Pidato Emosional Coco Gauff, Petenis Masa Depan Amerika Serikat
loading...
A
A
A
NEW YORK - Aksi damai menentang diskriminasi dan rasisme di Amerika Serikat hari ini terasa berbeda. Petenis remaja Coco Gauff ikut naik podium untuk berorasi dengan kata-kata yang terdengar luar biasa bagi anak seusianya.
Coco, 16 tahun, merupakan petenis remaja paling bersinar di Amerika Serikat. Dia digadang-gadang bakal jadi penerus "Williams Bersaudara” yang selama ini mendominasi panggung petenis putri dunia. Tahun lalu ia melangkah ke babak keempat Wimbledon usai mengalahkan idolanya, Venus Williams.
Meski masih remaja, Coco ikut menyuarakan dukungan terhadap aksi demonstrasi menentang praktik diskriminasi dan rasisme yang terjadi di AS. Dalam orasinya, Coco menyebut rasisme telah membuat Amerika melangkah ke belakang dan mundur setengah abad. (Baca juga: Legenda Wimbledon Beber Alasan Federer Bukan Petenis Terbaik )
“Saya sedih karena saya berada di sini memprotes hal yang sama (rasisme, red) seperti yang dilakukan nenek saya lebih dari 50 tahun lalu,” kata Coco Gauff dalam orasinya.
Dalam pidatonya, ia juga meminta orang-orang dewasa untuk berhenti bertengkar, dan mulai berjalan beriringan menyambut dunia yang damai. Coco mengaku sangat prihatin karena masalah rasisme di AS seakan tidak ada habisnya.
"Saya menuntut perubahan sekarang. Menyedihkan bahwa dibutuhkan nyawa lelaki kulit hitam lain agar hal ini terjadi, tetapi kita harus memahami bahwa ini telah berlangsung selama bertahun-tahun.” lanjut Coco.
Video rekaman orasi Coco Gauff yang menyentuh kemudian viral di media sosial. Petenis senior asal Denmark, Kim Clijsters, bahkan sampai mengomentari aksi tersebut. Wanita 36 tahun itu membayangkan betapa kerasnya kehidupan remaja kulit hitam di AS. (Baca juga: Kematian George Floyd Picu Kemarahan Atlet Dunia )
“Terima kasih telah menjadi gadis besar, ceritamu akan dipelajari oleh putri saya kelak,” kata Kim Clijsters.
Gelombang kemarahan dan aksi protes masih terus terjadi di AS menyusul kematian pria kulit hitam tak bersenjata, George Floyd, yang kehabisan napas usai lehernya ditekan menggunakan lutut oleh seorang polisi kulit putih. Kematian Floyd seperti membuka mata dunia bahwa krisis HAM masih menimpa warga kulit hitam di Amerika.
Coco, 16 tahun, merupakan petenis remaja paling bersinar di Amerika Serikat. Dia digadang-gadang bakal jadi penerus "Williams Bersaudara” yang selama ini mendominasi panggung petenis putri dunia. Tahun lalu ia melangkah ke babak keempat Wimbledon usai mengalahkan idolanya, Venus Williams.
Meski masih remaja, Coco ikut menyuarakan dukungan terhadap aksi demonstrasi menentang praktik diskriminasi dan rasisme yang terjadi di AS. Dalam orasinya, Coco menyebut rasisme telah membuat Amerika melangkah ke belakang dan mundur setengah abad. (Baca juga: Legenda Wimbledon Beber Alasan Federer Bukan Petenis Terbaik )
“Saya sedih karena saya berada di sini memprotes hal yang sama (rasisme, red) seperti yang dilakukan nenek saya lebih dari 50 tahun lalu,” kata Coco Gauff dalam orasinya.
Dalam pidatonya, ia juga meminta orang-orang dewasa untuk berhenti bertengkar, dan mulai berjalan beriringan menyambut dunia yang damai. Coco mengaku sangat prihatin karena masalah rasisme di AS seakan tidak ada habisnya.
"Saya menuntut perubahan sekarang. Menyedihkan bahwa dibutuhkan nyawa lelaki kulit hitam lain agar hal ini terjadi, tetapi kita harus memahami bahwa ini telah berlangsung selama bertahun-tahun.” lanjut Coco.
Video rekaman orasi Coco Gauff yang menyentuh kemudian viral di media sosial. Petenis senior asal Denmark, Kim Clijsters, bahkan sampai mengomentari aksi tersebut. Wanita 36 tahun itu membayangkan betapa kerasnya kehidupan remaja kulit hitam di AS. (Baca juga: Kematian George Floyd Picu Kemarahan Atlet Dunia )
“Terima kasih telah menjadi gadis besar, ceritamu akan dipelajari oleh putri saya kelak,” kata Kim Clijsters.
Gelombang kemarahan dan aksi protes masih terus terjadi di AS menyusul kematian pria kulit hitam tak bersenjata, George Floyd, yang kehabisan napas usai lehernya ditekan menggunakan lutut oleh seorang polisi kulit putih. Kematian Floyd seperti membuka mata dunia bahwa krisis HAM masih menimpa warga kulit hitam di Amerika.
(sha)