Sepak Bola Indonesia Itu Memang ''Nganu''
A
A
A
Pentas Piala Presiden 2015 menyelesaikan babak delapan besar. Hasilnya, empat tim tersisa untuk semifinal. Yakni Persib Bandung, Sriwijaya FC, Arema Cronus dan Mitra Kukar. Di babak ini sebagian besar pertandingan harus dilalui dengan mengumbar emosi secara vulgar.
Persib Bandung versus Pusamania Borneo FC mempertontonkan sisi temperamental dan saling tantang antar pemain. PSM Makassar kontra Mitra Kukar juga kisruh, baik melibatkan pemain di lapangan dan penonton. Lebih parah adalah mundurnya Bonek FC di laga lawan Sriwijaya FC.
Hanya laga Bali United kontra Arema Cronus yang terlihat 'adem' dan tidak vulgar. Melihat fenomena di babak delapan besar, saya yakin sepak bola Indonesia itu memang 'nganu'. Sepak bola yang masih mengandalkan emosi amatiran dan tak menunjukkan respek sama sekali.
Bonek FC misalnya, datang jauh-jauh ke Palembang hanya untuk menjadi pengecut. Lari atau mundur dari medan perang, apa pun alasannya, adalah sikap yang tak patut dihargai. Sangat jelas mereka tidak siap menghadapi kekalahan dengan alasan keputusan wasit Jerry Elly.
Oke, di rekaman pertandingan memang tidak ada handsball. Wasit Jerry Elly pasti menyadari telah membuat keputusan salah. Persoalannya dia harus membuat keputusan dalam sepersekian detik di lapangan dan kita tak bisa langsung menuduh dia berpihak ke tuan rumah.
Bukan berarti pula sebuah tim selalu mengandalkan apriori dan pikiran negatif di setiap pertandingan. Kontroversi dan kesalahan manusiawi akan tetap ada dalam sepak bola. Soal disengaja atau tidak, itu ada tatanan yang mengatur sendiri.
Di sepak bola yang mengagungkan profesionalisme dan sportivitas, mundur adalah keputusan paling buruk. Apa yang dilakukan Bonek FC sudah sangat memalukan, segencar dan selogis apa pun mereka membeberkan alasannya ke media. Ngambek, mundur, mogok, atau apalah namanya, adalah amatiran.
Kalau memang tidak siap menghadapi kontroversi, ya jangan ikut kompetisi. Sederhana kan? Daripada ikut kompetisi malah memberi contoh buruk. Mungkin Bonek FC berpikir mereka bakal dapat simpati dan sanjungan dengan melakukan aksi mogok.
Tapi tidak, sama sekali tidak ada respek untuk perbuatan seperti itu. Tidak pernah ada simpati untuk mereka yang lari dari medan pertempuran. Apa pun latar belakangnya, mereka harus mempertanggungjawabkan keputusan yang sudah diambil.
Bayangkan kalau semua tim sepak bola di dunia ini lantas mogok main jika ada keputusan kontroversial. Tentu tidak akan ada yang namanya turnamen atau kompetisi. Sikap seperti itu sangat tidak mendidik dan harus dibuang jauh-jauh dari sepak bola.
Sepak bola Indonesia sudah kadung dirasuki pikiran negatif, bahkan sebelum bertanding. "Jangan-jangan nanti wasit begini", "Kayaknya tuan rumah bakal begitu", "Ini pasti ada nonteknis", dan berbagai macam pikiran lainnya. Pikiran yang akhirnya membusukkan mental di lapangan.
Sikap pemain yang mengobral emosi juga layak diacungi jempol ke bawah. Lihat bagaimana Ferdinand Sinaga seperti mau memakan Hendra Ridwan hidup-hidup di Makassar. Di Bandung ada Diego Michiels yang bermain bak seorang pesilat dan menantang pemain Persib saat dikartu merah. Banyak lagi contohnya yang telah kita saksikan bersama.
Beberapa waktu lalu, pemain-pemain bola Indonesia berteriak-teriak ingin ada kompetisi sepak bola Indonesia. Tapi ketika sudah diberi turnamen, mereka malah berulah seenaknya dan jauh dari kesan profesionalisme dan sportivitas. Padahal harusnya tak begini.
Di tengah sepak bola yang sedang gulita, seharusnya klub dan pemain memberikan sebuah daya tawar. Mereka harus memberikan kesan positif selama pertandingan agar khalayak dan semua pihak juga memiliki pikiran positif tentang sepak bola Indonesia.
Dengan begitu siapa tahu akan membuka mata pihak-pihak yang berkonflik untuk menggelar kompetisi reguler. Lha ini malah sebaliknya. Publik bola disuguhi adegan berantem dan mogok main. Siapa yang mau percaya bahwa sepak bola Indonesia sudah baik dan pantas dimainkan.
Saya tak tahu apakah sikap emosional dan negatif itu adalah wujud dari begitu lamanya pemain menganggur, karena lapar, kantong kosong, hobi berantem, atau persoalan intelejensi. Entahlah. Kembali ke awal, sepak bola Indonesia memang 'nganu'. Terlalu sulit untuk menggambarkan dengan kata-kata.
Kini pertaruhan ada di partai semifinal. Persib, Arema, Mitra dan Sriwijaya, menjadi 'duta' bagi sepak bola yang lebih baik. Semoga tidak ada yang bermental rempeyek dan mogok di tengah jalan. Semoga pula tidak ada ada baku pukul antar pemain di lapangan.
Mari bermain positif, sportif, dan menyadari bahwa sepak bola Indonesia butuh pembuktian. Kalian-kalian para pemain bernasib sama, dalam kondisi sulit, tidak perlu adu urat dan saling tebas di luar batas sportivitas ketika bertanding. Kita semua sama-sama berjuang untuk sepak bola Indonesia. (*)
Persib Bandung versus Pusamania Borneo FC mempertontonkan sisi temperamental dan saling tantang antar pemain. PSM Makassar kontra Mitra Kukar juga kisruh, baik melibatkan pemain di lapangan dan penonton. Lebih parah adalah mundurnya Bonek FC di laga lawan Sriwijaya FC.
Hanya laga Bali United kontra Arema Cronus yang terlihat 'adem' dan tidak vulgar. Melihat fenomena di babak delapan besar, saya yakin sepak bola Indonesia itu memang 'nganu'. Sepak bola yang masih mengandalkan emosi amatiran dan tak menunjukkan respek sama sekali.
Bonek FC misalnya, datang jauh-jauh ke Palembang hanya untuk menjadi pengecut. Lari atau mundur dari medan perang, apa pun alasannya, adalah sikap yang tak patut dihargai. Sangat jelas mereka tidak siap menghadapi kekalahan dengan alasan keputusan wasit Jerry Elly.
Oke, di rekaman pertandingan memang tidak ada handsball. Wasit Jerry Elly pasti menyadari telah membuat keputusan salah. Persoalannya dia harus membuat keputusan dalam sepersekian detik di lapangan dan kita tak bisa langsung menuduh dia berpihak ke tuan rumah.
Bukan berarti pula sebuah tim selalu mengandalkan apriori dan pikiran negatif di setiap pertandingan. Kontroversi dan kesalahan manusiawi akan tetap ada dalam sepak bola. Soal disengaja atau tidak, itu ada tatanan yang mengatur sendiri.
Di sepak bola yang mengagungkan profesionalisme dan sportivitas, mundur adalah keputusan paling buruk. Apa yang dilakukan Bonek FC sudah sangat memalukan, segencar dan selogis apa pun mereka membeberkan alasannya ke media. Ngambek, mundur, mogok, atau apalah namanya, adalah amatiran.
Kalau memang tidak siap menghadapi kontroversi, ya jangan ikut kompetisi. Sederhana kan? Daripada ikut kompetisi malah memberi contoh buruk. Mungkin Bonek FC berpikir mereka bakal dapat simpati dan sanjungan dengan melakukan aksi mogok.
Tapi tidak, sama sekali tidak ada respek untuk perbuatan seperti itu. Tidak pernah ada simpati untuk mereka yang lari dari medan pertempuran. Apa pun latar belakangnya, mereka harus mempertanggungjawabkan keputusan yang sudah diambil.
Bayangkan kalau semua tim sepak bola di dunia ini lantas mogok main jika ada keputusan kontroversial. Tentu tidak akan ada yang namanya turnamen atau kompetisi. Sikap seperti itu sangat tidak mendidik dan harus dibuang jauh-jauh dari sepak bola.
Sepak bola Indonesia sudah kadung dirasuki pikiran negatif, bahkan sebelum bertanding. "Jangan-jangan nanti wasit begini", "Kayaknya tuan rumah bakal begitu", "Ini pasti ada nonteknis", dan berbagai macam pikiran lainnya. Pikiran yang akhirnya membusukkan mental di lapangan.
Sikap pemain yang mengobral emosi juga layak diacungi jempol ke bawah. Lihat bagaimana Ferdinand Sinaga seperti mau memakan Hendra Ridwan hidup-hidup di Makassar. Di Bandung ada Diego Michiels yang bermain bak seorang pesilat dan menantang pemain Persib saat dikartu merah. Banyak lagi contohnya yang telah kita saksikan bersama.
Beberapa waktu lalu, pemain-pemain bola Indonesia berteriak-teriak ingin ada kompetisi sepak bola Indonesia. Tapi ketika sudah diberi turnamen, mereka malah berulah seenaknya dan jauh dari kesan profesionalisme dan sportivitas. Padahal harusnya tak begini.
Di tengah sepak bola yang sedang gulita, seharusnya klub dan pemain memberikan sebuah daya tawar. Mereka harus memberikan kesan positif selama pertandingan agar khalayak dan semua pihak juga memiliki pikiran positif tentang sepak bola Indonesia.
Dengan begitu siapa tahu akan membuka mata pihak-pihak yang berkonflik untuk menggelar kompetisi reguler. Lha ini malah sebaliknya. Publik bola disuguhi adegan berantem dan mogok main. Siapa yang mau percaya bahwa sepak bola Indonesia sudah baik dan pantas dimainkan.
Saya tak tahu apakah sikap emosional dan negatif itu adalah wujud dari begitu lamanya pemain menganggur, karena lapar, kantong kosong, hobi berantem, atau persoalan intelejensi. Entahlah. Kembali ke awal, sepak bola Indonesia memang 'nganu'. Terlalu sulit untuk menggambarkan dengan kata-kata.
Kini pertaruhan ada di partai semifinal. Persib, Arema, Mitra dan Sriwijaya, menjadi 'duta' bagi sepak bola yang lebih baik. Semoga tidak ada yang bermental rempeyek dan mogok di tengah jalan. Semoga pula tidak ada ada baku pukul antar pemain di lapangan.
Mari bermain positif, sportif, dan menyadari bahwa sepak bola Indonesia butuh pembuktian. Kalian-kalian para pemain bernasib sama, dalam kondisi sulit, tidak perlu adu urat dan saling tebas di luar batas sportivitas ketika bertanding. Kita semua sama-sama berjuang untuk sepak bola Indonesia. (*)
(aww)