Karena Tak Ada Prestasi Tanpa Partisipasi
A
A
A
Jelang Asian Games 2018 yang akan berlangsung di Jakarta dan Palembang, pertanyaan yang sering muncul di benak penduduk Indonesia adalah, peringkat berapa kita nanti di kandang sendiri?
Menjadi tuan rumah memang bukan sekadar menyiapkan infrastruktur untuk menyambut kontingen dari berbagai negara di Asia, tapi juga mengangkat muka Indonesia di kancah internasional. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pertama kali pada 1962 silam, kontingen merah putih sukses unjuk gigi dengan menjadi nomor dua di Asia.
Kebanggaan yang sama tentu akan diharapkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Momen Asian Games ini tak boleh dilewatkan untuk mencatatkan prestasi setinggi mungkin.
Tapi apakah meraih prestasi terbaik bisa didapatkan hanya dengan menjadi tuan rumah?
Kenyataannya tak semudah itu untuk mencetak atlet-atlet yang mampu mengangkat nama Indonesia di pentas internasional. Selain harus menyiapkan infrastuktur latihan dan pola pembinaan, sebuah negara yang ingin menjadi digdaya di dunia olahraga juga harus memiliki suplai atlet yang memadai.
Misalnya saja Belanda, negara yang berada di peringkat 13 pada Olimpiade 2012. Untuk mencapai prestasi itu, mereka memiliki 3,9 juta atlet elit dari total penduduk 17 juta jiwa. Negara kincir angin itu juga memiliki 10 juta atlet amatir, atau nyaris 60 persen dari total populasi masyarakat.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih lanjut, dari angka 60 persen tingkat partisipasi masyarakat Belanda di dunia olahraga itu (1,2 jutanya bermain sepakbola, 600 ribunya tenis, 590 ribunya memancing, 400 ribunya golf, dll) hanya hampir dua-per-lima-nya saja yang menghasilkan atlet elit.
Angka-angka di atas memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan atlet-atlet nomor satu, ada pola pembinaan yang berbentuk piramida.
Jumlah atlet elit pastinya lebih sedikit daripada atlet amatir dan masyarakat. Pada prinsipnya, atlet elit dilahirkan (supplied by) dari masyarakat, dan masyarakat akan terus berolahraga karena terinspirasi (inspired by) dari atlet elit, terutama mereka yang mendapatkan kesuksesan, misalnya menjadi juara dunia.
Ini adalah sesuatu yang sangat logis: jika tidak ada peserta di level amatir dan partisipasi (rekreasi), maka tidak akan ada atlet yang dilahirkan.
Karena itulah penting untuk memperbesar jumlah atlet amatir dan juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam olahraga untuk menambah jumlah atlet-atlet elit di puncak piramida pembinaan.
Jika Indonesia ingin mendapatkan juara-juara dunia baru di bidang bulutangkis, maka lapangan-lapangan yang berada di setiap kelurahan atau RT (Rukun Tetangga) harus terisi penuh oleh masyarakat yang juga bermain bulutangkis.
Demikian pula dengan sepak bola yang menjadi salah satu olahraga paling digemari masyarakat Indonesia. Untuk melahirkan para pemain yang bisa menyaingi Keisuke Honda atau Shinji Kagawa, maka sekolah-sekolah sepak bola harus terisi penuh dan anak-anak Indonesia rutin mengisi waktu luangnya dengan bermain bola atau futsal.
Sukar untuk membayangkan suatu negara bisa menjadi juara di level benua atau dunia tanpa olahraga yang menjadi bagian penting pada sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Namun lupakanlah sejenak dorongan berolahraga untuk membuat nama Indonesia harum di negara lain. Pada hakikatnya, olahraga sendiri adalah hak untuk setiap anggota masyarakat.
Olahraga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Olahraga membuat manusia bergerak dan melakukan aktivitas fisik. Olahraga juga memberikan kesenangan, kepuasan, serta kegembiraan pada pelakunya.
Olahraga juga memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya saja dalam hal kesehatan. Cara paling efektif untuk meningkatkan kesehatan adalah dengan meningkatkan aktivitas fisik. Berolahraga rutin sangat penting untuk memiliki tulang, otot, serta persendian yang kuat.
Selain itu, mempertahankan tingkat kebugaran juga membantu seseorang untuk mengendalikan perasaan gelisah dan melawan depresi. Olahraga juga mendorong orang untuk menjalani gaya hidup sehat lainnya, seperti menghindari alkohol dan obat-obatan terlarang.
Karena itulah, olahraga memang seharusnya menjadi bagian penting bagi setiap individu yang hidup di Indonesia dan bukan hanya untuk atlet di tingkat elit saja. Dari pejabat pemerintahan, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, hingga ibu rumah tangga maupun pekerja kantoran, semua berhak untuk memiliki akses untuk bergerak dan berolahraga.
Ayo Olahraga!
Menjadi tuan rumah memang bukan sekadar menyiapkan infrastruktur untuk menyambut kontingen dari berbagai negara di Asia, tapi juga mengangkat muka Indonesia di kancah internasional. Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games pertama kali pada 1962 silam, kontingen merah putih sukses unjuk gigi dengan menjadi nomor dua di Asia.
Kebanggaan yang sama tentu akan diharapkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Momen Asian Games ini tak boleh dilewatkan untuk mencatatkan prestasi setinggi mungkin.
Tapi apakah meraih prestasi terbaik bisa didapatkan hanya dengan menjadi tuan rumah?
Kenyataannya tak semudah itu untuk mencetak atlet-atlet yang mampu mengangkat nama Indonesia di pentas internasional. Selain harus menyiapkan infrastuktur latihan dan pola pembinaan, sebuah negara yang ingin menjadi digdaya di dunia olahraga juga harus memiliki suplai atlet yang memadai.
Misalnya saja Belanda, negara yang berada di peringkat 13 pada Olimpiade 2012. Untuk mencapai prestasi itu, mereka memiliki 3,9 juta atlet elit dari total penduduk 17 juta jiwa. Negara kincir angin itu juga memiliki 10 juta atlet amatir, atau nyaris 60 persen dari total populasi masyarakat.
Akan tetapi, jika ditelisik lebih lanjut, dari angka 60 persen tingkat partisipasi masyarakat Belanda di dunia olahraga itu (1,2 jutanya bermain sepakbola, 600 ribunya tenis, 590 ribunya memancing, 400 ribunya golf, dll) hanya hampir dua-per-lima-nya saja yang menghasilkan atlet elit.
Angka-angka di atas memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan atlet-atlet nomor satu, ada pola pembinaan yang berbentuk piramida.
Jumlah atlet elit pastinya lebih sedikit daripada atlet amatir dan masyarakat. Pada prinsipnya, atlet elit dilahirkan (supplied by) dari masyarakat, dan masyarakat akan terus berolahraga karena terinspirasi (inspired by) dari atlet elit, terutama mereka yang mendapatkan kesuksesan, misalnya menjadi juara dunia.
Ini adalah sesuatu yang sangat logis: jika tidak ada peserta di level amatir dan partisipasi (rekreasi), maka tidak akan ada atlet yang dilahirkan.
Karena itulah penting untuk memperbesar jumlah atlet amatir dan juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam olahraga untuk menambah jumlah atlet-atlet elit di puncak piramida pembinaan.
Jika Indonesia ingin mendapatkan juara-juara dunia baru di bidang bulutangkis, maka lapangan-lapangan yang berada di setiap kelurahan atau RT (Rukun Tetangga) harus terisi penuh oleh masyarakat yang juga bermain bulutangkis.
Demikian pula dengan sepak bola yang menjadi salah satu olahraga paling digemari masyarakat Indonesia. Untuk melahirkan para pemain yang bisa menyaingi Keisuke Honda atau Shinji Kagawa, maka sekolah-sekolah sepak bola harus terisi penuh dan anak-anak Indonesia rutin mengisi waktu luangnya dengan bermain bola atau futsal.
Sukar untuk membayangkan suatu negara bisa menjadi juara di level benua atau dunia tanpa olahraga yang menjadi bagian penting pada sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Namun lupakanlah sejenak dorongan berolahraga untuk membuat nama Indonesia harum di negara lain. Pada hakikatnya, olahraga sendiri adalah hak untuk setiap anggota masyarakat.
Olahraga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Olahraga membuat manusia bergerak dan melakukan aktivitas fisik. Olahraga juga memberikan kesenangan, kepuasan, serta kegembiraan pada pelakunya.
Olahraga juga memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya saja dalam hal kesehatan. Cara paling efektif untuk meningkatkan kesehatan adalah dengan meningkatkan aktivitas fisik. Berolahraga rutin sangat penting untuk memiliki tulang, otot, serta persendian yang kuat.
Selain itu, mempertahankan tingkat kebugaran juga membantu seseorang untuk mengendalikan perasaan gelisah dan melawan depresi. Olahraga juga mendorong orang untuk menjalani gaya hidup sehat lainnya, seperti menghindari alkohol dan obat-obatan terlarang.
Karena itulah, olahraga memang seharusnya menjadi bagian penting bagi setiap individu yang hidup di Indonesia dan bukan hanya untuk atlet di tingkat elit saja. Dari pejabat pemerintahan, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, hingga ibu rumah tangga maupun pekerja kantoran, semua berhak untuk memiliki akses untuk bergerak dan berolahraga.
Ayo Olahraga!
(bbk)