Aryna Sabalenka vs Marta Kostyuk pada Laga Pertama Roland Garros
loading...
A
A
A
PARIS - Tensi panas sempat mewarnai Roland Garros atau Prancis Terbuka 2023. Di ruang ganti, di lapangan, juga dalam konferensi pers. Pertempuran terutama terjadi antara petenis Ukraina dengan petenis Rusia dan Belarusia.
Salah satunya Marta Kostyuk. Petenis kelahiran Kiev, Ukraina ini, sejak hari pertama Prancis Terbuka bergulir langsung mengibarkan bendera perang.
Seusai kalah dari Aryna Sabalenka, petenis Belarusia pada laga pembuka, Marta enggan menyalaminya.
Dia hanya berjalan menuju kursi wasit, mengambil peralatannya, lalu bergegas meninggalkan court Philippe Chartier.
Publik yang menyaksikan langsung perang di lapangan itu, langsung mengiringi langkahnya dengan teriakan bernada ejekan.
"Sepuluh tahun lagi, jika perang berakhir, mereka akan mengerti bahwa apa yang dilakukan itu memalukan dirinya sendiri," tegas Marta kepada ratusan wartawan, seusai pertandingan.
Publik tidak merasakan langsung, imbuh Marta, bagaimana sulitnya ketika negaranya diserang Rusia.
"Saya tidak bisa pulang lagi ke rumah (Kiev), berpindah dari satu negara ke negara lain," katanya. Dalam perpindahan itu, imbuhnya, tiap bangun pagi selalu was was membaca pesan di handphone-nya.
"Seperti semalam, ada ratusan pesan masuk di pagi buta," katanya. Kiev, kota kelahirannya, sedang dibombardir melalui dron oleh Rusia. "Ayah dan kakek saya ada di Kiev, bertahan antara hidup dan mati," katanya.
Salah satunya Marta Kostyuk. Petenis kelahiran Kiev, Ukraina ini, sejak hari pertama Prancis Terbuka bergulir langsung mengibarkan bendera perang.
Seusai kalah dari Aryna Sabalenka, petenis Belarusia pada laga pembuka, Marta enggan menyalaminya.
Dia hanya berjalan menuju kursi wasit, mengambil peralatannya, lalu bergegas meninggalkan court Philippe Chartier.
Publik yang menyaksikan langsung perang di lapangan itu, langsung mengiringi langkahnya dengan teriakan bernada ejekan.
"Sepuluh tahun lagi, jika perang berakhir, mereka akan mengerti bahwa apa yang dilakukan itu memalukan dirinya sendiri," tegas Marta kepada ratusan wartawan, seusai pertandingan.
Publik tidak merasakan langsung, imbuh Marta, bagaimana sulitnya ketika negaranya diserang Rusia.
"Saya tidak bisa pulang lagi ke rumah (Kiev), berpindah dari satu negara ke negara lain," katanya. Dalam perpindahan itu, imbuhnya, tiap bangun pagi selalu was was membaca pesan di handphone-nya.
"Seperti semalam, ada ratusan pesan masuk di pagi buta," katanya. Kiev, kota kelahirannya, sedang dibombardir melalui dron oleh Rusia. "Ayah dan kakek saya ada di Kiev, bertahan antara hidup dan mati," katanya.