Ganda Putri yang Tak Sesuai Standar, Eng Hian: Sudah Waktunya Tinggalkan Pelatnas!
loading...
A
A
A
Pelatih ganda putri Indonesia, Eng Hian , memberikan peringatan keras kepada para anak asuhnya agar tampil sesuai dengan standar dan level yang ada. Jika tidak, dia menilai itu sudah waktunya bagi mereka tak berada di Pelatnas PBSI.
Ganda putri Indonesia baru saja membuktikan diri bisa berprestasi setelah sekian lama mendapatkan kritik keras. Mereka mampu membawa pulang dua gelar juara dan satu runner up dalam rangkaian turnamen di Eropa dalam tiga pekan berturut-turut.
Gelar pertama diraih oleh Rachel Allesya Rose/Meilysa Trias Puspitasari di ajang Orleans Masters 2024. Kemudian, pada pekan berikutnya Lanny Tria Mayasari/Ribka Sugiarto mempersembahkan gelar kedua pada pekan berikutnya dari ajang turnamen Swiss Open 2024.
Final ketiga diraih oleh Febriana Dwipuji Kusuma/Amallia Cahaya Pratiwi di ajang Spain Masters 2024 pada akhir pekan lalu. Sayangnya, mereka tumbang dari pasangan Jepang, Rin Iwanaga/Kie Nakanishi dengan skor 21-12, 8-21 dan 16-21 sehingga harus puas pulang sebagai runner up.
Prestasi tersebut jelas menjadi pelepas dahaga bagi sektor ganda putri Indonesia yang sudah lama tak merasakan gelar juara. Bahkan, sebelumnya pasangan senior seperti Ana/Tiwi dan Lanny/Ribka sempat diturunkan ke level turnamen yang lebih rendah untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka, khususnya Lanny/Ribka yang sempat tampil di ajang Super 100 dan juga international challenge.
Eng Hian pun mengakui bahwa menurunkan level turnamen bagi anak buahnya merupakan strategi agar mereka bisa bangkit dari keterpurukan. Menurutnya, jika anak didiknya sudah tak mampu bersaing di turnamen level rendah, maka itu saatnya bagi mereka untuk angkat kaki dari pelatnas.
"Iya maunya (strateginya) seperti itu, memang semuanya harusnya berproses. Pasti kita berpatokannya pada level yang tinggi, tapi ternyata yang tinggi belum menciptakan prestasi, kita coba di level bawahnya," kata Eng Hian.
"Nah di bawahnya sesuai standar mereka, mampu enggak? Kalau enggak mampu ya memang sudah waktunya enggak di pelatnas. Tapi ini kan pembuktian lagi dari anak anak bahwa mereka masih mampu. Mereka buktikan juara di Super 100 dan Super 300. Artinya mereka sadar bahwa mereka punya kemampuan, tinggal bagaimana lagi meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri," tuturnya.
Lebih lanjut, Eng Hian membeberkan bahwa ucapannya tersebut bukan merupakan gertakan bagi para anak buahnya, khususnya berkaitan dengan promosi dan degradasi yang ada di Pelatnas PBSI setiap tahunnya. Kata dia, semua peringatan yang ditegaskannya tersebut merupakan bagian dari program kerja yang diberikannya kepada semua anak asuhnya.
"Kalau gertakan enggak ya (selama promosi dan degradasi). Jadi gini, kalau saya setiap tahun itu selalu di selalu ada program. Beda yang harus saya sampaikan ke anak-anak: pasangan A ini programnya ini pencapaiannya sekian, ini target yang dicapai tahun ini. Nah pasangan B pasti ada beda-bedanya," jelas pelatih berusia 46 tahun itu.
"Dalam kurun waktu 1-2 tahun harusnya kita bisa tahu diri. Pemain berpikir 'saya setelah dikasih kesempatan sekian banyak, kemampuan sekian, ini saya masih bisa ke atas enggak, saya masih bisa juara enggak'. Nah itu kan nanti tinggal saya yang mengatur kayak gini, turnamen yang awalnya dikasih kesempatannya Super 500 ke atas dan ternyata belum bisa menembus, ya kita turunkan. Kalau nggak bisa nembus, kita turunkan lagi sampai maksimalnya," imbuhnya.
"Nah maksimal itu tentunya kalau level yang utama kan nggak mungkin kasih ke IC, terendah adalah Super 100. Kalau Super 100 masih nggak mampu, sudah tahu sukuensinya. Itu sudah saya sampaikan setiap tahun sudah begitu. Jadi saat promosi-degradasi itu anak-anak sebagian besar sudah memahami. Jadi tidak ada yang kaget," pungkasnya.
Ganda putri Indonesia baru saja membuktikan diri bisa berprestasi setelah sekian lama mendapatkan kritik keras. Mereka mampu membawa pulang dua gelar juara dan satu runner up dalam rangkaian turnamen di Eropa dalam tiga pekan berturut-turut.
Gelar pertama diraih oleh Rachel Allesya Rose/Meilysa Trias Puspitasari di ajang Orleans Masters 2024. Kemudian, pada pekan berikutnya Lanny Tria Mayasari/Ribka Sugiarto mempersembahkan gelar kedua pada pekan berikutnya dari ajang turnamen Swiss Open 2024.
Final ketiga diraih oleh Febriana Dwipuji Kusuma/Amallia Cahaya Pratiwi di ajang Spain Masters 2024 pada akhir pekan lalu. Sayangnya, mereka tumbang dari pasangan Jepang, Rin Iwanaga/Kie Nakanishi dengan skor 21-12, 8-21 dan 16-21 sehingga harus puas pulang sebagai runner up.
Prestasi tersebut jelas menjadi pelepas dahaga bagi sektor ganda putri Indonesia yang sudah lama tak merasakan gelar juara. Bahkan, sebelumnya pasangan senior seperti Ana/Tiwi dan Lanny/Ribka sempat diturunkan ke level turnamen yang lebih rendah untuk mengembalikan kepercayaan diri mereka, khususnya Lanny/Ribka yang sempat tampil di ajang Super 100 dan juga international challenge.
Eng Hian pun mengakui bahwa menurunkan level turnamen bagi anak buahnya merupakan strategi agar mereka bisa bangkit dari keterpurukan. Menurutnya, jika anak didiknya sudah tak mampu bersaing di turnamen level rendah, maka itu saatnya bagi mereka untuk angkat kaki dari pelatnas.
"Iya maunya (strateginya) seperti itu, memang semuanya harusnya berproses. Pasti kita berpatokannya pada level yang tinggi, tapi ternyata yang tinggi belum menciptakan prestasi, kita coba di level bawahnya," kata Eng Hian.
"Nah di bawahnya sesuai standar mereka, mampu enggak? Kalau enggak mampu ya memang sudah waktunya enggak di pelatnas. Tapi ini kan pembuktian lagi dari anak anak bahwa mereka masih mampu. Mereka buktikan juara di Super 100 dan Super 300. Artinya mereka sadar bahwa mereka punya kemampuan, tinggal bagaimana lagi meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri," tuturnya.
Lebih lanjut, Eng Hian membeberkan bahwa ucapannya tersebut bukan merupakan gertakan bagi para anak buahnya, khususnya berkaitan dengan promosi dan degradasi yang ada di Pelatnas PBSI setiap tahunnya. Kata dia, semua peringatan yang ditegaskannya tersebut merupakan bagian dari program kerja yang diberikannya kepada semua anak asuhnya.
"Kalau gertakan enggak ya (selama promosi dan degradasi). Jadi gini, kalau saya setiap tahun itu selalu di selalu ada program. Beda yang harus saya sampaikan ke anak-anak: pasangan A ini programnya ini pencapaiannya sekian, ini target yang dicapai tahun ini. Nah pasangan B pasti ada beda-bedanya," jelas pelatih berusia 46 tahun itu.
"Dalam kurun waktu 1-2 tahun harusnya kita bisa tahu diri. Pemain berpikir 'saya setelah dikasih kesempatan sekian banyak, kemampuan sekian, ini saya masih bisa ke atas enggak, saya masih bisa juara enggak'. Nah itu kan nanti tinggal saya yang mengatur kayak gini, turnamen yang awalnya dikasih kesempatannya Super 500 ke atas dan ternyata belum bisa menembus, ya kita turunkan. Kalau nggak bisa nembus, kita turunkan lagi sampai maksimalnya," imbuhnya.
"Nah maksimal itu tentunya kalau level yang utama kan nggak mungkin kasih ke IC, terendah adalah Super 100. Kalau Super 100 masih nggak mampu, sudah tahu sukuensinya. Itu sudah saya sampaikan setiap tahun sudah begitu. Jadi saat promosi-degradasi itu anak-anak sebagian besar sudah memahami. Jadi tidak ada yang kaget," pungkasnya.
(yov)